Belajar Bahagia dari Negeri di Tebing Himalaya

Belajar Bahagia dari Negeri di Tebing Himalaya
info gambar utama

Mungkin tak banyak publik di Indonesia yang mengenal negeri ini, negeri ini dijuluki "Shangri-La di bumi" karena keindahannya, juga sering disebut "“Land Of The Thunder Dragon” atau "Negeri Naga Guntur". Bhutan namanya. Negara di tebing Himalaya yang ukurannya kira-kira seluas Propinsi Jawa Tengah ini dikenal karena rakyatnya yang sangat sopan, halus, suka menolong, dan ramah. Para turis asing yang pernah ke Bhutan selalu menceritakan hal tersebut. Sebuah sifat yang sepertinya sudah menjadi karakter utama mereka. Dan mereka melakukannya, karena mereka sendiri adalah masyarakat yang paling bahagia di dunia.
Paro Taktsang | wikimedia.org
info gambar
Salah satu yang unik dari Bhutan ini adalah bagaimana mereka tak begitu mengejar pertumbuhan ekonomi (yang menurut mereka akan menganggu harmoni manusia dan alamnya), mereka benar-benar hanya ingin membuat rakyatnya bahagia. Karena mereka meyakini, kebahagiaan manusia adalah elemen terpenting bagi masa depan yang sustainable.
Ada lagi yang unik.

Negara ini adalah negara satu-satunya diunia yang memiliki Gross National Happiness (GNH) index. Sesuai namanya, GNH memang mengukur tingkat kebahagiaan rakyatnya, termasuk kualitas hidup mereka, dan memastikan bahwa pembangunan spiritual dan material berjalan beriringan.

Dan Bhutan berhasil melakukannya, mencari keseimbangan di antara keduanya. Negara ini selalu berada di peringkat atas di antara negara-negara Asia yang rakyatnya paling bahagia. Ketika ekonomi negara ini tumbuh sangat cepat di tahun 2007, mereka juga berhasil menjaga identitas budaya dan lingkungan hidupnya.
Anak-anak sekolah di Bhutan | BBC.com
info gambar


Negara yang diapit 2 raksasa Asia (India dan China) ini kini menjadi laboratourium besar bagaimana menjadi sebuah bangsa yang tumbuh seimbang antara pembanguan fisik dan spiritualnya.

Tapi apa sebenarnya yang membuat rakyat Bhutan begitu bahagia?
Pertama dan yang terutama, orang Bhutan bahagia dan puas akan hidupnya di negeri tersebut. Mereka memilih tinggal dan hidup berdekatan dengan 'akar' mereka, tidak materialis, dan memilih ketenangan.

Dan sepertinya, pemerintah Bhutan, para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan, benar-benar menjalankan konsep dan semangat dari GNH. Bagi mereka, kebahagiaan rakyatnya dan karunia alam yang dianugerahkan pada mereka, adalah hal yang paling penting untuk masa depan yang sustainable di Bhutan. Mereka tanpa ragu menolak investasi atau rencana pembangunan yang menganggu keseimbangan alamnya, yang pada akhirnya akan menodai kebahagiaan orang Bhutan.

Undang-undang Bhutan menyebutkan bahwa 60% kawasan negara tersebut harus selamanya berbentuk hutan, dan hal ini meresap kuat di sanubari rakyatnya. Saat putra mahkota lahir, 108 ribu pohon ditanam oleh rakyatnya untuk menghormati kelahiran tersebut. Di negara lain, penghormatan mungkin dilakukan dengan pesta pora. Pada Juni 2015 lalu mereka membuat rekor dunia dengan memberdayakan 100 sukarelawan untuk menanam 49.672 pohon selama satu jam.
Hutan lebat di Bhutan, 60 % dari seluruh wilayah negeri | junglekey.in
info gambar


Semua negara di dunia menghasilkan emisi karbon. Semua negara di dunia juga berniat untuk mengurangi jejak karbon tersebut. Sebagai pengawal, Bhutan dinobatkan sebagai negara pertama yang jejak karbonnya negatif.

Menjadi negara dengan jejak karbon negatif sendiri berarti mereka menyerap lebih banyak karbon dioksida ketimbang membuang. Secara spesifik, tiap tahun Bhutan menghasilkan emisi 1,5 juta ton karbon dioksida sedangkan hutan mereka berhasil menyerap 6 juta ton karbon dioksida.

Di dunia yang kini didominasi oleh globalisasi, negara-negara berkembang bisa mengambil manfaat darinya, - ekonomi yang makin kuat, akses ke teknologi-teknologi terkini, pelayanan kesehatan yang lebih baik, ..dan tentu saja ada yang dikorbankan. Diakui atau tidak, globalisasi juga datang bersama dengan budaya barat atau budaya bangsa-bangsa lain. Dengannya, ada resiko hilangnya bahasa tradisional, budaya dan adat istiadat , juga 'korban' lain.
Paling bahagia di dunia | independent.co.uk
info gambar



Intinya, globalisasi memang menguntungkan bagi GDP, tapi akankah memberi manfaat pada GNH? Dalam banyak kasus, negara-negara berkembang kehilangan identitasnya, budayanya, asal muasalnya, cara hidup, dan kekayaan alamnya atas nama globalisasi. Kehidupan masyarakat beserta budayanya, juga ekonominya, akan terhubung langsung langsung ke dunia. Ide-ide global dari mengalir tanpa henti, dan kadang menghilangkan budaya negara bersangkutan, demi tumbuhnya ekonomi dan pendapatan.

Yang paling ideal adalah, globalisasi tetap diterima tanpa harus kehilangan identitas nasionalnya.

Dan Bhutan telah menemukan keseimbangan yang sempurna. Beberapa tahun terakhir ini, internet, TV kabel, handphone, dan teknologi-teknologi dan ide-ide modern lain telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Bhutan. Tapi keinginan masyarakatnya untuk melestarikan nilai-nilai budaya, juga dalam menjaga lingkungan hiduonya telah berhasil menjaga mereka dari 'kerusakan' akibat globalisasi yang telah sampai ke mereka.

Ekonomi dan budaya Bhutan tumbuh, berkembang, dan juga berubah. Namun indentitas nasional tetap lestari. Strategi Bhutan yang unik ini telah menjadi buah bibir dunia, dan dianggap sebagai solusi terhadap globalisasi. Mereka mampu beradaptasi dengan globalisasi; memperkuat ekonomi mereka, sambil terus melestarikan tradisi dan budaya yang telah berusia ribuan tahun.

Bhutan adalah satu-satunya kerajaan Buddha di dunia, namun juga negara dimana teknologi, dan budaya negara lain juga bisa dinikmati. Kita bisa menonton film barat di tv kabel di hotel di sana, dan di saat yang sama para biksu Buddha sedang bersembahyang di rungan lain di hotel yang sama.
Raja Jigme dan ratu , muda dan visioner |
info gambar

Pada tahun 2008, pemilu demokratis pertama memunculkan Jigme Khesar Namgyel Wangchucks sebagai pemimpin negeri tersebut. Dia masih muda, baru 28 tahun. Sat penobatannya, dia berikrar untuk "menjaga Bhutan dari aspek terburuk dari globalisasi, melestarikan "Gross National Happiness". Meski begitu, Jigme tidaklah anti globalisasi. Dia sendiri adalah lulusan Phillips Academy dan Wheaton College dan kemudian lulus dari Oxford. Jigme sekarang sedang menyusun formula untuk menyempurnakan keseimbangan antara melestarikan nilai tradisi dan budaya dan pada saat uang sama menumbuhkan ekonomi.

Dalam taraf tertentu, Indonesia bisa sedikit banyak meniru langkah Bhutan ini. Bagaimanapun , kesejahteraan masyarakat adalah yang utama, pelestarian lingkungan hidup adalah yang utama, dan menjaga elemen-elemen penting untuk masa depan adalah yang utama.

Dan itu tak bisa dicapai hanya dengan membangun ekonominya saja. Bhutan sudah memberi pelajaran.

(dari berbagai sumber)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini