Go-Jek: Ditolak Filipina, Langsung Beli Fintech-nya

Go-Jek: Ditolak Filipina, Langsung Beli Fintech-nya
info gambar utama

Beragam cara terus diupayakan Go-Jek agar bisa mengaspal di Filipina. Pada Selasa (22/1) kemarin contohnya, raksasa layanan berbagi tumpangan (ride-hailing) ciptaan Indonesia ini mengakuisisi sebuah perusahaan financial technology (fintech) di Filipinia.

Coins. ph namanya, dan nilai akuisisi Go-Jek diperkirakan bernilai USD 72 juta. Jika dirupiahkan dengan kurs USD 1 = Rp 14.000, maka nilai akuisisi tersebut setara Rp 1 triliun, dan kemungkinan adalah yang terbesar yang dilakukan Go-Jek.

Pembelian mayoritas saham Coins.ph ini bertujuan untuk menguatkan skema pembayaran non-tunai dalam bentuk Go-Pay. Sebab Coins.ph memiliki tiga unit bisnis besar yakni mobile payment, uang digital, dan sistem pembayaran untuk kalangan usaha.

Khusus untuk unit uang digital, start-up yang didirikan pada 2014 ini melayani jual beli mata uang kripto (cryptocurrency) seperti Bitcoin, Bitcoin Cash, dan Ethereum. Bitcoin-nya juga diperjualbelikan dengan mata uang peso Filipina, walau pembeli dan penjual tidak memiliki rekening bank.

“Pengumuman hari ini menandai dimulainya komitmen jangka panjang kami di Filipina dan kelanjutan misi kami untuk menggunakan teknologi untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari dan menciptakan dampak sosial yang positif,” terang pendiri dan CEO Go-Jek, Nadiem Makarim, dikutip dari CNBC Indonesia.

Sementara itu CEO Coins.ph, Ron Hose, yang juga pengusaha di Silicon Valley, mengatakan bahwa masuknya Go-Jek ke start-up yang didirikannya akan membuat mereka saling “berbagi visi yang sama yang telah membuat masing-masing sukses di pasar mereka.”

Akuisisi ini dinilai akan semakin memuluskan upaya Go-Jek untuk mengaspal di Filipina. Uniknya, cara Go-Jek melakukannya di Filipina berkebalikan dengan di Indonesia. Jika di Indonesia yang diperkuat terlebih dulu adalah layanan transportasinya baru disokong Go-Pay, di Filipina Go-Jek membangun layanannya dimulai dengan Go-Pay.

Kedatangan Go-Jek di Filipina awalnya ditolak pemerintah negara tersebut lantaran terganjal regulasi kepemilikan asing perusahaan dengan kebutuhan publik, yang mayoritas harus dimiliki warga lokal. Pemerintah Indonesia pun ikut bergerak, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, yang terus melobi Filipina agar ‘Salam Satu Aspal’ bisa menggema di sana.


Sumber: Bitcoinist, CNBC Indonesia, Tirto

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini