Melihat Pemukiman Asing Surabaya Tempo Dulu Lewat Kartu Pos Lama

Melihat Pemukiman Asing Surabaya Tempo Dulu Lewat Kartu Pos Lama
info gambar utama

Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Surabaya memiliki sejarah dan perkembangan yang menarik untuk ditelisik lebih dalam. Sejak dulu, ibukota provinsi Jawa Timur ini dikenal dengan kesibukannya sebagai salah satu kota pelabuhan terbesar dan paling ramai. Bahkan Howard W. Dick dalam bukunya ‘Surabaya City of Work : A Socio economic History, 1900-2000’ menyebutnya sebagai City of Work atau ‘kota kerja’.

Maka tak heran pula jika Dick menyebut Surabaya sebagai hikayat kota ekonomi modern Indonesia selain Jakarta. Pada periode inilah Surabaya sejajar dengan kota pelabuhan Asia lainnya seperti Calcuta, Rangoon, Singapura, Bangkok, Hongkong hingga Shanghai.

Seolah menjadi magnet baru, pendatang dari luar bahkan mancanegara bermigrasi ke Surabaya. Mulai dari pendatang asal Arab, Armenia, Melayu, Cina hingga Inggris. Pendatang-pendatang tersebut selanjutnya membentuk sebuah pemukiman atau perkampungan tersendiri.

Untuk melihat suasana perkampungan asing di Surabaya masa lalu, kita bisa menemukannya di sebuah kartu pos lama milik seorang kolektor bernama Olivier Johannes Raap. Raap yang sejak 2003 tekun mengoleksi dan memburu kartu pos lama kota Indonesia di masa lalu kemudian membukukannya dengan judul ‘Kota di Djawa Tempo Doeloe’. Kartu pos koleksi Raap berasal dari periode 1900-1950an. Berikut beberapa foto kawasan permukiman asing di Surabaya tempo dulu.

Tugu Jam Inggris

Stadsklok van Soerabia 1901 (Source : Thies & Umbgrove dalam

Stadsklok van Soerabia 1901 (Source : Thies & Umbgrove dalam "Kota di Djawa Tempo Doeloe")

Jumlah orang Inggris di Surbaya tidaklah begitu banyak dan mereka tidak memiliki perkampungan. Namun, di tahun 1897 sebuah patung jam yang mirip Big Ben di London dibangun komunitas Inggris Surabaya untuk merayakan ulang tahun pemerintahan Ratu Victoria ke-60.

Jam Inggris tersebut berada di Taman Kota yang sekarang menjadi halaman Bank Indonesia. Tahun 1926 patung jam ini menjadi korban pelebaran jalan dan dipindahkan ke Priokplein (Alun-alun Priok) sebelum dihancurkan di masa pendudukan Jepang.

Kawasan Kembang Jepun

Kawasan Kembang Jepun Tempo Dulu (Source :
info gambar

Ada cerita menarik tentang mengapa kawasan ini diberi nama Kembang Jepun. Pada awal abad ke-16, dikenal sebagai kawasan prostitusi dan banyak pelacur dari Jepun (Jepang) serta Cina tinggal disana. Barulah pada tahun 1864 diterapkan sebuah peraturan larangan tentang praktek prostitusi di kawasan Kembang Jepun. Walaupun praktek porstitusi sudah tidak ada lagi sejak tahun tersebut, nama Kembang Jepun tetap digunakan hingga sekarang menjadi nama jalan.

Kampung Armenia

Soerabaia Passar Besaar (Source : J,M.Chs. Nijland dalam
info gambar

Orang Armenia mulai berdatangan di Surabaya pada akhir abad ke-19. Umumnya mereka bekerja sebagai pedagang. Menurut catatan Faber, jumlah komunitas Armenia pada tahun 1930 berjumlah sekitar 400 orang. Para pedagang Armenia ini dulu berdagang kain di Pasar Besar (kini Jalan Pahlawan bagian selatan) dan bersaing dengan etnis pendatang lainnya seperti India dan Tionghoa. Mereka juga membentuk permukiman di sekitaran Jalan Pahlawan.

Kampung Arab

Kampoeng Arab Soerabia (Source : Jong Soe Hien dalam
info gambar

Kampung Arab di Surabaya berada di sekitaran Jalan Panggung, Pabean. Etnis Arab yang datang kebanyakan dari Yaman. Dahulu mereka memiliki sebuah mushola (langgar) bergaya arsitektur Yaman sama persis seperti di kota Shibam, Yaman yang dibangun pada abad ke-16. Komunitas Arab memiliki bagian penting dalam perdagangan batik Nusantara. Selain itu usaha lain yang mereka jalankan adalah berdagang emas, permata dan kuliner. Tak sedikit pula yang aktif dalam bidang pendidikan dan pengajaran agama.

Jalan Panggung dan Kampung Melayu

Panggoeng Soerabaia 1913 (Source : NV v/h H van Ingen dalam
info gambar

Etnis lain yang bermukim di Jalan Panggung adalah etnis Melayu. Berbeda dengan orang Jawa, pendatang Melayu ini membawa tradisi mereka yakni membangun rumah di atas sebuah panggung. Dalam peta Surabaya tahun 1787 ‘ Campoong Pangoon’ sudah ada dan disebut.

Namun pada foto di atas (diambil pada tahun 1913), rumah-rumah panggung yang dulu menjulang sudah tidak terlihat lagi. Digantikan oleh deretan pertokoan dan pembangunan jalan. Kini sisa kejayaan rumah panggung hanya menyisakan sebuah nama ‘Jalan Panggung’.

Dari foto-foto kartu pos yang berhasil dikumpulkan Olivier Johannes Raap tersebut, kita jadi tahu bahwa Surabaya sebagai kota metropolitan sudah berkembang sejak dulu. Dan sebagai generasi penerus, ada baiknya kita untuk selalu menjaga cagar budaya peninggalan masa lalu sebagai bahan pembelajaran dalam melangkah menuju masa depan.

Sumber Referensi :

  • Arya W. Wirayuda. et.al. 2013. Mengeja Keseharian : Sejarah Kehidupan Masyarakat Kota Surabaya. Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga : Surabaya
  • Olivier Johannes Raap. 2015. Kota di Djawa Tempo Doeloe. Kepustakaan Populer Gramedia : KPG

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini