Indonesia Menuju Era Cashless Society

Indonesia Menuju Era Cashless Society
info gambar utama

Perkembangan teknologi digital saat ini sudah tidak bisa terelakkan lagi. Setiap sektor industri kini mau tidak mau harus beradaptasi dan menerima teknologi digital sebagai bagian dari setiap aktivitasnya. Tidak terkecuali pada industri perbankan yang saat ini semakin dituntut untuk bisa mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin digital. Perbankan pun disebut akan tergeser dengan financial technology (fintech) yang akan mendorong Indonesia menjadi cashless society.

CEO Akseleran, Ivan Tambunan saat di wawancarai oleh GNFI mengungkapkan bahwa sejatinya antara fintech dengan perbankan tidak saling menggantikan. Sebab menurutnya fintech dan perbankan memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. "Perusahaan fintech mengedepankan inovasi dan teknologi serta fleksibilitas yang tidak dimiliki oleh perbankan. Namun perusahaan tidak mempunyai pengalaman, jaringan, customer base dan dana yang dimiliki oleh perbankan di Indoensia," ujarnya.

Alih-alih menggantikan, fintech dan perbankan di Indonesia bisa melakukan kolaborasi sehingga dapat meningkatkan kinerja dan layanan masing-masing perusahaan. "Hal ini pernah juga terlihat sebelumnya ketika perusahaan leasing banyak yang bekerja sama dengan perbankan, bahkan sampai diakuisisi seperti mislanya Adira yang kemudian diakuisisi oleh Danamon," kata Ivan.

Ivan menilai bahwa kolaborasi tersebut bisa dilakukan kedua pihak saat fintech dan perbankan menyadari bahwa dengan kolaborasi maka keduanya akan meningkatkan sinergi yang meningkatkan kinerja dan layanan.

Potensi perkembangan fintech yang berkolaborasi dengan perbankan memang terbuka luas. Sehingga hal ini juga berpotensi pada perkembangan masyarakat tanpa uang tunai atau cashless society. Namun Ivan berpendapat bahwa kondisi Indonesia saat ini masih jauh menuju sebuah masyarakat yang benar-benar tanpa uang tunai. Ia beralasan, "Infrastruktur pembayaran digital saat ini memang sedan gbanyak dikembangkan oleh berbagai start-up, seperti Go-Jek dengan produk Go-Pay, dan Tokopedia melalui TokoCash. Namun demikian, infrastruktur yang ada masih dalam tahap awal dan belum ada pemain yang berhasil menguasai pasar. Ditambah lagi masyarakat Indonesia secar abudaya masih lebih nyaman memegang uang tunai dan bertransaksi secara tunai," ungkapnya.

Selain itu, menurut Ivan ada juga tantangan berupa perizinan di Bank Indonesia yang saat ini masih membatasi pengeluaran izin e-money dan e-wallet sehingga membatasi munculnya pemain baru yang mungkin dapat membawa inovasi baru. Itu sebabnya menurutnya, Indonesia dapat benar-benar meningkatkan transaksi cashless ketika infrastrukturnya telah siap, edukasi akan keuntungan transaksi cashless gencar dilakukan dan pemerintah membenahi regulasi dan proses perijinan yang ada untuk mendukung inovas-inovasi baru sambil tetap menjaga stabilitas sistem pembayaran di Indonesia.

"Saat ini kita sedang mengarah ke sana (cashless society), namun tentu butuh waktu untuk menyelesaikan prosesnya," tutup Ivan.

Sebuah cashless society juga akan terwujud bila mayoritas masyarakatnya memahami bagaimana melakukan tata kelola keuangan atau literasi keuangan. Dalam hal ini Indonesia memiliki tantangan yang besar karena tingkat literasi keuangan di Indonesia berdasarkan data OJK yang diterbitkan Januari 2017 yang lalu mengungkapkan bahwa pada tahun 2016 literasi keuangan di Indonesia masih sebesar 29,66 persen. Artinya penduduk Indonesia yang memahami bagaimana mengelola uang dengan baik hanya sebesar 75 juta jiwa saja dari 240 juta penduduk Indonesia. Inilah salah satu tantangan yang harus dijawab untuk menciptakan cashless society dan lebih jauh, sebuah inklusi keuangan yang menyeluruh di Indonesia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini