Kala Warga Sungai Nibung Nikmati Manfaat dari Menjaga Hutan Mangrove

Kala Warga Sungai Nibung Nikmati Manfaat dari Menjaga Hutan Mangrove
info gambar utama
  • Hutan mangrove di Sungai Nibung, terbilang bagus. Sayangnya, pengetahuan minim, menyebabkan warga cenderung eksploitasi alam. Tangkap ikan pakai racun, bom ikan, setrum atau trawl menyebabkan kerusakan ekosistem terutama hutan mangrove. Pembukaan tambak skala besar, alih fungsi lahan untuk perkebunan, atau penebangan mangrove jadi arang. Dampaknya, hasil tanggapan nelayan sedikit
  • Warga pun mulai bikin aturan buka tutup sungai dan larangan rusak mangrove. Pada 2016, Yayasan Planet Indonesia, masuk dengan mengajak masyarakat Sungai Nibung, menjaga hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan habitat kepiting, ikan, dan udang sungai.
  • Lewat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017, Sungai Nibung, punya 3.058 hektar hutan desa. Desa ini juga ada dalam hutan lindung mangrove, dan berbatasan langsung dengan laut Cina Selatan. Desa ini telah membagi kawasan dengan zona-zona. Ada zona lindung kepiting, zona lindung penyu, zona lindung bekantan, zona lindung mangrove dan zona pemanfaatan. Dengan pengaturan zona, Desa Sungai Nibung bertekad mengambil manfaat alam secara berkelanjutan.
  • Kini, Desa Sungai Nibung, berhasil meningkatkan pendapatan warga dari hasil perikanan sungai buah dari menjaga hutan mangrove mereka.

Mentari baru naik sepenggalan. Cahaya keemasan memedar di permukaan perairan Kubu Raya, Kalimantan Barat. Speedboat Romy, melaju, terhempas-hempas melawan gelombang. Sedari subuh, lelaki 28 taun ini keluar rumah. Speedboat-nya, mengarungi perairan dengan rute tempuh Pelabuhan Rasau Jaya-Sungai Nibung, Kecamatan Teluk Pakedai, Kubu Raya.

Selang dua jam, speedboat sampai ke dermaga rakyat di Sepok Panjang, Desa Sungai Nibung. Pelabuhan ini, sebenarnya milik pengepul ikan. Tampak para nelayan membawa hasil tangkapan. Udang sungai berukuran besar diangkut, dan dipilah berdasarkan ukuran.

Tauke-sebutan untuk pemodal atau pedagang keturunan Tionghoa–sibuk menekan tombol kalkulator. Udang pun bertukar jadi rupiah. Nelayan sumringah.

“(Udang) besar-besar ini kelas A,” kata si Tauke, tanpa mengalihkan pandangan dari kalkulator. “Kalau mau lebih kecil ada di dalam,” katanya.

Desa Sungai Nibung, cukup sibuk pagi itu. Nama desa inipun diambil dari tumbuhan palma, nibung (Oncosperma tigillarium), yang banyak di bantara kali. Batang kayu nibung warga gunakan sebagai bahan bagunan rumah, gertak maupun dermaga.

Mata pencaharian utama warga desa ini adalah nelayan, petani dan pedagang dengan penduduk sekitar 650 keluarga atau 1.500 jiwa.

Belakangan, desa ini berhasil meningkatkan pendapatan warga dari hasil perikanan sungai buah dari menjaga hutan mangrove di sekitar desa.

Bagi warga, alam menyediakan tempat mencari nafkah. Hanya menjala sebentar, mereka bisa mendapatkan uang. Kebanyakan uang untuk kebutuhan sekunder.

Pengetahuan minim menyebabkan warga cenderung eksploitasi alam. Tangkap ikan pakai racun, bom ikan, setrum atau trawl menyebabkan kerusakan ekosistem terutama hutan mangrove. Pembukaan tambak skala besar, alih fungsi lahan untuk perkebunan, atau penebangan mangrove jadi arang.

Kondisi desa ini, bisa dibilang minim sarana dan prasarana. Listrik PLN belum masuk desa ini. Warga hidup malam hari mengandalkan genset. Sinyal telekomunikasi terbatas, dan aksesibilitas minim. Jalur tercepat pakai jalan air.

“Buta huruf cukup tinggi, bukan karena tak ada biaya bersekolah. Begitu kenal duit, (mereka) lupa sekolah,” kata Neneng, Kepala Sekolah Menengah Pertama di Sungai Nibung. Neneng pulang ke Pontianak seminggu sekali.

Di Sungai Nibung, dia tinggal di rumah yang dia bangun. Sepuluh tahun sudah Neneng bertugas di sana.

Neneng bilang, hal dasar utama membuka wawasan warga sekitar agar menerima informasi bermanfaat dengan meningkatkan taraf hidup mereka. “Jika, bisa baca tulis, mereka bisa tahu menjaga alam,” katanya.

Neneng mengajarkan siswanya memanfaatkan cangkang kerang, atau tengkuyung dalam bahasa setempat, jadi gantungan kunci, tirai, atau asbak. “Masih sederhana, hasil karya anak-anak saya jual di Pontianak. Dititipkan di beberapa tempat,” katanya.

Yayasan Planet Indonesia (YPI), pun mempunyai gagasan sama. Sejak masuk pada 2016, lewat pendekatan konservasi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Kita ada beberapa program, seperti pengembangan bisnis, tabungan warga, dan literasi,” kata Miftah Zam Achid, Manager Pemberdayaan Yayasan Planet Indonesia.

Saat berkunjung ke Sungai Nibung, 19 Februari 2019, YPI tengah membagikan sertifikat bagi warga yang telah merampungkan pendidikan baca tulis.

Tanda larangan di hutan mangrove di Desa Sungai Nibung, Kubu Raya, Kalimantan Barat | Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia
info gambar

Hutan desa

Sungai Nibung, punya 3.058 hektar hutan desa, dengan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2017. Desa ini juga ada dalam hutan lindung mangrove, dan berbatasan langsung dengan laut Cina Selatan. Desa ini telah membagi kawasan dengan zona-zona. Ada zona lindung kepiting, zona lindung penyu, zona lindung bekantan, zona lindung mangrove dan zona pemanfaatan. Dengan pengaturan zona, Desa Sungai Nibung bertekad mengambil manfaat alam secara berkelanjutan.

Pada 2016, YPI mengajak masyarakat Sungai Nibung, menjaga hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan habitat kepiting, ikan, dan udang sungai. Mereka hidup di antara akar-akar mangrove. Hutan makin terjaga, makin besar manfaat bagi masyarakat. Setelah menjaga hutan, mereka menerapkan sistem buka tutup sungai.

Di area seluas 700 hektar, ditetapkan kawasan penangkapan dan larangan menangkap. Larangan penangkapan ini tak permanen. “Hanya tiga bulan, agar memberikan kesempatan satwa di kawasan itu berkembang biak dan mencapai ukuran tertentu,” kata Miftah.

Tak lama lagi, desa akan membuka larangan penangkapan pada tiga anak sungai. Setelah larangan dibuka, warga boleh mengambil manfaat. Tak hanya warga Nibung, desa-desa tetangga pun bisa menjala di sana. Dengan sistem ini, hasil tangkap nelayan pun meningkat, bisa dua kali lipat.

Warga desa membuat aturan buka tutup sungai. Sanksi bagi pelanggar, adalah 1.000 ketupat. Ia sekaligus sanksi moral di masyarakat yang sudah ada sejak leluhur. Deklarasi itu dipasang di depan kantor desa.

Sistem buka tutup ini mengacu pada kalender musim kepiting. Pertengahan Desember-Februari, adalah puncak musim kepiting. Pada bulan ini, populasi kepiting di alam meningkat dan bisa panen. Maret-Mei, merupakan musim kepiting berkembangbiak, hingga dianjurkan tidak penangkapan.

Sedangkan Juni-Agustus, musim air pasang malam. Artinya, nelayan tangkap kepiting beraktivitas di malam hari. Begitu pun pada pertengahan September-November, merupakan musim air pasang siang, dengan begitu nelayan tangkap kepiting siang hari.

Kesepakatan bersama yang dibuat masyarakat sendiri berisi enam poin, antara lain, mengenai pelarangan menangkap ikan, kepiting, dan hasil sungai lain pada masa penutupan sungai, kewajiban masyarakat menjaga kelestarian sungai dan hutan mangrove, serta sanksi kepada mereka yang melanggar kesepakatan.

Hasil tangkapan kepiting nelayan lebih besar, setelah ada sistem buka tutup sungai | Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia
info gambar

***

Menjelang siang, Riyansyah, koordinator tim perikanan YPI, mengajak kami menyusuri sungai di Desa Nibung. Ada 19 anak sungai membelah hutan mangrove di kawasan itu, terbanyak tiga anak sungai terapkan penutupan sementara.

Kami menaiki perahu motor dengan kapasitas 10 PK. Membelah sungai, menuju ujung desa. “Kita ke Sungai Mak Janda dulu ya,” kata Riyan.

Hutan mangrove di Kalimantan Barat, sekitar dari 100.000 hektar, dengan 75% jenis mangrove yang ada di Indonesia. Kubu Raya, salah satu lokasi yang punya kepadatan relatif tinggi bersama Ketapang, Kayong Utara, Mempawan, Singkawang dan Sambas.

Mangrove Kalimantan, termasuk di sepanjang Pantai Tengkuyung dan Sungai Nibung, terancam oleh pembukaan permukiman, perambahan kayu bakar. Metode sistem buka tutup sungai berbasis konservasi ini untuk meningkatkan perekonomian warga sekaligus menjaga mangrove.

Warga Desa Nibung menutup tiga hingga enam, dari 19 anak sungai di daerah itu. Kesepakatan penutupan sungai ditentukan bersama masyarakat Sungai Nibung, khsuus, Kelompok Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), nelayan kepiting dihadiri pemerintah desa, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), dengan fasilitasi YPI.

Periode pertama sudah buka tutup sungai pada Oktober-Desember 2017, kedua April-Juli 2018, dan ketiga November 2018-Februari 2019. Hasil buka tutup sungai berbasis konservasi ini menunjukkan peningkatan hasil tangkapan, terutama kepiting, sebagai komoditas unggulan yang berkembang biak alami di kawasasan itu.

Bersama kami ikut Jamalludin, Ketua Pengelola Sumber Daya Alam Desa Sungai Nibung. “Sejak diterapkan ini, kepiting lebih banyak. Juli lalu, pasca penutupan tahap kedua, keberhasilan sangat besar. Kira-kira tangkapan naik 50%,” katanya.

Tak hanya peningkatan produksi, juga bobot kepiting. Paling ringan, kepiting 350 ons, sampai 1,4 kilogram. Naik hasil tangkap, naik pula pendapatan. Data olahan YPI, kenaikan pendapatan rata-rata nelayan kepiting tahap satu 55%, dan 70% tahap dua.

Untuk pengawasan, desa membuat tim patroli. Di setiap mulut sungai ada gubuk pengawasan. Anggota PSDA kebanyakan orang muda. Mereka patrol saban malam. Mereka pernah menangkap warga kampung sebelah, namun belum kena sanksi. “Mungkin belum tahu, setelah penangkapan kabar mengenai sistem buka tutup didengar dari mulut ke mulut,” katanya.

Kanan kiri sungai, terlihat hutan mangrove masih bertutupan baik. Jamal bilang, warga desa tidak tergiur dengan aktivitas warga desa lain yang jadikan mangrove arang kayu. Bahkan ada yang melepaskan untuk perkebunan sawit. Di desa sebelah, hutan mangrove hilang, mereka kesulitan mendapatkan tangkapan. Imbasnya, dirasakan warga Sungai Nibung.

“Dulu, susah mau dapat tiga kilogram kepiting, kadang malah tidak dapat sama sekali,” kenang Jamal.

Sekarang lain cerita, terlebih setelah pakai sistem buka tutup. Kalau tekun, nelayan bisa mendapatkan kepiting sampai delapan kilogram satu ritase. Begitu juga ikan dan udang.

Perahu terus menuju Sungai Mak Jande. Penamaan alur sungai sebenarnya merujuk pada warga yang pernah membuat pondok di daerah itu.

Sebutan Mak Jande atau Janda, lantaran sepasang suami istri mendiami pondok di kawasan itu, kemudian suami meninggal dunia. Tinggallah si istri sendiri. Tak lama dia berpindah ke tempat lebih ramai. Warga membangun pos jaga dibekas tiang-tiang rumah dan jadilah Sungai Mak Jande.

“Yang menjadi ancaman di sungai, masih ada yang meracun, atau menangkap ikan paai setrum,” kata Jamal.

Dia memperlihatkan bagian hutan mangrove yang masih baik. Tajuk tinggi, dan kerapatan bagus. Dia bilang, sejak lama masyarakat menolak masuk korporasi di desa mereka.

Mereka tak ingin kejadian sama seperti desa tetangga. Kala, mangrove hilang, ikan, udang dan kepiting pun sulit didapat.

Warga, katanya, juga tak sembarangan menebang pohon. Selain hutan bakau—demikian penamaan warga merujuk salah satu jenis mangrove, untuk hutan mangrove—masuk kawasan lindung, warga pun merasakan manfaat dari hutan itu.

Dia menunjuk ke arah burung-burung yang terbang di bantaran sungai. Burung berbulu putih dengan kaki cukup panjang. Burung-burung ini, indikator udang atau ikan banyak di daerah itu.

Dengan skema hutan desa, katanya, perangkat desa sudah menyiapkan lembaga badan usaha milik desa (BUMDes). Ekowisata jadi salah satu wacana. “Tunggu kesepakatan di desa saja.”

Deklarasi desa di depan Kantor Kades Sungai Nibung | Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia
info gambar

BUMDes dan produk hijau

Adam Miller, dari YPI mengatakan, BUMDes akan terintergasi dengan PUMK yang berbasis konservasi. Ke depan, YPI akan memberikan dampingan pelatihan dan proses khusus identifikasi usaha. “Mereka yang pilih jenis usaha, kita bantu bangun pasar,” kata Adam.

Beberapa ide muncul adalah, membuat produk turunan dari tangkapan nelayan, seperti kepiting olahan, ikan asin, bakso ikan, kerupuk ikan, dan lain-lain. Juga memberikan label pada kepiting dari Sungai Nibung, sebagai kepiting ramah lingkungan.

Warga yang membeli kepiting, sekaligus ikut andil menjaga ekosistem hutan mangrove di Teluk Pakedai. “Walau harga akan sedikit naik,” katanya.

Fokus penguatan pada sistem pengelolaan sumber daya alam sangat penting. Walaupun hutan mangrove dijaga, katanya, tetapi eksploitasi berlebihan akan menyebabkan sumber daya alam menipis.

Muhammad Tahir, peserta program literasi YPI, punya warung sembako di Desa Nibung. Tok Mat, biasa disapa, menamatkan pendidikan sekolah menegah pertama.

“Dulu saya tidak ingat sekolah. Tahunya cari duit,” katanya.

Saat itu, ikan, udang dan kepiting masih banyak di sunga. Dia mengigat, ketika kecil, hasil tangkapan bisa puluhan kilogram.

Bayangkan, katanya, menangkap ikan tak perlu hitungan jam, sudah dapat banyak. Mereka bahkan harus hati-hati kalau turun mandi ke sungai karena bisa dicapit kepiting.

Dia mengenang, era 1980-an, ada warga pendatang mandi di sungai, tiba-tiba berteriak kesakitan karena lengan dicapit kepiting besar.

Sebelum kenal sistem buka tutup, katanya, masyarakat cenderung menangkap sebanyak mungkin kepiting tanpa memperhatikan ukuran, bahkan yang bertelur pun ditangkap. Dengan buka tutup, tangkapan udang besar, dan meningkatkan pendapatan.

Tahir juga Ketua Pelayanan Usaha Masyarakat Konservasi (PUMK) Desa Sungai Nibung. Warga menabung di PUMK dan bana bisa buat warga yang kesulitan keuangan. “Biasa untuk membeli tali jala, perbaikan perahu atau kebutuhan lain,” katanya.

Pengurus PUMK juga supervisi anggota yang meminjam uang agar dana pinjaman tepat guna. Dengan menabung, warga juga dilatih dapat merencanakan keuangan.

Hasil tangkapan nelayan melimpah dan pengaturan keuangan, merupakan buah menjaga hutan mangrove di sekitar kawasan mereka.


Sumber: Ditulis oleh Aseanty Pahlevi dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini