Membangun Optimisme Kolektif Milenial Indonesia

Membangun Optimisme Kolektif Milenial Indonesia
info gambar utama

Katanya, pemuda adalah pemilik masa depan bangsa. Katanya juga, seperti apa nasib bangsa dan negara ini di masa depan, sebagian atau sepenuhnya terletak di tangan pemuda. Tetapi, ada sesuatu yang mengusik mimpi-mimpi masa depan kita; berapa banyak pemuda yang masih berpikir tentang masa depan Indonesia? Di generasi Tik Tok ini, anak muda yang berpikir tentang bangsa dan negara bisa saja dianggap kolot. Ya, kita hidup dalam lingkungan yang mengubur mimpi-mimpi besar. Sekitar tak kalah membanjiri kita dengan keunggulan individualisme dan nihilisme.

Mentalitas anak muda dibiarkan infantilis. Hampir tidak ada lagi yang berani mengambil risiko, apalagi rela mati layaknya pemilik makam pahlawan yang tak dikenal. Di tengah pelbagai fenomena maraknya tindakan kejahatan yang akhir-akhir ini menimpa Indonesia, tentu menambah lunturnya optimisme anak muda tentang Indonesia dan kian pupusnya semangat sebagian mereka untuk melunasi janji-janji kemerdekaan Indonesia. Terlalu banyak peristiwa; segregasi sosial, polarisasi agama, tindakan intoleransi, belum lagi kisruh perpolitikan tanah air. Kita semua perlu tahu bahwa Indonesia tidak sepenuhnya sedang baik-baik saja. Masih banyak masalah, masih banyak celah menganga.

Indonesia memang sedang diterpa badai problem dan sejumlah tumpukan masalah bangsa yang belum kunjung membaik. Tetapi, apakah kita hendak berlarut-larut mengutuki kegelapan tanpa mau menyalakan lilin penerang? Anak muda lahir dengan begitu banyak potensi yang dibutuhkan bangsa ini untuk menjadi lebih baik dalam segala hal, karena pemuda adalah sumber semangat, mimpi, dan harapan.

Good News From Indonesia (GNFI) pernah melakukan survei pada Februari-Maret 2018 mengenai optimisme anak-anak muda Indonesia. Hasilnya, enam dari sepuluh generasi milenial optimistis terhadap masa depan Indonesia. Dalam survei GNFI yang menjangkau 1.200 responden berusia 18-30 tahun di 12 kota di Indonesia, anak-anak muda di Pontianak adalah anak muda yang paling optimistis dengan skor 75,6, sedangkan Lombok menorehkan skor sebesar 55,5. Lebih jauh lagi, survei itu memperlihatkan anak-anak yang lebih muda (umur 18-23) cenderung lebih optimistis dibandingkan yang lebih tua (umur 24-30).

Dalam penelitian lain, Survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkap kesimpulan data yang sama pada survei yang dilakukan Agustus 2017 lalu, bahwa milenial Indonesia optimistis menatap masa depan. CSIS merilis hasil data bahwa milenial yang bahagia dengan kehidupannya sebesar 91,2 persen dan milenial yang sangat optimistis terhadap masa depan sebesar 94,8 persen. Pelbagai instrumen yang mendukung kebahagiaan kelompok milenial dianggap mencukupi sebagai instrumen untuk memandang masa depan, antara lain yaitu kesehatan (40 persen), waktu bersama keluarga (26,8 persen), kecukupan keuangan (7,5 persen), pekerjaan (7,5 persen), kehidupan agama (4 persen), dan kehidupan sosial (4,5 persen).

Kita wajib bersyukur bahwa republik ini didirikan oleh kaum pemberani, oleh mereka yang mau menerobos zona nyaman dan selalu memelihara kegelisahan. Soekarno pernah mengatakan, “Pemuda yang tidak bercita-cita bukanlah pemuda. Pemuda-pemudi yang tidak bercita-cita sudah mati sebelum mati”. Tanpa kehadiran pemuda bercita-cita seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan masih banyak lagi, tidak mungkin ada bangsa dan negara bernama “Indonesia”. Cita-cita besarlah yang menggerakkan seseorang, atau bahkan sebuah bangsa, untuk melangkah dengan bersemangat menyambut masa depan.

Generasi pasti akan terus berganti, harapan para pendiri negeri terhadap generasi muda saat ini adalah kelak akan menjadi pemimpin untuk menggantikan apa pun yang hari ini diisi. Lalu pertanyaan besarnya, sudahkah generasi muda saat ini menuliskan sejarahnya sendiri agar layak menahkodai negara kelak? Sudahkah agenda kemerdekaan yang bertahun-tahun lalu diperjuangkan terimplementasikan? Pantaskah jika anak-anak muda bersantai ria dan berhenti menuliskan sejarahnya sendiri?

Jika kita cermati hari ini, telah begitu banyak anak muda Indonesia yang bergerak kian masif. Pelbagai komunitas, NGO (Non-Governmental Organization), dan gerakan-gerakan lahir dengan menawarkan solusi dari beragam perspektif. Ada yang berkiprah di bidang teknologi, pendidikan, kebudayaan, lingkungan, politik, hukum, ekonomi, bisnis, pertanian, maritim, keteknikan, dan lain sebagainya. Mereka menjadi inisiator dan pemberi solusi dengan cara mereka masing-masing, sesuai bidang mereka masing-masing. Di saat yang sama, kita hanya butuh intensitas pertemuan untuk menyamakan persepsi dan pandangan akan visi besar Indonesia di masa depan.

Kolaborasi kebaikan, diksi yang penulis pilih untuk menggambarkan hal baik ini. Gerakan-gerakan kebaikan yang dipertemukan dan dilakukan sejalan akan menjadi sebuah investasi bangsa yang sangat berharga dan luar biasa. Ketika karya-karya tersebut dikumpulkan, lahirlah manifestasi dari optimisme serta harapan anak-anak muda untuk Indonesia di masa depan. Merekalah anak-anak muda perintis, bukan pewaris; anak-anak muda pelopor, bukan pengekor; anak-anak muda penggerak, bukan penggertak; anak-anak muda yang punya aksi solusi, bukan pencaci maki.

Bicara Indonesia Emas 2045 adalah bicara hari ini, di mana mileniallah yang akan memegang tongkat estafet kepemimpinan di Indonesia. Kita semua tentu sepakat bahwa masa depan yang besar dapat terwujud dari kerja-kerja kecil semenjak sekarang. Kekuatan masa depan yang besar adalah hasil akumulasi dari gerakan-gerakan anak muda yang dimulai hari ini. Maka, Indonesia sedang menanti bangkitnya anak-anak muda, membangun optimisme kolektif bahwa suatu saat para pemuda akan mampu memimpin Indonesia dan menjadikannya terhormat di antara bangsa-bangsa lain di dunia.

Terlalu muluk? Iya, jika kita menginginkannya esok hari. Tetapi ada satu keyakinan bahwa impian itu akan terwujud ketika kita memulainya dari hari ini. Saat mimpi butuh langkah konkret untuk direalisasi, maka ini adalah bentuk kontinuitas ikhtiar menuju hari itu. Belajar dan terus belajar, sebuah syarat mutlak sebab waktu terus berlari dan zaman berganti tanpa pernah menunggu siapa pun, hingga anak-anak muda harus mulai berani ikut memikirkan negeri, walau tak langsung berharap menjadi sosok yang akan mengubah negeri ini dari segala persoalan yang terjadi.

Alih-alih mengutuki keadaan, mengapa tidak kita mulai untuk melakukan gerakan kebaikan? Menjadi sadar bahwa pekerjaan membangun negara bukan hanya urusan pemerintah saja, melainkan urusan bersama, termasuk kita; anak-anak muda, putra-putri terbaik bangsa. Gerakan literasi, pendidikan, kebudayaan, lingkungan, politik, hukum, ekonomi, bisnis, pertanian, maritim, dan yang lainnya, apa pun itu yang kita inisiasi adalah langkah mulia untuk peradaban sebuah negara. Mulailah mengerti bahwa seringkali hal sederhana yang kita bisa kerjakan menjadi hal yang sangat luar biasa bagi banyak orang di luar sana, seberapa pun jauhnya.

Maka atas nama ikhtiar bersama, atas nama upaya menegakkan harapan atas masa depan yang lebih luar biasa, atas nama menggugah jiwa-jiwa muda, penulis mengajakmu untuk membangun optimisme anak-anak muda, membangun intelektualitas manusia Indonesia, sekecil apa pun, yang kita bisa, yang kita punya. Karena sesungguhnya pemuda dan perubahan akan selalu menjadi nafas zaman, tumpuan hari ini untuk membangun masa depan dan melanjutkan peradaban. Selayaknya keduanya adalah keniscayaan kehidupan yang tak akan pernah bisa direnggut oleh siapa pun, selain kematian.

Moh. Ainurrofiqin Founder Kelas Milenial & Student Dream Forum, Pemuda Pelopor Jawa Tengah, Direktur Java Literacy School, Tourism & Youth Peace Ambassador, Sahabat AIS Nusantara, Santri

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini