Si Buruk Rupa Pencegah Kanker

Si Buruk Rupa Pencegah Kanker
info gambar utama
  • Kekayaan laut Indonesia menyediakan beragam kebutuhan pangan dan obat-obatan, salah satunya teripang untuk obat anti kanker
  • LIPI terus melaukan penelitian dan pengembangan bahan aktif dari organisme laut sebagai agen antikanker, serta pangan untuk mencegah penyakit kanker
  • Sejumlah organisme laut yang berpotensi untuk menjadi bahan antikanker dan pencegahan kanker, adalah spons laut, mikroba yang berasosiasi dengan spons laut dan mikroba laut dalam, teripang, ikan dan alga.
  • Selain berpotensi obat, teripang menjadi komoditas hasil laut untuk ekspor sehingga mengalami overfishing di Indonesia. Bahkan telah ditetapkan sebagai satwa terancam oleh IUCN. Oleh karena itu P2O LIPI mengembangkan budidaya teripang skala komersial

Kekayaan laut Indonesia sudah lama dikenal ke penjuru dunia sebagai salah satu yang terkaya di dunia. Tidak hanya menyediakan beragam kebutuhan pangan, laut Indonesia juga memiliki kekayaan berupa obat yang ada dalam tubuh biota laut. Salah satunya, adalah obat untuk penyakit kanker, penyakit yang ditakuti dunia karena keganasannya.

Kementerian Kesehatan pernah merilis hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) dan menjelaskan bahwa prevalensi kanker sudah mengalami peningkatan dari 1,4 persen pada 2013 menjadi 1,8 persen pada 2018. Angka itu menunjukkan, bahwa penyakit kanker menjadi salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Indonesia.

Tidak hanya itu, jumlah penderita kanker di seluruh dunia juga dari waktu ke waktu terus memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Dari laporan yan dirilis oleh International Agency for Research on Cancer dari organisasi kesehatan dunia (WHO) diperkirakan sebanyak 18,1 juta kasus kanker baru dan 9,6 juta kematian diakibatkan kanker terjadi sepanjang 2018.

Bagi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), fakta-fakta di atas menjadi bentuk keprihatinan yang harus dilawan dan dicarikan obatnya. Di antara upaya yang bisa dilakukan, adalah dengan memanfaatkan kekayaan biota laut untuk dijadikan obat kanker. Hal itu diungkapkan peneliti Pusat Penelitain Oseanografi (P2) LIPI Ratih Pangestuti di Jakarta, pekan lalu.

“Beragam obat anti kanker sebenarnya sudah tersedia sejak lama. Namun sejak akhir 1980-an, sekitar 80 persen obat anti kanker yang tersedia di pasar adalah produk alami atau sintesis dari produk alami,” ujarnya.

Salah satu jenis teripang | Foto: manfaat.co.id/Mongabay Indonesia
info gambar

Menurut Ratih, dengan fakta tersebut, Indonesia bisa mengembangkan obat dengan menggunakan bahan baku dari biota laut. Terlebih, sebagai negara kepulauan, perairan Indonesia dikenal memiliki kekayaan biota laut yang sangat beragam. Sebut saja spons laut, kelinci laut, tunikata, karang lunak, rumput laut, sampai moluska.

“LIPI berkomitmen untuk meneliti dan mengembangkan bahan aktif dari organisme laut sebagai agen antikanker, serta pangan untuk mencegah penyakit kanker,” jelasnya.

Sumber Pangan

Ratih menuturkan, konsep pangan yang disebut di atas, adalah pangan atau komponen makanan yang berfungsi untuk meningkatkan kondisi ketahanan tubuh dan mengurangi resiko terjangkitnya berbagai macam penyakit, di antaranya adalah kanker. Untuk saat ini, pengembangan bahan baku obat dari organisme laut dilakukan dengan menggandeng perusahaan farmasi dari Spanyol, Pharma Mar.

Ratih mengungkapkan, sejumlah organisme laut yang berpotensi untuk menjadi bahan antikanker dan pencegahan kanker, adalah spons laut seperti jenis Melophlus sarassinorum yang berasal dari perairan Makassar (Sulawesi Selatan), mikroba yang berasosiasi dengan spons laut dan mikroba laut dalam, teripang– termasuk teripang pasir dan teripang emas, ikan dan alga.

“LIPI mengoleksi 50 jenis teripang untuk dilakukan identifikasi senyawa aktifnya dan aktivitas anti kanker,” jelasnya.

Seorang warga memperlihatkan teripang hasil panen buka ‘sasi” di Tanjung Vagita, di wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Tanjung Vagita merupakan salah satu wilayah yang menerapkan konservasi tradisional “sasi” Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
info gambar

Selain menjadi bahan anti kanker, Ratih menuturkan, biota laut seperti makroalga, rumput laut, dan ikan juga memiliki potensi untuk menjadi sumber pangan pencegahan kanker. Di dalam rumput laut misalnya, terdapat senyawa antikanker potensial seperti klorofil, karotenoid, asam fenol, mycrosporine like amino acid (MAA), alkaloid, saponin, dan polisakarida tersulfasi.

Ratih menyebutkan, teripang dan spons laut sangat potensial untuk dijadikan obat kanker, sementara alga dan ikan berpotensi untuk menjadi sumber pangan untuk pencegahan kanker. Sebagai sumber pengobatan, bahan aktif yang terdapat pada organisme laut tersebut, sangat efektif untuk membunuh sel kanker dan atau mencegah metastasis kanker.

“Spons laut dapat digunakan sebagai bahan anti kanker untuk kanker leukimia, sementara teripang dapat digunakan sebagai bahan kanker payudara dan kanker ovarium,” paparnya.

Untuk bahan aktif pencegahan kanker dengan memanfaatkan organisme laut, Ratih mengatakan, itu bagus untuk memadamkan radikal bebas dalam tubuh dan bisa juga untuk meningkatkan ketahanan tubuh. Kalau terus menerus ada di dalam tubuh, radikal bebas akan merusak makromolekul seperti DNA, protein, lemak yang dapat memicu kanker.

Tanpa ragu, Ratih menyebut kalau harga teripang di luar negeri, contohnya di Hong Kong, Tiongkok, bisa mencapai puluhan juta rupiah per kilogram. Sementara, di Indonesia hingga saat ini, teripang masih dijadikan komoditas ekspor semata, sedangkan yang sudah dalam bentuk suplemen itu didatangkan dari luar Indonesia.

Diketahui, teripang masuk dalam filum Echinodermata dan tumbuh nyaman di perairan hangat Indonesia. Dalam setahun, biota laut unik tersebut bisa diekspor ke berbagai negara maksimal hingga 2 juta kilogram dengan nilai ekspor mencapai Rp128 miliar. Fakta itu diungkapkan peneliti dari Balai Bio Industri Laut Mataram Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Firdaus.

“Tetapi, walau bernilai besar, nilai teripang seharusnya bisa lebih besar lagi di pasar internasional. Saat ini, semua teripang yang diekspor ke berbagai negara itu tidak dalam bentuk yang sesuai dengan kehendak pasar,” ungkap dia di Jakarta, pekan lalu.

Teripang pasir (Holothuria scabra) | Foto: BPSPL Padang/Mongabay Indonesia
info gambar

Bernilai Tinggi

Firdaus menyebutkan, dalam mengekspor teripang, Indonesia melakukannya dalam bentuk hidup, segar, kering, ataupun olahan. Biota laut yang dikenal juga dengan sebutan timut laut (sea cucumber) itu, diprediksi akan menjadi komoditas unggulan di masa mendatang untuk dikirim ke negara lain, karena bernilai ekonomis tinggi.

“Teripang bernilai ekonomis tinggi karena itu adalah bahan pangan yang dipercaya memiliki berbagai manfaat kesehatan. Dan Indonesia telah lama dikenal salah satu produsen utama produk teripang utamanya dari hasil perikanan tangkap,” jelasnya.

Firdaus menjelaskan, dari 1.000 jenis lebih teripang yang ada di dunia, baru sekitar 35 jenis saja yang sudah diperdagangkan. Untuk di Indonesia, teripang yang bernilai ekonomi tinggi adalah teripang pasir (Holothuria scabra) yang harganya di pasar internasional berkisar USD15 hingga USD1.500 per kilogram. Oleh itu, biota laut tersebut termasuk salah satu yang dieksploitasi secara komersial di kawasan tropis.

Sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi di Indonesia, Firdaus mengatakan, teripang pasir dikenal juga dengan sebutan teripang gosok atau sandfish. Teripang jenis tersebut, biasanya diekspor dalam bentuk kering ke berbagai negara seperti Tiongkok, Taiwan, Korea, Hong Kong, Singapura, dan sejumlah negara di Eropa.

“Khusus di Eropa, kita mengirimnya dalam bentuk olahan siap masak,” jelasnya.

Kepala P2O LIPI Dirhamsyah mengatakan, teripang sangat mudah ditemukan di perairan dangkal, terutama di wilayah perairan Indo-Pasifik. Tempat hidup teripang adalah di perairan dangkal berupa ekosistem padang lamun dengan substrat pasir berlumpur.

Tim monitoring melakukan pendataan hasil teripang yang didapat dari wilayah sasi di Kampung Folley, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Mereka mendata jenis teripang serta ukurannya | Foto: Nugroho Arif Prabowo/TNC/ Mongabay Indonesia
info gambar

Mengingat lokasi yang mudah ditemukan oleh nelayan dan juga karena bernilai ekonomi tinggi, teripang menjadi mudah dieksploitasi hingga diperdagangkan dengan volume yang besar. Kondisi itu, membuat spesies teripang terus mengalami penangkapan berlebih (overfishing) dari waktu ke waktu.

“Teripang pasir diambil secara terus menerus dari alam tanpa memperhatikan umur dan ukuran, dari anakan muda sampai dewasa. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tingginya permintaan pasar,” ungkapnya.

Dengan kemudahan lokasi untuk menangkap, Dirhamsyah menambahkan, eksploitasi semakin tidak terbendung dan kondisi itu diperparah dengan tidak adanya manajemen stok yang baik. Hal itu akan berdampak pada penurunan populasi teripang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang dikenal luas sebagai produsen teripang di dunia.

Ancaman yang dihadapi teripang, membuat International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkannya sebagai satwa yang terancam (endangered). Menurut Dirhamsyah, untuk mencegah terjadinya penurunan dan kepunahan spesies teripang, diperlukan teknologi budidaya untuk mengembangkan komoditas tersebut.

“Itu sekaligus untuk mendukung upaya konservasi, usaha budidaya, dan sekaligus penyediaan bahan baku pangan,” tandasnya.

Sebelum penelitian yang dilakukan LIPI sekarang, penelitian teripang sebagai budidaya sudah dilakukan oleh P2O sejak 1994 melalui penemuan awal pengembangan tahap selanjutnya. Kemudian, pada 2011, Balai Bio Industri Laut (BBIL) LIPI mulai melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan budidaya teripang pasir dalam skala komersial.

Hingga sekarang, BBIL telah menguasai teknik pemeliharaan dan pematangan gonad induk, teknik rangsang pijah dan pemijahan, teknik pemeliharaan larva, teknik budidaya pakan alami larva yang dilaksanakan di laboratorium, teknik pendederan anakan. Melalui penguasaan teknologi pembenihan, sejak 2015 panti benih BBIL LIPI sudah memproduksi benih secara massal.


Sumber: Ditulis oleh M Ambari dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini