Aku: Antara Kalimantan dan Surabaya

Aku: Antara Kalimantan dan Surabaya
info gambar utama

Oleh: Anna Desliani, Kakak Cerdas asal Kalimantas Selatan, mengabdi di Surabaya

Pertama kali datang ke Surabaya, saya seperti jarum dalam tumpukkan jerami. Tidak ada yang menyadari kehadiran saya di kota besar ini. Begitu pun dengan saya, tidak mengenal siapa-siapa kecuali teman satu program Sekolah Cerdas 2.0 yang berangkat bersama-sama dari Bandung kemarin.

Saya, melihat pohon saja rasanya asing. Trotoar, becak, sepeda, bahkan langit dan awan, mereka seakan menatap saya dan seperti bertanya-tanya dalam bahasa Jawa. Saya semakin bingung dan berfikir, "Apa mereka sedang menjelek-jelekkan saya, kemudian bersembunyi dibalik bahasa Jawa?"

Tiba-tiba angin berhembus menabrak kepala saya yang berjilbab. Saya pun tersadar, kemudian mendapati diri saya berdiri di tengah keasingan dengan berbagai macam prasangka. Ini sangat buruk bagi saya. Saya mencoba melepas prasangka-prasangka yang muncul pada kesan pertama. Lalu berfikir, "Sebenarnya saya yang belum mengerti mereka, dan mereka belum mengenal saya."

Ini bukan kesalahan saya ataupun mereka. Tapi sebuah pengharapan yang masuk ke pori-pori dada, lalu menyembulkan api pada tanah kering yang saya sebut perasaan diasing-disendirikan. Padahal, kita hanya belum saling mengenal satu sama lain.

Saya teringat kalimat Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan Indonesia yang gaung namanya tak pernah padam sampai sekarang, dalam batin saya, mungkin juga sejarah Indonesia. Dia bersuara dalam kalimatnya, "kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai."

Pram, sapaan akrabnya. Walaupun dia sudah tiada, namun setiap huruf yang tersusun pada kata dan kalimatnya ini seakan bertanya dan berpendapat di hadapan saya, "Mana di antara keduanya yang ingin kau adopsi? Kesalahan sebagai pandai atau sebagai bodoh, dua-duanya adalah kesalahan yang jelas."

Jika saya harus memilih, maka saya sudah melakukannya. Entah sebagai pandai ataupun sebagai bodoh, saya sudah melakukannya: berprasangka dan menganggap yang lain lebih--atau--kurang dari pada diri saya sendiri. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa ternyata itu hanyalah simbol dan penyematan nilai kita pada orang lain. Padahal kita manusia, bukan Tuhan yang segala-galanya.

Sejak itu, saat pengabdian saya sebagai relawan Sekolah Cerdas 2.0 dimulai. Setiap hari dalam perjalanan menuju sekolah yang saya dampingi selama kurang lebih tiga bulan di Surabaya. Saya melewati jalan di mana pohon-pohon berjejer di sisinya, trotoar tetap di tempat semula menunggu pengunjung lalu-lalang di sana.

Pun becak-becak sedang istirahat menanti penumpang kelelahan berjalan, serta langit dan awan yang perwajahannya tambah cerah di bawah terik hari ini. Setiap hari, saya melewati mereka dan sesekali saling menatap penuh misteri: bertanya dan menduga baik-baik saja. Dan tibalah pada hari ke-27 pengabdian. Saya mulai bisa mengobrol dengan mereka dan duduk di satu rasa yang sama: sebuah penerimaan ala kadarnya.

Kemudian, kita saling mendengar dan bertanya, tapi kali ini bukan dengan bahasa daerah mana pun. Hanya lewat tatapan mata, saya berjalan jauh ke dalam diri mereka. Saya menemukan cerita sedih yang akhirnya selalu dibiarkan menjadi porsi kebahagiaan bagi dirinya. Saya mendapati diri mereka sebagai makhluk yang memang tercipta dari dua sisi, memiliki kelemahan dan kekuatan, kekurangan serta kelebihan. Begitu pula dengan diri saya.

Kita berpendapat bahwa argumen yang dianggap benar dan kuat, kemudian membuat kita diakui oleh orang lain adalah sebuah penerimaan baik. Tetapi, ada satu hal yang selalu terlupa. Kata Erick Lincoln, CoFounder PeaceGeneration Indonesia "kita adalah manusia. Terlepas dari seluruh perbedaan yang tercipta," termasuk perbedaan pendapat dan bahasa.

Ketika saya terlahir sebagai Kalimantan, dan mereka sebagai Jawa. Sebenarnya, saat itu juga kita telah diterima oleh semesta. Kemudian, saya bertekad untuk tidak menduga-duga dengan merasa kecil atau mengecilkan yang lain. Karena saya menyadari, kita adalah manusia yang memang dilahirkan berbeda.

Di tengah perbincangan, rupanya waktu itu (pertama kali bertemu) mereka ingin berkenalan dengan saya. Tanpa mereka tahu sebelum menginjakkan kaki di kota ini, saya juga ingin mengenal mereka. Dan lebih dari sekadar keinginan kita, Tuhan sudah lebih dulu menuliskannya di Lauh Mahfudz kalau kita akan bertemu, Surabaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini