Menjaga Indonesia Lewat Budaya Menenun Suku Sasak

Menjaga Indonesia Lewat Budaya Menenun Suku Sasak
info gambar utama

Siapa yang tidak tahu Lombok, sebuah kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kota yang terkenal karena alam indah nan eksotis, ragam budaya variatif, tempat dimana gunung Rinjani tegak berdiri, dan tanah kelahiran kebanggaan suku Sasak.

Satu hal yang sangat tidak boleh dilupakan dari kota berjuluk pulau seribu mesjid ini adalah berbagai macam kerajinan tenunnya yang sangat khas. Menenun kain merupakan budaya kreatif yang dijaga secara turun temurun oleh Suku Sasak Lombok. Setiap perempuan suku ini diwajibkan memiliki kemampuan tersebut.

Sedari kecil, anak perempuan di sana sudah diajarkan bagaimana menenun kain. Bahkan tangan-tangan mungil mereka harus sudah diasah keterampilannya untuk menyusun ratusan helai benang kemudian disulap menjadi sebuah kain yang bisa digunakan sebagai selendang.

Ketika berkesempatan ke Lombok, saya diajak menikmati wisata budaya ke kampung-kampung adat yang masih sangat merawat warisan leluhurnya. Dua di antara kampung tersebut adalah Dusun Ende dan Desa Sukarara.

Di Dusun Ende, saya bersua dengan Yayu Pujiantati, seorang bocah sembilan tahun yang tengah mengerjakan tenunan kain yang rencananya akan dibuatkan selendang. Semangat kerja kerasnya terpancar dari sorot mata yang sangat lekat terhadap alat tenun di hadapannya.

Kain buatannya memperlihatkan kelihaiannya dalam menenun. Warnanya sangat variatif, susunan benang-benangnya pun sangat rapi. Padahal baru satu tahunan ini dia belajar menenun dan kemampuan tersebut tidak mudah dimiliki karena hasilnya murni memerlukan imajinasi yang tinggi.

Tidak hanya terampil, Yayu pun sangat ramah, komunikatif, dan memiliki cita-cita tinggi. Bibirnya sesekali menyungging senyum ketika saya bertanya satu dua hal kepadanya. Pun ketika saya bertanya apa yang dicita-citakannya.

“Mau jadi dokter, makanya dari sekarang saya harus sudah bisa menenun dan banyak belajar,” seloroh Yayu.

Meskipun cita-citanya ingin menjadi dokter, namun Yayu sangat ingin agar budaya menenun tetap lestari di pulau Lombok, umumnya di bumi Indonesia. Dia menunjukkan sebagai sosok perempuan Suku Sasak sejati tetap bersabar meski memiliki keinginan kuat untuk maju.

Sina (22 tahun, kiri), gadis Desa Sukarara, pusat pengrajin tenun Lombok, tengah mengajari cara menenun kepada seorang wisatawan lokal
info gambar

Kondisi Yayu nampaknya agak berbeda dengan Sina Astuti, gadis berusia 22 tahun asal Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah. Di desa yang dikenal dengan pusatnya pengrajin tenun ini, dia ingin mendalami kemampuan warisan leluhurnya tersebut sampai tingkatan paling tinggi.

“Suatu saat nanti saya harus bisa menguasai atau bahkan jadi ahli kain tenun motif subhanala (berasal dari kata subhanallah, yang menunjukkan betapa sulitnya motif tersebut),” ungkap Sina.

Perempuan yang sudah mempelajari kerajinan tenun sejak usia sembilan tahun tersebut sangat menikmati hari-harinya sebagai pengrajin tenun. Delapan jam sehari dia habiskan bersama alat tenun. Dia hanya istirahat untuk makan atau shalat, sisanya terus menenun.

“Untuk membuat satu kain tenun berukuran 60 x 200 cm, kami butuh waktu minimal satu bulan, tergantung motifnya. Kami hanya bisa menenun 15 cm per tujuh jam per hari. Kalau sudah jadi, kami titip jual di koperasi, kalau terjual baru bagi hasil keuntungannya,” tuturnya.

Kesulitan dan butuh tingginya kesabaran dalam pembuatan kain tenun membuat produk kearifan lokal tersebut dibanderol dengan harga yang cukup tinggi. Untuk satu helai, tidak ada kain tenun asli Suku Sasak Lombok yang dijual di bawah harga Rp1 juta.

Di samping bernilai ekonomi, menenun kain pun mengandung nilai-nilai luhur di dalamnya, sebagaimana budaya lainnya. Kemampuan ini erat kaitannya dengan tradisi menikah bagi kaum Sasak Lombok. Syarat minimal bagi perempuan yang hendak menikah adalah memiliki kemampuan tersebut.

“Laki-laki tidak boleh menenun, sebagaimana kata leluhur kami, takutnya laki-laki itu akan mandul kalau menenun. Biar perempuan saja (yang menenun,” terang perempuan yang hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP tersebut.

Sebelum menikah, perempuan Suku Sasak Lombok diharuskan untuk membuat tiga sarung tenun. Satu untuk diri sendiri, untuk suami dan mertua perempuan. Aturan adat ini semaksimal mungkin mereka rawat agar senantiasa lestari di tengah perkembangan zaman yang sedemikian pesat.

Wisatawan lokal mengenakan kain tenun khas Suku Sasak Lombok di Desa Sukarara
info gambar

Pemberlakuan adat ini tidak semata-mata dibuat tanpa tujuan jelas. Para perempuan bisa mengambil banyak pelajaran dari menenun. Dengan menenun, perempuan Lombok diharapkan dapat tumbuh menjadi pribadi sabar yang menunjukkan kesiapan menjalani bahtera rumah tangga.

“Kami ingin melestarikan warisan budaya leluhur karena banyak manfaatnya,” pungkasnya.


Sumber: wawancara langsung

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini