Haruskah Kita Lanjutkan Rencana Pembangunan Jembatan Sumatera - Semenanjung Malaysia?

Haruskah Kita Lanjutkan Rencana Pembangunan Jembatan Sumatera - Semenanjung Malaysia?
info gambar utama

Setelah sekian lama terabaikan, sebuah diskusi panjang mengenai pengajuan pembangunan jembatan dengan panjang haingga 50 km yang menghubungkan Malaka di Malaysia dengan Dumai di Sumatera, Indonesia kini kembali diperbincangkan. Ide awal pembangunan jembatan antar dua negara ini terjadi atas perbincangan yang diinisiasi oleh mantan perdana menteri Malaysia, Tun Dr Mahathir Mohamad pada tahun 1996 saat ia menemui Presiden Indonesia pada saat itu, Suharto di Kuala Lumpur. Sayangnya proyek besar ini harus tertunda dikarenakan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 serta diikuti dengan kecemasan mengenai lingkungan.

Foto: Straits Time
info gambar

Pada tahun 2006, rencana dari proyek raksasa ini dihidupkan kembali sebagai output dari pengumuman dari Bank Export-Import (Exim) Cina yang setuju untuk mendanai sebesar 85% dari total pembiayaan, yang pada saat itu diperkirakan berharga senilai $ 13 Milyar. Namun, lagi-lagi rencana tersebut ditinggalkan setelah mendapatkan penolakan kuat dari beberapa daerah dan para aktivis lingkungan.

Setelah 7 tahun berada di ambang ketidakpastian, pada 15 Oktober 2013, Pemerintah Daerah Malaka menghidupkan kembali rencana tersebut, yang kemudian berujung sama dengan fokus pemerintah Indonesia pada saat itu merupakan pembangunan jembatan Selat Sunda (yang menghubungkan Sumatera dengan Jawa) yang disebutkan langsung oleh Presiden Indonesia pada saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mengatakan bahwa ia harus menolak usulan dari Malaysia tersebut untuk dapat mendukung pembangunan jembatan Selat Malaka tersebut karena konstruksi dari jembatan seperti itu akan banyak memakan jumlah sumber daya yang dapat dialihkan untuk membangun jembatan Selat Sunda.

Foto: The Star
info gambar

Sekarang, telah 5 tahun sejak terakhir kalinya perbincangan tersebut. Beberapa perbincangan untuk menghidupkan kembali rencana tersebut terjadi secara online di internet. Belum ada tanggapan terkini baik dari pemerintah Indonesia maupun Malaysia. Sangat dimaklumi melihat keadaan proyek sebesar itu akan membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan hanya untuk melihat lampu hijau bahwa proyek tersebut disetujui. Jembatan tersebut akan terbentang sepanjang 48.7 km, dengan tambahan 71.2 km jalan tol dari Pulau Rupat (Indonesia), dimana jembatan tersebut berujung, menuju Dumai yang berada di provinsi Riau, yang terkenal akan kebun kelapa sawitnya.

Tetap saja masih terdapat beberapa penolakan dari kedua sisi.

Dari sisi pemerintah Indonesia, rencana ambisius tersebut tidak dapat dijadikan prioritas, mengingat fokus pemerintah untuk mengintegrasikan ekonomi Indonesia jauh lebih penting daripada membangun proyek besar dengan resiko tinggi. Mantan menteri koordinator ekonomi, Hatta Rajasa menegaskan kembali bahwa pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan presiden SBY menaruh fokus lebih pada pembangunan jembatan Selat Sunda.

Dan pada tahun 2015, pemerintahan presiden Joko Widodo (penerus presiden SBY) tidak akan meneruskan rencana pembangunan jembatan antara pulau Jawa dan Sumatra.

Dr Mohd Hazmi Mohd Rusli, seorang peneliti dari Universiti Sains Islam Malaysia yang telah melakukan studi pada proposal pembangunan jembatan tersebut, mengatakan bahwa para pembuat rencana harus meneliti terlebih dahulu dampak dari pembangunan tersebut kepada lingkungan dan pelayaran. Ia menambahkan, keuntungan ekonomi diluar minyak kelapa sawit terbatas. "Tidak seperti dekatnya Malaka ke Kuala Lumpur atau bahkan Singapura, Dumai tidak dekat dengan kota besar manapun di Indonesia.. Jembatan tersebut masih belum efisien."

Dari sisi lingkungan, proyek yang begitu besar tidak hanya akan mempengaruhi ekosistem pesisir di kedua sisi jembatan; namun juga akan berdampak pada Selat tersebut secara menyeluruh, mulai dari perspektif hidrologis, lingkungan, dan ekonomi.

Pergerakan dan kecepatan normal pada Selat tersebut akan berubah dengan kehadiran pilar-pilar yang menyokong jembatan tersebut dan berpotensial untuk mengubah sifat dari Selat tersebut.

Bahkan, setelah selesaipun, jembatan tersebut akan menghubungkan Semenanjung Melayu dengan pulau Sumatra di Indonesia, yang terletak di dalam Lingkaran Api Pasifik, sebuah daerah dengan aktivitas seismik besar, dan rawan terkena ancaman gempa bumi dan tsunami.

Haruskah kita melanjutkan rencana tersebut?

Sumber: Diterjemahkan dari Seasia.co

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini