Gua Lawa Purbalingga, Jejak Sungai Lava yang Kini Jadi Destinasi Wisata

Gua Lawa Purbalingga, Jejak Sungai Lava yang Kini Jadi Destinasi Wisata
info gambar utama
  • Pada jaman dulu, Gunung Slamet di Jawa Tengah pernah mengalami erupsi. Letusannya bersifat efusif atau lelehan dan bukan letusan eksplosif, dengan aliran lava hampir ke seluruh lereng, baik ke arah selatan, timur, utara dan barat.
  • Salah satu bukti geologis letusan elusif Gunung Slamet adalah Gua Lawa di Karangreja, kabupaten Purbalingga dengan ornamen gua seperti lelehan lava atau bentangan sayap kelelawar (lawa).
  • Gua Lawa yang diprediksi terbentuk zaman holosen atau 10 ribu tahun yang lalu itu menjadi unik dibanding gua pada umumnya yang terbentuk dari karst atau kapur
  • Sejak 1979, Gua Lawa dikembangkan menjadi destinasi wisata oleh Pemkab Purbalingga dengan tetap mempertahankan kondisi aslinya, hanya menambahkan asesoris seperti lightning untuk menguatkan kesan gua yang terbentuk dari lelehan lava

Apa yang terjadi pada ratusan ribu atau bahkan jutaan tahun lalu di Gunung Slamet?

Bukti-bukti geologis mengungkap, kalau Gunung Slamet di Jawa Tengah mengalami erupsi. Letusannya bersifat efusif dan bukan eksplosif. Letusan efusif dewasa ini dapat dilihat seperti fenomena Gunung Kilauea di Hawai atau Gunung Api The Plosky Tolbachik di Rusia.

Gunung Kilauea misalnya telah mengalami erupsi efusif atau lelehan sejak tahun 1983 silam dan diperkirakan para ahli pada 2018 lalu, erupsinya mulai berakhir. Selama 35 tahun, Gunung Kilauea telah mengeluarkan lelehan lava yang sampai ke permukiman penduduk. Pada Mei 2018, ketika gunung itu meletus, aliran lavanya merusak rumah-rumah penduduk dan infrastruktur.

Fenomena itulah yang diperkirakan oleh ahli geologi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jateng, Siswandi, juga terjadi di Gunung Slamet pada 200 ribu tahun yang lalu. Menurutnya, Gunung Slamet ketika itu mengalami erupsi efusif. Aliran lava ke mana-mana, hampir di seluruh lereng baik ke arah selatan, timur, utara dan barat.

Pintu gerbang Gua Lawa di Karangreja, Purbalingga, Jateng, yang kini ditambah sebuah kafe | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

“Bukti banjir lava adalah adanya air terjun atau curug. Curug yang berada di lereng Gunung Slamet sekarang adalah ujung dari banjir lava tersebut. Ada beberapa curug yang merupakan bukti banjir lava, di antaranya adalah Curug Gede, Curug Bayan, Tlaga Sunyi dan Curug Ceheng di bagian selatan. Sedangkan di bagian timur ada Curug Sumba, Curug Ciputat dan lainnya. Curug-curug tersebut berada di Banyumas. Masih banyak curug-curug lainnya yang tersebar merata melingkar di lereng Slamet,” jelas Siswandi yang ditemui Mongabay-Indonesia, pekan lalu.

Ia mengatakan lava yang berada di curug-curug tersebut memiliki ketebalan yang berbeda. Misalnya untuk Curug Gede, tebalnya sekitar 2 meter. Sedangkan curug yang berada di kawasan Lokawisata Baturraden mempunyai ketebalan lava sekitar 5 meter. “Jadi, tebal lava yang kemudian membeku tidak sama. Tetapi rata-rata ketebalannya berkisar antara 2-5 meter,” katanya.

Fenomena lainnya yang muncul adalah terbentuknya Gua Lawa yang berada di Karangreja, Purbalingga. Gua Lawa terbentuk akibat dari sungai lava atau aliran lava yang keluar dari kepundan gunung api di masa silam. “Lava merupakan material cairan panas yang berpijar-pijar. Jika mengalami kontak dengan udara atau air sehingga menjadi dingin, maka terbentuklah batuan. Bisa dilihat dalam fenomena yang terjadi di Gunung Kilauea. Fenomena itu juga terjadi di Gunung Api The Plosky Tolbachik di Rusia,”ujar Siswandi.

Dalam proses pembentukan Gua Lawa, lava keluar dari Gunung Slamet purba. Pusat kawahnya bukanlah kawah yang ada saat sekarang. Lava yang keluar dari kawah menuruni lembah membentuk sungai.

“Saat lava keluar ke permukaan dan kontak dengan udara, maka lava menjadi dingin, kemudian berubah menjadi batu yang keras. Tetapi tidak dengan aliran lava pada bagian dalam. Di bawah lava membeku, masih ada yang cair dan terus mengalir. Maka, lava bagian atas membentuk selubung dan kubah-kubah keras. Sedangkan ruang bawah di mana lava cair mengalir, membentuk ruang kosong yang kemudian menjadi gua. Jejak sungai lava tersebut telah mendingin dan menyisakan bebatuan di dalam gua,” paparnya.

Gua Lawa Purbalingga yang kini ditambah fasilitas lampu penerang warna-warni yang memperlihatkan ornamen gua | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Secara khusus ia belum dapat memastikan kapan terbentuknya Gua Lawa. Dari perkiraan, terbentuknya sungai lava pada zaman holosen atau 10 ribu tahun yang lalu.

“Bisa juga terbentuk pada saat terjadinya fenomena lava fountain atau air mancur lava. Salah satu bukti jejaknya ditemui di gunung loyang di Karangreja. Kalau demikian, bisa saja terbentuknya pada 10-15 juta tahun lalu atau zaman Miosen Tengah. Selain itu, panjang gua kemudian ketebalan lava yang membentuk Gua Lawa tersebut juga belum diukur. Bisa saja dilakukan pemetaan bawah permukaan dengan peralatan geofisika. Sehingga nantinya dapat diketahui bagian bawah gua dan dapat dijadikan sebagai referensi penataan Gua Lawa,”jelasnya.

Ia mengatakan kalau Gua Lawa, sejauh ini diidentikkan dengan gua kelelawar, –lawa berarti kelelawar dalam bahasa Banyumas– karena di dalamnya memang ada kelelawarnya. Sedangkan di dinding gua juga ada batu yang mirip dengan dada kelelawar.

“Boleh jadi seperti itu. Namun mungkin saja Gua Lawa memang berasal dari kata lava atau gua lava, karena bukankah Jawa sama dengan Java? Kenapa dikatakan sebagai gua lava? Ya karena memang terbentuk dari aliran sungai lava, maka kemudian dinamakan Gua Lawa. Dinding gua yang kemudian membentuk seperti dada kelelawar, sesungguhnya adalah gelembung-gelembung lava membeku,” jelas Siswandi.

Bebatuan ornamen Gua Lawa yang merupakan lava membeku dilengkapi dengan lighting | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Dia mengatakan pihaknya mendorong kepada pengelola supaya keberadaan Gua Lawa yang kini disebut sebagai Gua Lawa Purbalingga (Golaga) tak hanya sebagai destinasi wisata semata. “Ke depan, saya kira perlu dipikirakan bagaimana Gua Lawa juga dapat dijadikan sebagai laboratorium alam, khususnya dalam bidang geologi dan vulkanologi. Pasalnya, Gua Lawa sebagai salah satu bukti erupsi efusif yang kemudian membentuk gua. Di gua tersebut akan dapat dipelajari karakteristik erupsi efusif,”ujarnya.

Proses pembentukan Gua Lawa tentu sangat berbeda dengan gua kapur seperti halnya Gua Jatijajar di Kebumen. “Kalau Gua Jatijajar terbentuk dari pelarutan oleh air yang kemudian memunculkan lubang, sedangkan Gua Lawa dari sungai lava. Jenis bebatuan di kedua gua juga beda. Jika di Gua Jatijajar yang merupakan kawasan karst merupakan batu gamping dengan kandungan karbonat, sementara gua lava kandungannya adalah silika atau kalsedon,”jelas dia.

Humas Golaga Bambang Adi mengungkapkan, gua tersebut sebetulnya baru mulai diketahui tahun 1978. Ketika itu, ada petani Desa Siwarak di Kecamatan Karangreja yang melihat ribuan kelelawar beterbangan dari sebuah lubang. Karena penasaran, warga kemudian melakukan penelusuran dan ternyata menemukan sebuah lubang besar yang ternyata adalah gua sebagai sarang kelelawar. Akhirnya, Pemkab Purbalingga menamakannya Gua Lawa dan diresmikan sebagai destinasi wisata pada 30 November 1979.

Menurut Bambang, sebagai pengelola pihaknya menerapkan sustainable tourism atau wisata yang berkelanjutan. “Sehingga kami mengkonservasi gua dan tidak melakukan perubahan terhadap gua yang ada. Pengelola hanya sebatas membuat jalan, membuat tempat duduk maupun adanya lightingdi dalam. Sehingga pengunjung tidak hanya nyaman, tetapi juga dapat melihat secara detail ornamen di dalam gua. Karena Golaga merupakan gua khas yang sangat jarang ditemui di Indonesia. Karena gua di sini sesungguhnya adalah lava tube,” jelas Bambang.

Bambang menambahkan ke depannya, pihaknya juga akan terus membenahi Golaga. Tidak saja sebagai destinasi wisata saja, melainkan juga sebagai tempat wisata edukasi khususnya bidang geologi dan vulkanologi.

“Bahkan, kami merencanakan ada pusat kebencanaan gunung api, karena Gua Lawa merupakan salah satu bukti alam mengenai erupsi Gunung Slamet dengan sifat efusif. Bahkan, pengelola akan menambah narasi mengenai sejarah pembentukan gua maupun membentuk museum bebatuan. Kami tengah merencanakan narasi yang nantinya berbasis teknologi. Jadi, orang yang datang tinggal melakukan scanning pada barcode dan muncul narasi di telepon pintar mereka. Inilah yang direncanakan ke depan,” jelasnya.

Goa Lawa yang kini dilengkapi dengan beragam lampu berwarna | Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia
info gambar

Sementara Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Dinporapar) Purbalingga Prayitno mengatakan beberapa kali telah ada kajian mengenai keberadaan Gua Lawa.

“Pada awalnya, gua memang disebut sebagai gua kelelawar, karena sampai sekarang pun masih menjadi tempat kelelawar. Tempatnya adalah pada lubang kecil di atas bebatuan yang menyerupai dada kelelawar. Pemkab menginginkan agar Golaga tak hanya sebagai obyek wisata, tetapi lebih dari itu memberikan nilai edukasi di dalamnya. Sehingga Golaga akan menjadi laboratorium alam karena memang di dalamnya ada bukti-bukti fenomena alam,” tandasnya.


Sumber: Ditulis oleh L Darmawan dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini