Budi Pekerti, Pelajaran Luhur Budaya Bangsa

Budi Pekerti, Pelajaran Luhur Budaya Bangsa
info gambar utama

Pada tahun-tahun 50-60 an ketika saya masih belajar di SR atau Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) saya belajar mata pelajaran Budi Pekerti. Di sana diajari cara sopan santun dengan orang lain terutama yang lebih tua, saling menghormati dengan sesama.

Kalau pulang pun kami satu kelas di minta “anteng-antengan” atau bersikap hormat diam tidak membuat gaduh sambil kedua tangan ditaruh di bangku kelas. Siapa yang paling “anteng” pulang duluan.

Masuk sekolah berbaris sambil mencium tangan ibu/bapak guru, dan masuk di kelaspun semua tangan diperiksa kukunya, yang kukunya kedapatan panjang dihukum. Cara menghukum pun pada waktu itu secara umum dijewer telinga kita atau disetrap, disuruh berdiri didepan kelas.

Di masa-masa itu ketika saya mengaji Al-Qur’an di Langgar atau Surau di Kampung saya di Surabaya Pusat agak ke utara, kalau bacaan “Tajwid” (panjang pendeknya bacaan) salah maka tangan saya dipukul pelan-pelan oleh ustadz saya dengan kayu rotan kecil.

Kami anak-anak kecil tidak marah atau protes kalau mendapat hukuman seperti itu, malahan kami begitu hormatnya kepada bapak ibu guru dan ustadz kami, sikap hormat kami itu di samping diajarkan orang tua kami masing-masing di rumah juga kami peroleh dari pelajaran Budi Pekerti itu. Hasilnya kami bersikap sopan kepada mereka, tidak berani menatap matanya ketika kami ditegur atau dinasihati.

Kalau saya lapor pada ibu saya dan kakak-kakak saya kalau saya menerima hukuman dijewer atau dipukul dengan rotan itu, ibu dan kakak-kakak saya juga tidak bereaksi berlebihan. Dihukum karena salah itu bagi mereka sudah merupakan “accepted norms” atau norma-norma umum yang diterima di masyarakat kita. Sudah jamak dan wajar anak salah dihukum, tentu hukuman yang wajar dalam bentuk kasih sayang.

Dalam perkembangan jaman yang kita klaim sebagai jaman modern ini, kadang terjadi ketika anak lapor dihukum gurunya, maka ada orang tua yang menganggap tindakan itu sebagai “Violation of Human Rights” atau Pelanggaran Hak Azasi manusia, dan karena itu guru tersebut harus dilaporkan ke Polisi.

Banyak kejadian, murid-murid yang tidak terima dinasihati atau ditegur gurunya karena melanggar norma atau aturan yang berlaku malah dengan beraninya melawan gurunya, dengan membelalakkan matanya tanda marah menantang berkelahi. Misalnya pada bulan Februari 2019 ini kita di kejutkan dengan berita seorang murid di Gresik Jawa Timur menantang gurunya — yang seorang guru honorer bergajinya hanya Rp 450.000/bulan — karena ditegur disuruh masuk kelas sebab pada jam pelajaran murid itu dengan teman-temannya malah berada di warung kopi.

Masih di bulan Februari 2019 ini di Jogyakarta seorang guru juga di-bully seorang murid karena tidak terima ponselnya disita pada saat ujian. Memang aturannya saat ujian murid-murid dilarang bawa ponsel.

Yang menyedihkan dalam kedua kejadian itu, semua murid di kelas tertawa-tawa menyaksikan kejadian bahkan merekam temannya yang melawan guru-gurunya tadi.

Yang lebih menyedihkan lagi – pada bulan Februari tahun lalu 2018 (kok ya kebetulan sama-sama bulan Februari), seorang murid di Sampang, Madura yang tidak terima ditegur gurunya karena membuat gaduh di kelas memukul gurunya – yang nota bene guru honorer – di depan teman-temannya sampai mengakibatkan tewasnya guru tersebut.

Kejadian semacam itu juga terjadi di beberapa daerah.

Meskipun kita tidak boleh menggeneralisir bahwa murid-murid jaman now ini punya perilaku seperti itu, karena masih buaaaaannyaaak (kata orang Surabaya) anak-anak didik di negeri ini yang memiliki perilaku sopan santun; namun kejadian itu merupakan pengingat atau “Wake Up Call” bagi bangsa ini bahwa mata pelajaran seperti Budi Pekerti itu masih sangat relevan di jaman Revolusi Industri 4.0 ini. Mata pelajaran Budi Pekerti – atau apapun namanya saat ini seperti Pendidikan Moral Pancasila/PMP atau Soft Skill – adalah mata pelajaran penting karena itu berasal dari akar budaya bangsa yang luhur, berasalah dari nilai-nilai agama yang agung.

Saya sering becerita tentang pengalaman saya mengikuti Pertukaran Pemuda ASEAN – Jepang tahun 1982 waktu di atas Kapal Program Pertukaran itu – Nippon Maru, dan ketika berada di Jepang atau ketika saya bekerja di sebuah Bank Jepang yang terkemuka tahun 1990-an, menyaksikan orang-orang muda Jepang menghormati para senior mereka dengan membungkukkan badan atau menganggukkan kepala dalam-dalam, serta dengan menjaga jarak badan mereka tanda hormat. Jepang yang soal modernitasnya melebihi bangsa kita, tapi masih melestarikan budaya luhur mereka dalam menghormati orang yang lebih tua.

Jadi apapun jaman yang melintasi kita, apakah itu 4.0, atau 5.0 atau apapun sebutannya nanti yang ditandai dengan kemajuan teknologi di luar jangkauan manusia saat ini, yang semuanya menggunakan teknologi informasi super canggih, robot, online, digital, artificial intelligent, dan sebagainya, anak-anak kita harus diajari Budi Pekerti yang baik. Diajari sejak awal soal “manner” – sopan santun.

Misalkan pada hari Raya Idul Fitri atau hari Raya lainnya yang berlaku di negeri ini, maka anak-anak kita, bahkan kita sendiri wajib melakukan silaturahim secara fisik, bertatap muka, mencium tangan kedua orang tua, minta doa restu mereka, berdialog dengan santun, dan lainnya; yang menunjukkan adab, tatacara sopan santun yang baik dengan orang yang lebih tua.

Jangan karena alasan kemajuan teknologi, anak-anak kita melakukan silaturahimnya hanya lewat WhatApps, Facebook, Twitter atau Instagram. Bagi saya silaturahim dengan cara ini adalah merupakan Budi Pekerti yang tidak real, alias semu. []

---

Alumni Universitas Airlangga Surabaya; University of London, Inggris.

Staf Khusus Rektor Unair Bidang Internasional.

(Pendapat penulis tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana dia bekerja).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini