Menjaga Leuser, Kesungguhan Syamsuar Merawat Bumi

Menjaga Leuser, Kesungguhan Syamsuar Merawat Bumi
info gambar utama
  • Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] merupakan kawasan penting yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Luasnya yang 2,6 juta hektar membentang luas di Aceh [2,25 juta hektar] dan sebagian di Sumatera Utara. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional
  • KEL berperan besar sebagai pengatur air, pelindung bencana ekologis, serta sebagai sumber ekonomi penting bagi masyarakat sekitar dari hasil hutan non-kayu.
  • KEL merupakan benteng terakhir bagi kehidupan badak, harimau, gajah, dan orangutan sumatera
  • Menjaga hutan Leuser dari kerusakan berarti kita telah merawat Bumi, dan aksi nyata ini yang telah dilakukan Syamsuar tanpa lelah

Syamsuar dengan cekatan mengatur kemudi perahu kayu ketika menyusuri Sungai Alas – Singkil. Perahu dengan mesin tempel 15 PK itu tidak mudah dikendalikan, terlebih, bila daerah aliran sungai [DAS] terpanjang di Aceh itu banjir, akan banyak sampah kayu bertebaran. Jika tidak hati-hati, perahu bisa dihantam kayu hanyut tersebut dan perjalanannya menuju Suaka Margasatwa Rawa Singkil bakal gagal.

Perjalanan penuh rintangan ini nyatanya bukan hal sulit bagi Syamsuar. Mengarungi Sungai Lembang sebagai jalur transportasi ke Stasiun Penelitian Suaq Belimbing di Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan, jauh lebih berat. Sungainya sempit, arus kuat, banyak pohon tumbang, sehingga harus ekstra hati-hati.

Warga Pasie Lembang, Kecamatan Kluet Selatan ini, sejak kecil memang akrab dengan sungai, laut, dan hutan. Pasie Lembang merupakan desa di Kabupaten Aceh Selatan yang letaknya di pinggir Rawa Kluet, dibatasi Samudera Hindia.

Jabatan Syamsuar di Forum Konservasi Leuser [FKL] bukan nakhoda perahu. Dia Senior Advisor. Mengemudi perahu seperti bagian hidupnya. “Mungkin karena tidak pekerja keras, badannya tidak pernah gemuk,” ujar Rahimah, istri Bang Sam, biasa dipanggil.

Syamsuar yang telah 26 tahun berkiprah dalam konservasi hutan Leuser | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Bagi masyarakat sekitar atau pegiat lingkungan yang bekerja di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL], nama Syamsuar begitu familiar. Lelaki kelahiran 10 April 1968 ini, dihormati karena keahliannya sebagai yang mengerti sejumlah tumbuhan dan satwa serta ahli navigasi.

Dedi Yansyah, Koordinator Perlindungan Satwa Liar FKL, mengaku banyak mendapatkan ilmu dari Syamsuar yang pernah mendampinginya penelitian tugas akhir di Fakultas MIPA Biologi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

“Saat itu, penelitian saya tentang gajah sumatera liar di Sikundur yang juga bagian Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] di Langkat, Sumatera Utara. Bang Sam bukan hanya mendampingi, tapi juga guru lapangan saya,” ujarnya, Sabtu [20/4/2019].

Bagi Syamsuar, Komitmen menjaga Bumi dimulai dengan menjaga kelestarian Leuser | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Penjaga Leuser

Ayah tiga anak ini “terjerumus” ke dunia konservasi berawal sebagai tukang masak di Stasiun Penelitian Suaq Belimbing, di Rawa Kluet, sekitar tiga jam berperahu mesin. Saat itu, akhir 1992, wilayah yang memiliki orangutan sumatera terpadat tersebut dikelola Wildlife Conservation Society [WCS].

“Waktu itu saya diber honor Rp75.000, setiap bulan. Banyak kawan menertawakan, karena jika saya berjualan semangka bisa mendapat Rp1,5 juta setiap dua minggu,” ujarnya.

Nyatanya, Syamsuar bukan tukang masak biasa. Rasa ingin tahu yang tinggi, membuatnya terlibat penelitian, bahkan menjadi asisten fenologi. “Saya memanfaatkan waktu senggang, membantu riset,” sambungnya.

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Pada 1993, Syamsuar menjadi asisten peneliti orangutan sumatera dari Duke University, perguruan tinggi di Amerika Serikat, yang melakukan riset. “Saya pernah mendampingi peneliti terkenal, Carel van Schaik. Saya mendampingi dia sejak menyelesaikan tugas akhir doktor hingga profesor,” ujarnya.

Tahun 1997, Syamsuar pindah menjadi juru mudi perahu di Stasiun Penelitian Soraya, Kota Subulussalam, Aceh. Saat itu, stasiun dibuka Unit Manajemen Leuser [UML]. Di waktu kosong, dia pun memanfaatkan waktunya membantu riset, hingga akhirnya dia pada 1999-2003 dipercaya menjadi manajer Stasiun Suaq Belimbing yang telah dikelola UML.

Bekerja di stasiun penelitian yang letaknya di hutan Aceh saat konflik bersenjata, bukan urusan mudah. “Saya pernah ditahan di pos TNI karena dituduh anggota Gerakan Aceh Merdeka [GAM], padahal tidak pernah terlibat. Cita-cita saya hanya ingin hutan Rawa Kluet lestari, tidak dirusak,” ujarnya.

Gajah sumatera yang berada di CRU Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

Namun, keinginannya untuk menjaga hutan Rawa Kluet yang masuk KEL dengan memperbanyak penelitian tidak terwujud. Pada 2003, bersama anggota tim, dia harus angkat kaki karena stasiun ini dibakar orang tidak dikenal. “Saat itu konflik bersenjata sedang panas, termasuk di Kabupaten Aceh Selatan. Bangunan Stasiun Suaq Belimbing menjadi tempat orang tidak dikenal melepaskan amarah,” kenangnya. Syamsuar dipindahkan oleh Unit Manajemen Leuser ke Stasiun Penelitian Sikundur, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, hingga 2005.

Setelah Aceh damai, Yayasan Leuser International [YLI] membuka kembali Stasiun Suaq Belimbing dan Syamsuar ditugaskan sebagai manager camp.

“Setelah konflik bersenjata selesai, tidak ada petugas yang tinggal di pinggir hutan Rawa Kluet, kegiatan ilegal terjadi. Banyak masyarakat menebang kayu, bahkan berburu satwa. Kalau hutan Kluet atau KEL hancur, semua kehidupan termasuk kita, akan rusak. Menjaga Leuser berarti menjaga Bumi dari kerusakan,” ujarnya.

Orangutan sumatera hidup damai di wilayah Stasiun Riset Ketambe | Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
info gambar

KEL merupakan kawasan penting yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Luasnya yang 2,6 juta hektar membentang luas di Aceh [2,25 juta hektar] dan Sumatera Utara. Kawasan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional ini mampu mendukung kehidupan sekitar empat juta orang yang berada di sekitarnya.

Secara keseluruhan, KEL berperan besar sebagai pengatur air, pelindung bencana ekologis, serta sebagai sumber ekonomi penting bagi masyarakat sekitar dari hasil hutan non-kayu. Berdasarkan penelitian Pieter van Beukering (2002), KEL memberikan jasa ekologi luar biasa bagi masyarakat sekitar. Selain itu, KEL merupakan benteng terakhir bagi kehidupan badak, harimau, gajah, dan orangutan sumatera.

Badak sumatera, satwa langka dilindungi yang hidup di Leuser | Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia
info gambar

Kini, Syamsuar bergabung di FKL, forum yang dibentuk setelah dibubarkannya Badan Pengelolaan Kawasan Eksosistem Leuser [BPKEL] pada 2012 oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, saat itu. “Siapapun yang ingin berbuat baik menjaga hutan KEL, adalah saudara saya. Silakan datang,” ujarnya.

Perjuangan Syamsuar menyelamatkan KEL mendapat apresiasi dari lembaga luar negeri. Rainforest Trust, pada 18 Februari 2019, memberikan penghargaan “Conservation Guardian” atas komitmennya menjaga hutan Leuser selama 26 tahun.

His colleagues on the frontline nickname Syamsuar “The Professor” because of his vast knowledge on different plants across the Leuser Ecosystem and their relationship with wildlife and humans,” bentuk penghargaan yang diberikan untuk Bang Sam.

Selamat Hari Bumi 2019


Sumber: Ditulis oleh Junaidi Hanafiah dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini