Bunga tak Sekadar Estetika, Tapi Mampu Jaga Keseimbangan Ekosistem, Kok Bisa?

Bunga tak Sekadar Estetika, Tapi Mampu Jaga Keseimbangan Ekosistem, Kok Bisa?
info gambar utama

Saat perjalanan antara Cilongok menuju Pekuncen, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng), di sepanjang jalan terdapat hamparan sawah yang begitu luas. Uniknya, di pinggir sawah yang berbatasan dengan jalan, para petani menanami berbagai macam tanaman bunga. Ada warna kuning dan merah.

Salah seorang petani di Desa Karangtengah, Cilongok, Sanuri (45), mengungkapkan kalau dirinya sengaja menanam bunga kenikir. “Kami diberitahu oleh para penyuluh lapangan pertanian (PPL) untuk menanami tanaman bunga kenikir. Ini bunganya kuning-kuning. Mereka mengatakan kalau bunga tersebut akan menumbuhkan musuh alami wereng. Ternyata pada saat panen bulan Oktober lalu, areal pertanian saya juga tidak diserang wereng,” ungkap Sanuri pada Jumat (2/11/2018).

Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Dinpertan) Banyumas Widarso mengakui kalau pihaknya telah mendorong kepada petani untuk menanam berbagai jenis tanaman bunga. “Tanaman hias berbunga itu adalah refugia. Jenisnya macam-macam, ada bunga matahari (Helianthus annus L.), bunga kenikir (Cosmos caudatus), bunga kertas (Zinnia sp.) dan lainnya. Bunga-bunga tersebut ternyata mampu mendatangkan predator alami hama, salah satunya adalah hama wereng batang coklat. Nyatanya, dalam beberapa waktu terakhir, ada dampak baik yakni minimnya serangan wereng,” jelas Widarso.

Widarso mengatakan ujicoba telah dilaksanakan di sejumlah tempat dan petani sudah merasakan dampaknya. Ke depannya, pihaknya terus mendorong agar penanaman berbagai macam tanaman bunga terus digalakkan.

1Dosen dan mahasiswa Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto tengah berada di tengah areal pengembangan tanaman bunga. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Mengapa tanaman bunga bisa mendatangkan predator alami hama tanaman padi? Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Mujiono mengatakan kalau tanaman refugia menghasilkan nektar karena memiliki bunga warna-warni. Bunga dari refugia disenangi oleh serangga berguna, sebab sebagai musuh alami dari hama tanaman khususnya padi dan sayuran. “Serangga yang merupakan predator alami tersebut disebut sebagai parasitoid. Makhluk hidup ini memangsa hama, sehingga sangat dibutuhkan dalam mengendalikan hama. Namun, musuh alami harus disediakan lingkungan yang baik untuk habitatnya,” ujarnya.

Untuk itulah, pihaknya mengembangkan rekayasa ekologi sebagai teknik pengendalian hayati dalam bidang pertanian. Ada berbagai jenis tanaman refugia yang dikembangkan di antaranya adalah kipahit atau rondo semoyo (Tithonia diversifolia), bunga tembelekan (Lantana sp.), akar wangi (Vitivera zizanioides), bunga tahi ayam (Tagetes erecta), kacang pintoi (Arcahis pintoi), bunga matahari, bunga kenikir, bunga kertas dan lainnya. “Seluruh bunga-bunga tersebut kami kembangkan di Experimental Farming (Exfarm) atau Kebun Percobaan di Kompleks Fakultas Pertanian Unsoed,” jelasnya.

Makanya, di kompleks Exfarm Fakultas Pertanian itu, berbagai jenis tanaman berbunga ditanam. Yang menarik, berbagai kupu yang serangga cukup banyak di area setempat. Itu menjadi pertanda kalau bermacam-macam serangga begitu tertarik dengan bunga yang menghasilkan nektar. “Kalau nantinya bunga-bunga ini disebar ke areal pertanian, maka itulah yang disebut dengan rekayasa ekologi untuk pengendalian hayati. Jadi, sebetulnya kami mencoba menyeimbangkan ekosistem di alam,” ungkap Mujiono.

Berbagai jenis tanaman bunga dikembangkan di Exfarm Usoed Purwokerto untuk musuh alami hama padi seperti wereng coklat | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Jadi sebetulnya, bunga itu sebagai bagian dari “rumah” parasitoid serta sebagai sumber makanan tambahan. Dengan demikian hidup parasitoid bakal lebih baik, karena tercipta lingkungan yang mendukung. “Fertilitasnya naik, jumlah telur juga banyak. Kalau jumlah telur banyak, maka mendorong populasi tinggi. Sehingga dengan populasi yang tinggi bakal tercipta musuh alami bagi hama tanaman,”katanya.

Untuk musuh wereng coklat, misalnya, adalah jenis Oligosita sp. dan Anagrus sp. “Oligosita sp itu mampu menyerang telur-telur wereng coklat, meski letaknya berada di dalam jaringan tanaman. Serangan tersebut tidak mematikan tanaman. Anagrus sp juga demikian. Kedua jenis predator ini menggunakan nektar sebagai salah satu pakan tambahan juga,” ungkap Mujiono.

Apakah pernah dipraktikkan? Mujiono mengungkapkan kalau dirinya telah mempraktikkan di berbagai tempat di antaranya di Cirebon dan Brebes. Di Kapetakan, Cirebon, misalnya, ada demplot seluas 30 hektare (ha) yang ditanami padi. Budidaya padi di lokasi setempat dilakukan secara organik mampu menghasilkan 9,5 ton per ha. “Karena kebutuhan pangan kita banyak, maka harus disiati dengan teknologi ramah lingkungan. Kami melakukan menanam padi dengan sistem alami tetapi ditopang dengan teknologi. Jadi, selain produksi sehat dan lingkungan lestari, hasilnya juga tinggi,” ujarnya.

Ia mengatakan selain mencoba di Cirebon, selama enam tahun terakhir, juga dikembangkan pertanian organik di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Hikmah 2 Benda, Desa Sirampog, Kecamatan Bumiayu, Brebes. “Sewaktu pertama kali mengembangkan pertanian di lokasi yang hanya sekitar 8.000 m2, areal sawah baru saja diserang hama wereng. Nah, biasanya sehabis serangan wereng bakal muncul penyakit tungro. Jadi, areal setempat harus disehatkan dulu. Berbarengan dengan itu, ditanami berbagai jenis tanaman berbunga. Alhamdulillah, sampai sekarang hama terkendali. Kalau pun ada, itu sangat kecil karena lingkungannya cocok untuk perkembangbiakan musuh alami. Setiap panen, mampu menghasilkan sekitar 5 ton padi. Memang kalau dibandingkan dengan areal dataran rendah, wilayah pegunungan akan lebih rendah produksinya karena pengaruh penyinaran,” katanya.

Bunga matahari mengundang serangga seperti lebah | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Kini, Mujiono juga tengah mengembangkan konsep semacam itu di Desa Windujaya, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas. “Ada lahan milik petani di desa setempat yang siap dikembangkan dengan teknologi ramah lingkungan dan penciptaan habitat musuh alami hama. Salah satu yang diupayakan adalah menggarap lahan sekaligus menyiapkan pematang sawah untuk ditanami berbagai jenis tanaman berbunga. Sehingga begitu padi mulai bertumbuh berbarengan dengan tanaman bunga. Harapannya, musuh alami dari hama padi seperti untuk wereng dan penggerek batang, akan datang ke lokasi setempat. Ekosistem alamiah jadi bisa dipertahankan tanpa perlu ada pestisida,” katanya.

Mujiono mengatakan untuk satu ha tanaman padi, misalnya, kebutuhan luas ideal tanaman bunga tidak bisa dipastikan. Hanya, semakin banyak tanaman bunga, maka kemunculan musuh alami hama tanaman padi kian banyak. Itu artinya, pengendalian hama dapat lebih baik. “Tanaman refugia juga harus diperhatikan, karena biasanya umur tanaman tersebut hanya berkisar antara enam bulan hingga satu tahun. Tanaman bunganya harus diganti. Tetapi kadang, tak perlu diganti karena ada yang tumbuh secara alami,”paparnya.

Sepertinya, para petani masih membutuhkan dorongan agar mereka mengembangkan tanaman refugia. Peran dari perguruan tinggi dan dinas terkait sangat penting untuk terus mensosialisasikan. Sebab, rekayasan ekologi itu sangat penting bagfi habitat predator hama sehingga diharapkan bakal menekan atau malah menghilangkan konsumsi pestisida.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini