Pemilu: Torang Samua Basudara

Pemilu: Torang Samua Basudara
info gambar utama

Di berbagai daerah di Nusantara ini kita sering mendengar kata atau kalimat falsafah lokal yang bermakna bahwa pada intinya kita semua ini adalah sebangsa.

Di Maluku ada falsafah Pela Gandong, Pela berarti ikatan persatuan dan Gandong berarti saudara. Di Sulawesi Utara ada “Torang Samua Basudara ”. Di kota kelahiran saya, Surabaya, ada kata “Dulur Dewe”, dan tentu di provinsi-provinsi lainnya di Nusantara ini memliki falsafah yang sama, yang memiliki makna bahwa apapun latar belakang kita, kita ini beraudara, satu bangsa Indonesia.

Saya ingat mendiang presiden Soekarno dalam awal pidatonya, tidak menyebut “Yang terhormat Ketua MPR”, “Yang Terhormat Ketua DPR” dsb., melainkan mengatakan “Saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air”.

Kalimat falsafah lokal atau local wisdom atau kearifan lokal itu sepertinya tidak punya makna apa-apa karena mungkin di antara kita sudah sering mendengarnya, atau mungkin bahkan tidak mengetahui sama sekali. Namun menjelang Pemilu Serentak bulan April 2019 mendatang, rasanya falsafah–falsafah lokal itu sangat bermakna.

Hal itu karena Pemilu kali ini lebih “keras” nuansanya, dibandingkan dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya. Kali ini dengan kemajuan teknologi digital yang cepat ini, muncul industri fake news atau hoaks, atau berita palsu yang menyebar luas di masyarakat tentang partai tertentu atau figur calon tertentu.

Akibatnya, tak jarang kita temui sepasang sahabat atau kerabat bertengkar bahkan berpisah karena termakan berita-berita semacam itu, yang mengakibatkan di antara kita mulai pecah (divided) terbagi atas dasar suku, agama dan golongan. Kita pecah karena terpengaruh berita-berita yang berisi fitnah, pembunuhan karakter, atau berita tentang kebencian.

Kita semua di zaman modern ini menyaksikan bangsa-bangsa yang pecah berantakan karena perbedaan suku, ras dan agama. Sebut saja kasus pembunuhan etnis (ethnic cleasing) antara suku Tutsi dan Hutu di negara Rwanda pada tahun 1990-an yang menyebabkan banyak orang terbunuh dan melarikan diri dari negaranya; suku yang berkuasa yaitu Hutu mengadang ribuan orang dari suku lain yaitu Tutsi, dan dibunuh di jalan-jalan, di desa-desa. Menurut catatan jumah suku Tutsi yang dibantai berkisar antara 500.000-1.000.000 orang dan merupakan 70% dari total jumlah suku ini.

Dewasa ini di Yaman dan Siria, jutaan orang juga menderita dan terbunuh karena perang saudara yang berkelanjutan dan melibatkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Eropa. PBB menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Yaman itu adalah bencana kemanusiaan yang terburuk.

Pertempuran yang brutal dan bengis karena perbedaan kepentingan lokal, nasional, di negara-negara itu menyebabkan collateral damage atau akibat sampingan yaitu jutaan orang, terutama masyarakat sipil, wanita, anak-anak dan orang tua menderita.

Negara yang dulunya indah dan makmur, tiba-tiba kota-kotanya rata dengan tanah karena hancur berantakan. Pesawat drone yang pada awalnya menargetkan combatant atau pasukan yang bertempur, malah bomnya kesasar ke sekolah, rumah sakit, dan penghelatan perkawinan.

Kalau kita melihat akibat pengeboman itu, sangat mengerikan. Di Venezeula saat ini juga kita saksikan penduduk negerinya yang dulunya makmur, sekarang pada antre untuk memperoleh air minum.

Indonesia dulu juga pernah mengalami hal serupa, setelah ribuan jiwa melayang karena memperebutkan kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang, kemudian setelah merdeka pun negeri kita ini menghadapi pemberontakan DI-TII, Permesta, Kahar Muzakar, dan PKI. Ribuan bahkan jutaan orang mati karena kejadian-kejadian itu, perekonomian hancur.

Sebelum dan setelah pemberontakan PKI tahun 1965 saya mengalami ikut antre panjang –seperti orang-orang Venezeula sekarang ini- hanya untuk sekedar mendapat nasi bungkus yang dibagikan dari atas truk-truk Angkatan Darat.

Saya bergantian dengan almarhum kakak saya antre di belakang truk militer itu, agar kami dan ibu saya bisa makan pada hari itu, kalau tidak ada pembagian nasi bungkus, kami utang beras di toko klontong, minyak tanah juga dibagi (ration) atau ramsum kata tetangga saya dulu. Semua itu terjadi karena perekonomian negara hancur. Kalau ingat hal itu sangat ironi dan tragis sekali.

Karena itu dalam menghadapi Pemilu April 2019 nanti, sepatutnya bangsa ini belajar dari sejarah, dan peristiwa-peristiwa mengerikan di belahan bumi ini seperti di Afrika, Timur Tengah dan kawasan India, Pakistan dan Afghanistan serta negara Amerika Latin.

Bahwa perpecahan bangsa itu sangat mengerikan dan untuk kembali normal membutuhkan waktu puluhan tahun, baik untuk mengembalikan kondisi kota, gedung-gedung dan infrastruktur, dan kondisi kejiwaan rakyatnya.

Bangsa ini haruslah menyadari bahwa Pemilihan Umum itu adalah hal biasa dalam sistem demokrasi suatu bangsa, dan terjadi rutin (setiap lima tahun). Bangsa kita harus belajar untuk matang berdemokrasi dalam artian mau menerima perbedaan-perbedaan dan jangalah perbedaan itu menyebabkan kita pecah sebagai bangsa.

Kita sudah pernah menderita berkepanjangan akibat peristiwa-peristiwa masa lalu; karena itu jangan terulang lagi hal seperti itu. Jangan sampai anak cucu kita mengalami seperti generasi saya dan sebelumnya yang harus antri panjang hanya untuk makan sesuap nasi.

Lalu yang tidak kalah pentingnya, kita semua harus mengikuti falsafah mulia dari daerah-daerah di Nusantara ini bahwa apapun pilihan kita nanti, Torang Samua Basudara kata saudara-saudara kita dari Sulawesi Utara, atau kata kalimat yang tertulis di sebuah banner yang dipajang di depan satu Kecamatan di Surabaya Timur antara lain “Apapun Pilihan Sampean, Awak Dewe Sedulur” yang berarti “Apapun Pilihan Saudara, Kita Semua Bersaudara".

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini