Gara-gara Sampah, Sebuah Mall di Bali Jadi Ramai. Ada Apa?

Gara-gara Sampah, Sebuah Mall di Bali Jadi Ramai. Ada Apa?
info gambar utama

Sejumlah warga yang dianggap local hero mengisahkan inisiatif dan aksi kampanye penanggulangan sampahnya di Bali melalui berbagai cara. Dari fotografer yang merekam artefak sampah, seniman yang melukis sisa kemasan, sampai upaya zero waste di kantor.

Kisah dan karya mereka disampaikan dalam kampanye bertajuk “Gara-gara Sampah” yang juga mengajak sebuah mall, Plaza Renon mulai melakukan program pengurangan sampah plastik, Sabtu (24/04/2018). Kampanye ini dihelat sejumlah lembaga dan individu yang berkolaborasi dalam Kelompok Peduli Sampah, dipimpin Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali.

Trash Artifacts oleh fotografer Syafiudin Vifick mengajak mengenali perilaku nyampah di sejumlah tempat sumber air di Bali. Ia memungut, menata, dan kemudian memotretnya sebagai jejak arkeologi pola konsumsi warga dari sampahnya. “Foto berguna saat membandingkannya di waktu berbeda. Bayangkan 100 tahun lagi seperti apa sampah kita?” gugah Vifick, panggilannya.

Jenis sampah yang dikumpulkan dan dipotret Vifick di Pantai Kedonganan, Badung, Bali | Foto: Syaifudin Vifick/Mongabay Indonesia
info gambar

Delapan foto mewakili 8 tempat sumber air dari hulu ke hilir lokasi sampah berada di sejumlah kabupaten dan kota di Bali. Dari Tabanan ada sumber air di Jatiluwih Tabanan dan Danau Bedugul. Di Gianyar ada air terjun Tegenungan dan sungai di Desa Guwang. Di Kota Denpasar ada sungai dan Pantai Padang Galak, sementara di Badung ada loloan (muara sungai di laut), hutan mangrove Kampung Kepiting Tuban, dan Pantai Kedonganan

Di Kampung Kepiting yang bersisian dengan Teluk Benoa menurutnya paling parah karena sampahnya terbanyak. Ia sampai 4x cuci tangan dan kaki dengan air panas agar baunya hilang. Kemudian di Pantai Kedonganan artefak sampahnya terlihat paling berbeda karena didominasi sisa alat tangkap seperti sandal terperangkap jaring, potongan pelampung, botol plastik kehitaman bekas minyak, sampai kemasan obat sakit kepala. “Setelah saya telusuri, para nelayan membawa obat-obatan karena melaut seharian seperti obat batuk dan masuk angin,” tuturnya. Foto-fotonya dipamerkan di mall Plaza Renon.

Seniman lain adalah Made Bayak yang terkenal dengan plasticology, filosofinya berkarya merespon simbol-simbol sakral di agama dan ritual Hindu yang biasanya dituangkan di kanvas dengan cat. Bayak memilih memanfaatkan sampah kemasan atau produk makanan serta minuman untuk melukis barong, penari, juga membuat instalasi seperti Gajah Mina (ikan berkepala gajah), mamalia, dan lainnya. Plasticology kerap diundang ke sekolah, sanggar anak, dan kantor karena bisa direspon dengan cepat dan menarik oleh masyarakat.

Pengunjung mengamati pameran foto bertajuk Trash Artifacts di Plaza Renon, Denpasar, Bali | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Pahlawan sampah lainnya adalah Luh Riawati dari Bali Wastu yang memulai jejaknya dengan jasa pengangkutan sampah bersama sang suami. Ia bergabung di komunitas pengelola sampah bernama Denpasar Clean and Green (DCG) Berlians pada 2012 dan mendorongnya mengembangkan hampir 100 bank sampah di seluruh Bali. Bekerjasama dengan Yayasan Unilever hingga hari ini terus mendampingi kelompok PKK untuk membentuk bank-bank sampah.

Dari unsur pemerintah, ada Ni Nyoman Santi Kepala Tata Usaha Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Bali Nusra yang menyebut kantornya sudah menerapkan upaya zero waste. Misalnya memilah sampah, mengurangi penggunaan kertas, tak menggunakan nasi dan kotak snack saat rapat sehingga mengurangi bahan sekali pakai. Mengganti dengan kue tanpa kemasan dan piring serta minuman dalam gelas.

Cara itu mengurangi jumlah sampah, dari seminggu sekali pengangkutan sampah menjadi sebulan sekali. “Mau nggak mall ini mulai zero waste, pemerintah akan mendukung. Kita sudah darurat sampah,” seru Santi.

Ia mengakui pengurangan sampah plastik masih sulit. Ia ingin meneliti penyebabnya, misal apa karena toko atau mall gampang beri plastik? “Kita perlu survei apa sebabnya masyarakat tak mau bawa tas belanja,” ujarnya.

Seorang anak melongok tempat sampah di sebuah mall di Bali. Lebih dari 300 tas belanja didominasi bekas pakai disumbangkan untuk program donasi yang akan didistribusikan kembali di lokasi perbelanjaan untuk mengurangi menggunakan kresek | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Pembelajaran dari para local hero di hadapan sedikitnya 100 warga yang hadir ini diikuti dengan program donasi tas belanja untuk mengurangi wadah sekali pakai. Sedikitnya 335 tas belanja dominan bekas pakai terkumpul dari sumbangan warga. Sebagian dibagikan pada pengunjung dan Plaza Renon memberikan diskon 15% jika belanja menggunakan tas sendiri saat itu.

Kisah lain datang dari Yudi Mahendra, Kepala Dusun Pagan Asri yang menyontohkan warganya melakukan pengolahan sampah menjadi barang kerajinan. Misalnya aneka perlengkapan sembahyang seperti bokor dan sokasi dari koran bekas yang harganya bisa sampai ratusan ribu per buahnya. Mirip dengan Juminah, namun ibu ini juga memberdayakan penyandang disabilitas dalam pembuatan kerajinan.

Sementara dari inovasi teknologi informasi ada Fajar Lukman Hakim bersama temannya mengembangkan aplikasi Gringo yang memetakan lokasi bank sampah dan memantau titik pengambilan sampah di sebuah depo.

Tampilan depan Aplikasi Gringgo, website pengelolaan sampah berbagsis aplikasi ponsel yang dibuat oleh Olivier Pouillon dan Febriadi Pratama berisi informasi dan panduan dalam mengelola sampah skala rumah tangga di Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Made Murah yang bekerja Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) 3R Kertalangu dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar mengampanyekan Pelayanan Pengangkutan Sampah Besar Gratis yang disingkat Pesan Gadis. Ia mengakui sejumlah warga protes dan minta singkatan diubah karena bernada melecehkan namun pihaknya tetap menggunakan karena menarik perhatian. “Buktinya sudah 16 warga menelpon dan kami angkut sampah besarnya,” katanya. Seperti kasur, sofa rusak, dan lainnya. Di TPST ia memproduksi kompos dan mengelola sampah besar dengan memilah yang bisa dijual. Sisanya baru dibawa ke TPA.

Warga yang aktif di gerakan penanggulangan sampah lainnya adalah Ketut Suarnaya dari DCG Berlians yang disebut berhasil mendorong kabupaten Klungkung menganggarkan dana Rp1 miliar untuk prasarana sampah pada 2017. Ia sempat belajar di Jepang 2016 dan menangani pilot project pengelolaan sampah di desa Takmung, Klungkung dan juga membuat badan usaha milik desa.

Relawan komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan rutin menyusuri pantai Mertasari Sanur untuk memungut sampah | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Sementara Komang Sudiarta berkibar dengan komunitas dan kampanye Malu Dong Buang Sampah Sembarangan yang telah dirintis 8 tahun secara swadaya. Komunitas ini rutin menggugah warga yang buang sampah seenaknya di pantai, jalanan, sampai event-event konser. Komang Bimo, panggilan pria ini selalu berapi-api jika diminta bicara perilaku nyampah. Menurutnya mereka orang tak beradab. Ia menggunakan strategi kampanye populer dengan buat bendera warna-warni berisi slogan dan emoticon wajah malu, kaos, stiker, dan mengajak anak-anak di sekolah.

Adi Septiono dari Aliansi Zero Waste Indonesia menyebut penanganan sampah dengan cara melingkar atau circular economy membuat lebih banyak pihak terlibat dan mendapat manfaat ekonomi dari sampah.

Bagi Catur Yudha Hariani dari PPLH Bali menyebut kolaborasi aksi dan solusi ini penting mengingatkan selain masalah infrastruktur dan kebijakan pemerintah, bencana sampah juga karena perilaku sendiri. Pulau Bali sampai saat ini menghasilkan sampah sekitar 10.000 m³ setiap hari dan sampah plastik sekitar 11% dari jumlah seluruhnya.

Sampah bisa dikurangi jika dipilah dan dikompos, namun ini sangat sedikit yang melakukan. Kota Denpasar berkontribusi membuang sampah di TPA Suwung 2.700 m³ setiap harinya. Sampah akan bertambah volumenya saat jelang upacara agama Hindu bisa mencapai 3.000 m³. Jumlah ini belum termasuk yang dibuang ke got, sungai, tepi jalan dan lahan-lahan kosong. Sebagian kawasan pun sering banjir ketika musim hujan tiba.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini