Batas Antara Realita dan Impian adalah Imajinasi

Batas Antara Realita dan Impian adalah Imajinasi
info gambar utama

Saat dunia mendewasakan kita, dia membuat kemurnian imajinasi dan kebebasan fantasi semakin kehilangan tempat.

Impian

Aku Dini, wanita berusia 34 tahun. “Well yeah! Harusnya bilang thirty something saja. Hihihi …. ”But, its okay! Usia hanya bilangan angka, tapi garis halus di pinggir mata enggak bisa bohong, wueeeyyy..!

Aku suka sastra, tapi lebih suka makan es krim yang dibelikan suami saat dia pulang kerja di hari Sabtu, es krim rasa strawbery.

Sampai hari ini, aku masih menyimpan hasrat betapa bahagianya jika bisa menjadi Sailormoon. Tokoh animasi super hero anak-anak dengan karakter ceria, meski kurang dalam pelajaran sekolah, namun dia cerdas dalam berempati.

Aku memupuk hasrat itu, apakah ini terdengar gila? Bagiku, menyenangkan. Ada Dini kecil yang aku jaga dengan segala imajinasinya, aku menaruhnya di sebuah sudut dalam hati. Sesekali aku sentuh, ruang di masa kecil dengan mimpi beraneka rupa. Penuh gelak dan tawa, renyah.

Merujuk pada tes kepribadian dari Buku Personality Plus oleh Florence Litaueur, aku seorang sanguinis, dan Diyan suamiku seorang melankolis. Sudah bisa ditebak, suamiku orang yang detail dan rapi, sementara aku? Acak.

Seperti misalnya, aku akan kegirangan melihat bunga mekar warna-warni di pinggir jalan, “Cantik banget bunganya...“

Dan, suamiku akan merespon, “Kalau enggak ada ilalangnya, baru cantik.”

Jelas.

Dia memang bukan laki-laki terbaik, apalagi terganteng. Masih cakepan Darius Sinathrya, ehm … tetep. Tapi, kalau bukan Diyan suamiku, tidak ada yang sanggup meladeni mimpi-mimpiku. So, he is one of my best ways to be a writer.

April 2019, kami merayakan tahun pernikahan yang ke-7. Banyak langkah yang kami tempuh di atas makhluk bernama impian, dan Tuhan Maha Baik.

Satu demi satu list impian ter-check list dengan baik, tinggal satu yang belum Tuhan check list: memiliki keturunan.

Setelah memutuskan undur diri dari pekerjaan sebagai bankers pada Juli 2018 lalu, banyak jatah kata per hari yang tidak mampu aku salurkan dengan baik pengungkapannya.

Rumah tipe 36 yang kami bangun tujuh tahun lalu, mendadak jadi luas mengalahkan alun-alun Kejaksan di siang hari. Itu, loh! Alun-alun di jantung Kota Cirebon.

Ada yang tidak tahu? Masa? Keanu Reeves saja kemarin keukeuh ke Cirebon, Cuma pengen makan cakue di Alun-alun Kejaksan. Yang ini seratus persen ngayal.

Karena siang hari aku sendirian di rumah, bosan rasanya ngobrol dengan cermin, cicak, semut, atau kecoa … hiiiy! Terlebih lagi, aneh. Lebih aneh dari hasratku menjadi Sailormoon. Titik.

Banyak hal yang bisa dilakukan, ada satu impian yang belum aku maksimalkan menghidupinya untuk diwujudkan. Menjadi penulis. Oke, tidak muluk-muluk. Setidaknya bisa konsisten menulis cerita pendek di media sosial dan blog dalam seminggu, atau sebulan sekali.

Setidaknya, menulis adalah cara lain mengungkapkan beban, kemudian melepaskannya. Jika aku belum mendapatkan goal dalam hal mendapat keturunan, tidak berarti aku harus kehilangan kesempatan mendapatkan goal yang lainnya, karena fokus pada program hamil yang menguras fisik dan psikis.

Nangis di pojokan, sambil nyusut ingus.

Aku seorang pemimpi dan chocolate addict,but not the most lucky person. Apapun yang aku inginkan, harus diperjuangkan. Seingatku, hanya satu kali pernah menang undian, jalan santai 17 Agustus-an saat kelas 1 SD.

Bahagia, dapat buku dan pensil. Setelah itu, setiap kali punya keinginan, tidak terhitung berapa purnama harus aku lewati, untuk menghidupi keinginanku.

Bahkan sesepele berharap dapat arisan pertama, itu tidak pernah terjadi. Aku tidak pernah beruntung dalam gelas koclokan.

“Jika setelah menulis ini aku mendapat undian, bisa jadi koclokannya enggak pakai gelas.”

Bisa menulis adalah salah satu impianku. Keinginan ini pun sudah ada zaman aku pakai seragam putih merah. Ternyata tidak semudah posting status di media sosial, dan mendapat banyak jempol.

“Enggak sesederhana itu, coy! Iya dong! Namanya impian, harus mewah.”

Meski, sejak kecil sering dapat piala dari lomba menulis. Sebut saja salah satunya Sejarah Cigadung, salah satu desa di Kuningan Jawa barat, yang dimuat di Koran Harian Pikiran Rakyat pada tahun 2002.

Aku kemas dalam sebuah cerita pendek berjudul Abracadabra, seperti sebuah dongeng, padahal sejarah. Saat itu aku masih berseragam putih abu, dan mengalahkan beberapa dosen bertitel sarjana dan insinyur.

Perjalanan

Tahun 2014, iseng mencoba menulis cerita pendek fiksi di panggung Facebook. Aku mendapat respon yang membuat hidung kembang kempis, serbuan jempolers dan komentator melambungkan angan-angan. Aku di atas angin.

Dalam hati berkata, “Aku memang berbakat.” Jemawa.

Nyemplung di dunia literasi, masih seperti angan-angan bagiku. Antara ingin jadi penikmat hasil karya, atau pelaku. Beberapa kali pernah coba corat-coret, dan hasilnya aku sebut karya sastra berupa cerita pendek.

Semoga itu karya sastra, meski sebenarnya curhat. Tidak banyak yang aku ketahui tentang dunia kepenulisan, selain rangkaian kata-kata memikat dari para penulis yang sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir.

Bagiku itu luar biasa, ketika seorang pembaca mengamini isi kepala orang lain hanya dengan melalui tulisannya.

Aku mulai tertarik dengan rangkaian kata, saat Dini kecil disuruh membaca teks lagu Kasih Ibu di acara perpisahan Taman Kanak-kanak tahun 1991 sebagai puisi.

Rasanya seru, ketika teman-teman menyanyikan lagu tersebut, aku mengiringinya dengan membaca teks dengan intonasi yang sudah diatur dan dilatih sebelumnya.

Puisi pun mengantarkan aku pada dunia teater saat usia sepuluh tahun, kelas 5 SD tahun 1995. Di sanalah aku berkenalan dengan berbagai karya sastra, aku menyadari begitu banyak inspirasi yang bisa dibagikan melalui tulisan.

Namun, menulis saja tidak cukup. Ada pelajaran yang harus diambil, untuk kemudian dibagikan dalam bentuk tulisan.

Meski kemudian, setelah meninggalkan bangku sekolah aku hidup di dunia lain yang sama sekali tidak mengenal sastra. Tapi kerinduan untuk selalu pulang pada impian-impian yang belum tuntas, tetap berdenyut dalam nadi.

Kemudian aku mengundurkan diri dari pekerjaan, dan impian menjadi penulis seakan menagih jalannya untuk aku perjuangkan.

Kemarin, saat anak-anak kata berserakan, aku berkenalan dengan salah satu anak kandung sastra yang pernah membuat rindu berkelindan, dia puisi. Dan, aku menjadi 'sok penyair'.

Ternyata yang aku punya hanya diary. Aku menikmatinya, meski yang aku rangkai seenak perut. Semakin hari aku semakin dekat dengan puisi, dia begitu rapi menyimpan apapun yang aku bisikkan padanya. Seperti mantra yang sakti.

Rasanya aku tidak puas. Saat aku menyantap beberapa cerpen dan novel, hasratku bertambah. Ingin juga aku intim dengan mereka. Rasa-rasanya aku harus berkenalan juga dengan induk rahimnya, yaitu sastra.

Lagi-lagi, yang aku punya hanya diary. Aku tidak tahu ilmunya, meski sangat menikmati perkenalan dengan cerpen dan novel.

Imajinasi

“Aku seorang penulis.”

Jujur, butuh keberanian menulis kalimat tersebut. Bagaimana tidak? Aku memang penulis, meski sekaliber diary pribadi. Hihihi...

Katanya, menulis bisa membuat kita awet muda. Kita bisa menumpahkan segala rasa, baik suka maupun duka. Nulis, yuk! Ngurang-ngurangin jatah nyalon. Buat emak-emak ya, Pak. Kita bisa berimajinasi menjadi siapapun yang kita mau, termasuk jadi Kate Middleton.

“Bebas, sekarepmu!”

Jangan menyakiti hati seorang penulis, atau kau akan abadi dalam tulisannya. Pernah membaca kalimat tersebut? Hiiiy... serem! Seseorang yang membuat kesal, bisa diombang-ambing nasibnya menjadi tokoh dalam tulisan. Hehehe... Asik, bukan?

Seperti dilansir detikHealth pada 27 November 2012, “Membaca dan menulis dapat berkontribusi dalam membuat otak lebih sehat,” kata Arfanakis Konstantinos, pemimpin penelitian dari Rush University Medical Center.

Menulis adalah kemampuan dasar manusia selain membaca dan mendengar. Banyak hal positif yang didapatkan dari menulis, salah satunya tetap awet muda. Benarkah demikian? Berikut ini adalah alasan kuat mengapa menulis bisa membuat orang tetap muda.

Melepaskan segala penat

Rutinitas sehari-hari bisa menjadi salah satu pemicu timbulnya penat. Banyak dari kita mengurangi penat dengan cara menulis di media sosial dalam bentuk uneg-uneg, keluhan yang bersifat spontan itu secara tak langsung melepaskan sedikit penat dan membunuh rasa bosan.

Mengurangi beban pikiran

Melepaskan energi berlebih di dalam pikiran. Mengurangi beban pikiran tidak melulu melaui curhat, umpatan, atau kekecewaan. Buatlah jadi lebih kreatif, misalnya dalam bentuk opini atau sudut pandang. Dijamin, kecerdasan kita meningkat dalam hal menyikapi masalah yang menimpa diri kita.

Melahirkan ide

Ide bisa lahir kapan saja, jadi bersiaplah selalu dengan sebuah tulisan. Tidak perlu tulisan yang serius, cukup yang ringan-ringan saja.

Mengganti kebutuhan berbicara

Kelebihan menulis adalah kemampuan menganalisa lebih baik dari hasil yang ditulis, jika dengan berbicara sedikit banyak mengalami kesalahan ucapan atau perkataan.

Menimbulkan rasa senang

Saat tulisan kita menginspirasi orang lain, itu adalah sebuah kesenangan tersendiri.

“Jadi, apakah aku sudah terlihat awet muda?”

Komunitas Menulis

Sebagai pengangguran baru, aku punya banyak waktu haha hihi di media sosial, selain dipaksa menonton infotainment.

Maklum, belum berpengalaman mengisi banyak waktu senggang. Congkak. Padahal, setrikaan bejibun. Tapi kekuatan bulan Sailormoon tidak pernah turun memberiku semangat menyetrika.

Demi menjaga kewarasan emosi, sanguinis seperti aku tidak tahan berlama-lama menjadi budak infotainment, media sosial aku pilih sebagai ganti lawan bicara.

Ini zaman milenial, meninggalkan media sosial, akan membuat kita ketinggalan banyak informasi terkini. Kita mengenalnya sebagai zaman percepatan, di mana anak muda punya peran dalam segala lini kehidupan. Siapapun kita, terlahir dari generasi manapun, faktanya hari ini kita hidup di zaman milenial. Bersikaplah milenial.

Kita tidak akan memahami anak-anak yang terlahir di zaman ini, selain masuk pada dunianya. Jangan memaksakan dunia kita pada kehidupan mereka, tanpa konsep yang sesuai dengan zamannya.

Perkenalkan diri kita dengan gagasan, melalui tulisan misalnya. Sebab, karya ilmiah berupa tulisan itu isinya argumen, bukan sentimen. Mari bercakap-cakap melalui tulisan.

Dari media sosial aku bertemu dengan sebuah komunitas menulis Writing Challenge (WrC) yang mewajibkan membernya menulis, tepatnya update status selama tiga puluh hari di media sosial. WrC menjadi aktivitas pertamaku yang menggugurkan predikat pengangguran baru.

Aku menulis dengan suka cita. Setiap menemukan hal yang menarik, entah kejadian atau kata-kata, aku menulisnya pada catatan kecil yang tidak rapi. Dan, hanya aku yang mengerti. Akan menjadi referensi tulisan, menurutku.

Aku menulis dengan suka cita. Sejak kecil aku diberi tugas menjadi tukang bundle majalah Bobo dan Donald Bebek. Meski, tetap mamaku yang lebih rajin nge-bundle. Hihihi... Dan berkat ketelatenannya, aku jadi ketagihan membaca.

Aku menulis dengan suka cita. Dengan langganan majalah anak seperti Bobo dan Donald Bebek, atau tabloid anak seperti Fantasy, membuat imajinasiku semakin liar.

Tidak cukup hanya dengan itu, aku tambah dengan geleporan di taman bacaan demi komik seri kisah cinta masa remaja. Kemudian hari ini, lebih suka memburu novel. Meski, tetap menyukai bacaan lainnya.

Aku menulis dengan suka cita. Dari mulai menulis, “Dear diary ….” Di buku leces zaman Dini kecil masih memakai seragam putih merah, sampai hari ini membangun rumah, meski belum rampung (baca: blog).

Dengan harapan, ada manfaat yang bisa diambil oleh para pembacanya. Siapapun boleh berkunjung ke rumahku di www.dinilestari.com. Ada sebuah lilin kecil yang menerangi rumahku, perlahan lilin itu akan menjadi matahari, cahaya yang tidak lelah berbagi pijarnya.

Aku menulis dengan suka cita. Aku tidak pernah memaksakan diri untuk menulis, saat imajinasi meringkuk di saluran otak yang mampet. Oleh karena menulis adalah kesenangan, aku menulis dengan hati, agar setiap tulisan mendapat perhatian penuh.

Dan, aku menulis dengan suka cita. Aku selalu ingin memberi nyawa pada setiap tulisan, setidaknya satu kali dalam hidup tulisanku dibaca banyak orang. Ketika nyawa yang melekat pada raga sudah tidak berdetak, aku ingin tetap hidup di hati orang yang membaca tulisanku.

Menulis membuat kita abadi (Asma Nadia). Kepastian bahwa raga ini akan menghilang bersama tumpukan tanah merah suatu hari nanti, membuatku berpikir ada yang harus tetap hidup dalam hati orang terkasih. Maka, izinkanlah nyawa ini mengabadikan dalam sebuah tulisan.

Realita

WrC kemudian mengantarkan aku pada kelas menulis fiksi dasar. Setelah berproses mengikuti kelas menulis, dari nol sampai akhirnya dipercaya berada di kelas Sebulan Membuat Buku (SeBuKu).

Where Are You Sweety (ways) adalah buku solo pertama yang sedang aku tulis, ways bercerita tentang perjalananku dan suami menangisi dan menertawakan diri sendiri dalam menjemput buah hati. Paragraf ini mengandung iklan. Yeaaay!

Semakin belajar, semakin banyak yang aku tidak tahu. Menulis bukan hanya sekadar tentang tulisan yang dibukukan, namun bagaimana buku itu bisa mewakili ketulusan hati dan kejujuran dari penulisnya. Menulis adalah pekerjaan hati, butuh ilmu dan pagar agar sebuah tulisan memiliki kualitas dan nyawa.

Kelas dan komunitas menulis, adalah kendaraan yang aku gunakan untuk berusaha mewujudkan impian menjadi penulis. Senjatanya adalah: Aku.

Hidupi impian kita. Bermimpilah sesukanya, semewah yang kita inginkan. Setelah itu, serahkan pada Sang Pemilik Langit dan Bumi. Dia yang akan memberi jalan.

Kabar paling baik, dengan mengikuti kelas menulis, tulisanku dikoreksi. Meski setiap dapat tugas, isi kepalaku sibuk menangkap huruf-huruf yang seakan berloncatan tidak mau diam, aku harus mengejar ke sana ke mari dan memasukkannya ke dalam sebuah wadah bernama Karya Sastra.

Setidaknya, anak-anak kata yang kemarin-kemarin aku nikmati sendiri, kali ini ada orang lain yang membacanya. Senang? Tentu!

Pelan, tapi tetap berjalan.

***

Harapan

Sebuah pertanyaan pernah mampir di telingaku, apa yang akan aku lakukan jika menjadi penulis besar ?

  1. Tetap menulis
  2. Berbagi tulisan, dan
  3. Mengajak lebih banyak lagi orang untuk ikut menulis.

Ini yang terpenting, ketika orang-orang terinspirasi oleh tulisanku, dan mereka pun ikut menulis. Bukankah ini sebuah mata rantai kehidupan yang baik? Setiap kita adalah sejarah bagi yang lain. Ilmu yang tidak akan habis, dan nyawa yang akan tetap hidup. Izinkan tulisanku menyentuh kehidupan teman-teman. Mari, saling hidup dan menghidupi dengan tulisan.

***

Monolog

Aku duduk berdua dengannya, kami saling pandang. Aku mematung bingung, dia terkikik menertawai.

“Katanya kamu menginginkan aku?” Dia bertanya, dan aku masih terdiam.

“Memangnya, apa yang sudah kamu lakukan untukku selama ini?” Aku tersentak dengan pertanyaannya barusan.

“Ingin saja enggak cukup, loh!” Dia menjawil telingaku.

Apa, sih? Berisik. Bawel. Tapi, dia benar. Kali ini, aku dihadapkan padanya, sesuatu yang aku inginkan dan kerap memberinya nama : impian. Hey! Dia benar-benar ada di hadapanku. Dia menatap, menangkap pandangan mataku. Mencoba meyakinkan, bahwa aku memang sudah mencoba dan berusaha meraihnya selama ini.

Ya, Najmubooks Publishing melalui kelas SeBuKu, adalah awal perjalananku menjadi penulis. Itulah kenapa, aku menjaga Dini kecil dengan imajinasinya, aku membutuhkannya setiap kali menulis.

***

Flashback

“Suatu hari, akan ada sebuah novel, di mana penulisnya bernama Dini Lestari.” Itu ucapan Dini remaja, saat masih memakai seragam putih abu.

Ayo, diaminkan. Aamiin.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DL
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini