Si Bodoh

Si Bodoh
info gambar utama

“Kenapa menulis?”

“Karena tulisan adalah kehidupan, dan aku masih hidup.” Jawabnya, seperti biasa dengan segaris senyum.

Dia cantik. Secangkir kopi hitam, kini aku menyeduhnya dengan kenangan bernama Meriska. Terima kasih telah membunuh si bodoh dalam diriku. Aku Alan, hari ini dan seterusnya, hidupku adalah tentang bagaimana caranya merasakan manis pada kopi yang pekat, meski tanpa pemanis.

***

Kamu menyukaiku?

Ketika aku melihatmu, aku seperti menyeruput secangkir kopi.

RaPi.

Ikatan rambutnya tak lagi rapi, beberapa anak rambut jatuh semena-mena melengkapi wajah yang hampir tak dialiri darah, pucat. Dia terlihat lelah. Di halaman, seorang anak perempuan berseragam sekolah menunggunya sambil memakan sebungkus roti.

“Ayolah, berbaik hati padaku …. “

Aku memang sedang membutuhkan seorang karyawan untuk menjadi pelayan di RaPi, sebuah Coffee Shop milikku. Tapi, tidak dengan membawa anak pada jam kerja. Ya, meski hanya dari sepulang sekolah. Akan sangat merepotkan, pikirku. Apalagi, anaknya masih kecil, berusia sekitar tujuh tahun. Usia gencarnya anak-anak mencari perhatian orang dewasa.

“Aku akan bekerja dengan baik, lagipula kau sedang butuh karyawan. Apa salahnya denganku?” Dia menunjuk flyer pengumuman lowongan kerja, yang tertempel di kaca pintu masuk.

Well, memang tidak ada yang salah. Maksudku … hmmm … anakmu …. “ Aku tidak melanjutkan kata-kata, dan mengarahkan pandangan pada anak perempuan yang sedari tadi duduk di halaman.

“Ditha?”

“Oke, namanya Ditha. Apa dia harus ikut denganmu, saat bekerja?” Dia tertawa, seolah ada yang lucu dari pertanyaanku.

“Ditha tidak mungkin sendirian di rumah, dia akan duduk di halaman selama aku berkerja. Tidak akan mengganggu, dia anak yang baik.” Segaris senyum dipamerkannya padaku, matanya bulat penuh, mencoba meyakinkan.

Meriska adalah salah satu penulis yang direkomendasikan Komunitas Kertas, komunitas penulis yang menerima jasa penulisan konten. Aku tidak punya kepiawaian menulis, tapi butuh memasarkan produk di situsweb dan media sosial RaPi coffee shop yang telah aku dirikan lima tahun lalu.

Oleh karenanya, aku membayar jasa kepenulisan. Konten memegang peranan penting dalam situsweb, konten yang kuat dan menarik akan menyedot pengunjung untuk datang, berselancar, sampai membeli produk.

Produk utamanya kopi, baik dalam bentuk biji, serbuk, atau yang sudah dalam kemasan siap seduh. Aku mendapat supply terbaik biji kopi dari petani di Tanah Air, sebagian dari luar negeri.

Aku mengutamakan rasa untuk setiap seduhan kopi, rasa tiap secangkir kopi tergantung dari mana daerah biji kopi berasal, bagaimana proses sangrainya, dan metode penyeduhan yang digunakan, termasuk penyimpanan kopi itu sendiri.

Selain itu, beberapa menu makanan pun aku sajikan, seperti pastry, pancake, dan dessert aneka rupa dengan sentuhan kopi, serta beberapa main course lainnya. RaPi juga menerima jasa pesanan menu dessert untuk sajian acara. Itu semua harus dituangkan dalam bahasa iklan.

Tulisannya bergaya muda, dari beberapa contoh proposal yang diberikan Komunitas Kertas, aku sangat tertarik dengan cara Meriska menulis. Ada ruh dalam setiap katanya. Sepekan lalu, adalah awal pertemuan kami. Beberapa hal telah kami bicarakan sebagai kesepakatan dalam penulisan konten, sesuai dengan karakteristik RaPi.

Namun, sore ini dia di depanku dan memohon diberikan posisi sebagai pelayan RaPi. Sebenarnya dengan menjadi karyawan, akan baik juga baginya lebih mengenal produk, jasa, dan layanan RaPi, sehingga dia tidak hanya menulis, tapi juga bagian dari Coffee Shop ini.

“Aku akan sangat menguntungkanmu, bukan?” matanya mengerling.

“Baiklah...“

Yeaaay! Aku yakin kamu tidak akan melewatkan perempuan sehebat aku.” Dia bersorak sebelum aku menyelesaikan kata-kata. Perempuan yang bersemangat, lebih tepatnya kelebihan percaya diri.

“Pastikan anakmu tidak mengganggu, aku tidak menerima izin mendadak dengan alasan yang sentimental.”

Oke! Many thanks Mr. Alan.”

***

Kopi yang mulai mendingin, pekat dan tidak manis. Namun, cantik. RaPi.

Sebuah surel masuk, aku membuka notifikasi melalui gawai. Dari Meriska, dia memenuhi jadwal pengiriman konsep konten dengan poto produk yang telah disepakati. Sebenarnya aku tidak terlalu ketat padanya, apalagi setelah dia menjadi karyawan di RaPi.

Jam delapan pagi dia sudah datang, padahal coffee shop buka jam sembilan. Setelah mengantar anaknya sekolah, dia langsung ke RaPi. Sambil menunggu buka, dia membuka laptopnya dan menulis, barangkali itu waktunya dia menulis.

Dikarenakan setelah itu dia akan sibuk bekerja, jam istirahat dia pakai untuk menjemput anaknya dari sekolah yang tidak terlalu jauh dari RaPi, hanya sekali menggunakan angkutan umum.

RaPi buka sampai pukul sembilan malam, dan setelah semua beres baru dia pulang. Ada yang unik darinya, sebuah notes kecil yang sudah kumal, selalu berada di saku celemeknya.

Sesekali, dia menulis pada notes tersebut. Semacam contekan. Menurutnya notes itu penting baginya menuliskan hal-hal menarik, yang dia jumpai di waktu-waktu tidak terprediksi, banyak penulis yang seperti dirinya. “Tabungan inspirasi,” begitu kilahnya.

Komunitas Kertas memang memiliki standar pelayanan yang baik, dia menjanjikan para penulisnya kompeten, dan memenuhi jadwal pengiriman konten tepat waktu.

Aku membutuhkan beberapa artikel, dan konten singkat untuk pemasaran melalui media sosial. Jadi keberadaan Meriska sebagai karyawan sudah tepat, dia akan banyak belajar mengenal kultur RaPi.

“Kenapa kopinya harus mendingin?” aku langsung bertanya saat menemuinya di pantry.

Hmmm … itu karena … aku hanya terinpirasi dari ceritamu soal Karenina …. “ Dia menggigit bibirnya. Jawaban jujur, spontan, tapi aku terusik.

Aku suka dengan kata-katanya, puitis dan bermakna. Aku memilih penulis perempuan memang dengan niatan mengkampanyekan bahwa kopi saat ini bukan hanya milik kaum laki-laki, perempuan pun bisa menikmati rasa kopi.

Ada kekuatan dalam secangkir kopi yang hangat, seperti perempuan. Tapi, alasan inspirasinya karena ceritaku soal Karenina, itu membuatku terusik.

RaPi memang didirikan atas ide brilian berdua dengan Karenina, perempuan yang hampir saja menjadi istriku. Sebelum impian menjadi design interior mengambilnya dariku.

Dia sangat berambisi, dan membatalkan pernikahan kami yang tinggal menghitung bulan, demi beasiswa sekolah di Paris. Dekorasi RaPi pun hasil karyanya.

Memang benar, sejak kepergian Karenina, rasa kopiku tidak lagi manis, terlebih dingin. Its oke! Meriska tidak salah, sebagian nyawa dari RaPi memang milik Karenina.

***

Apa kesamaan Ibu dan Kopi? Mereka berdua selalu berusaha membuat kita nyaman. RaPi.

Kulitnya putih, namun bagiku pucat. Dia selalu mengikat rambut dan menggulungnya ke atas, sedikit poni menutup bagian dahinya. Single mother, terlalu berlebihan rasanya jika aku bertanya soal ayahnya Ditha.

Meski aku sangat penasaran, dan bisa saja beralasan sebagai bos memang harus tahu kehidupan karyawannya. Aku simpati pada Meriska, untuk segaris senyum yang selalu dia pamerkan.

Seolah, senyum itu di stempel hak miliknya, tidak ada perempuan lain yang bisa memiliki senyum se-memikat itu. Dia pun cantik saat tertawa lepas, aku beruntung pernah mendapat tawanya saat dia memohon minta dipekerjakan. Karena setelah itu, jarang sekali aku melihatnya tertawa.

Tidak bisa kuingkari, Meriska memang perempuan berbeda. Dia mengerjakan apapun yang dia mampu, demi menghidupi dirinya dan Ditha. Tidak pernah kudengar keluhan, meski dari wajahnya jelas terlihat dia kelelahan.

Tidak hanya kepiawaiannya dalam menulis, namun semangat dan integritas menjadikannya kepercayaan beberapa komunitas penulis. Termasuk Komunitas Kertas, komunitas penulis dengan kredibilitas tinggi.

Selain itu, komunitas ini pun memberdayakan perempuan melalui karya tulis, dengan pelatihan untuk terus mengembangkan bakat dan menyalurkan aspirasi. Komunitas Kertas mengantarkan Meriska pada berbagai ajang kompetisi menulis di Tanah Air, dia berhasil menjebol media untuk beberapa artikel, dan menjadi penulis lepas untuk cerita fiksi.

Meriska menyabet beberapa penghargaan dalam dunia tulis menulis. Lumayan juga kiprahnya di dunia kepenulisan, aku tidak salah memilihnya sebagai penulis konten bisnisku.

Aku membaca tulisan Meriska di blog pribadinya, kegiatan sehari-hari dengan Ditha menarik perhatianku. Ibu dan anak yang kompak, mereka saling memiliki.

Ada kekuatan, juga kegetiran yang begitu abstrak yang tak bisa dia katakan, dan tidak lupa semua itu dibungkus dengan selera humor yang baik. Hidup ini seindah senyum yang terlukis, itu yang aku tangkap dari setiap ceritanya.

Bagiku, senyum Meriska adalah misteri. Kadang luka, kadang tawa. Membuatku ingin mengenalnya, lebih.

Zaman kekinian, peran komunitas memang penting dalam pemberdayaan perempuan. Komunitas menjadi sarana komunikasi sekaligus ajang berbagi pengalaman bagi perempuan dari berbagai latar belakang. Komunitas itu sebagai support system agar perempuan lebih berdaya.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin masif, membuat komunitas tidak lagi menjadi tren, melainkan sebuah kebutuhan. Generasi milenial selalu diangkat menjadi materi sebagai influencer, agar generasi lain pun siap menerima banyaknya paparan informasi dan inspirasi di zaman milenial.

Komunitas membantu perempuan berperan dalam berbagai lini kehidupan masyarakat, jadi memang tidak tertutup kemungkinan perempuan-perempuan berdaya lebih. Meriska membuktikan itu, penulis perempuan yang besar dalam komunitas penulis.

Melalui Komunitas Kertas juga, salah satu karya tulis solonya dipinang penerbit mayor kenamaan di Indonesia untuk dibukukan. Aku Cantik Dan Baru Saja Patah Hati, itu judul novel yang sedang ditulisnya.

Aku menerka, ini cerita tentang ayahnya Ditha, mungkinkah laki-laki itu tidak bertanggung jawab dan meninggalkan mereka berdua? Sungguh banci, jika hal itu yang terjadi. Tapi, hey! Kenapa aku jadi emosional?

***

Hallo … aku harap kamu memiliki hari yang baik dengan secangkir kopi. RaPi.

Jam menunjukan pukul 20.00 WIB, pengunjung malam ini dikalahkan rasa kantuk, tidak seperti biasanya, agak sepi. Meriska memenuhi janjinya, Ditha memang anak yang baik, dia tidak mengganggu ibunya saat bekerja.

Hanya sesekali masuk Coffee Shop jika ingin ke toilet, atau saat makan siang. Itu pun Ditha lebih sering memilih makan di luar, ada taman kecil dengan beberapa arena permainan seperti perosotan, ayunan dan lainnya, yang membuat Ditha tidak masalah menunggu ibunya bekerja.

Sesekali, aku pun ikut bermain dengannya. Aku suka tawa manis Ditha yang memamerkan dua gigi atasnya yang telah ompong. Kalau merasa capek, dia akan tertidur di pantry.

Aku memperhatikan Meriska, tatap matanya sendu, namun begitu dalam. Dia memilih meja dengan dua kursi di sudut kanan, secangkir kopi dan beberapa cemilan menemaninya saat Meriska membuka laptop. Aku sudah memperhatikannya beberapa hari ini, ada yang menarik. Meski, bayangan Karenina selalu menjadi kambing hitam, alasan aku tidak ingin menjalin asmara.

Lima tahun lalu setelah RaPi berdiri, Karenina pergi meninggalkan semua mimpi kami berdua. Kepergiannya meninggalkan rasa kopi yang manis dalam setiap pekatnya, menjadi dingin dan pekat. Meski tetap aku gunakan nama RaPi (Rasa Kopi) untuk Coffee Shop ini seperti ide kami berdua, namun rasanya memang sudah berbeda.

Aku memenjarakan diri, tidak akan ada lagi perempuan. Bahkan menganggap perempuan adalah masalah dalam kehidupan laki-laki. Tapi kali ini, diamnya Meriska begitu memanggil.

Senyum segarisnya telah menaklukan keangkuhan laki-lakiku, kisahnya adalah pilu yang tidak bisa begitu saja aku ketuk. Ditinggal kekasih, membuatnya menjadi perempuan tegar dan kokoh, namun tetap ceria.

Itu yang aku suka. Setidaknya itu kesimpulan sementara, kenapa Meriska bekerja keras mencari uang sendiri, dan membawa Ditha kemanapun ia pergi. Pasti, karena Meriska sudah tidak bersama Ayahnya Ditha.

Meriska pun memilih menjadi penulis lepas di berbagai media, dan bergabung di komunitas penulis agar dia bisa mengerjakan pekerjaannya di manapun dia bisa bekerja.

Ya, karena dia harus menjaga Ditha. Padahal, bisa saja Meriska mencari pekerjaan di sebuah perusahaan. Hmmm … kenapa dia tidak menitipkan Ditha pada kerabat, atau mencari pengasuh? Eugh! Keingintahuanku semakin mengubun-ubun.

“Hai, boleh minum kopi denganmu?” Aku mendekatinya.

“Tentu, ini mejamu.” Dia melempar senyum.

“Apa yang kau tulis?”

“Aku sedang memikirkan beberapa konten iklan di Instagram RaPi untuk beberapa pekan ini.”

“Novelmu, gimana?” Dia terkejut

“Kamu tahu?”

“Aku harus tahu banyak profilmu, selain sedang memasarkan Coffee Shop milikku, kamu pun adalah karyawanku.” Aku harap ini jawaban cerdas, dan Meriska hanya mengangguk.

“Apakah novelmu, bercerita tentang ayahnya Ditha?” Arrrgh! Aku sudah tidak tahan ingin menanyakannya, dan aku merasa bodoh. Semoga dia tidak pundung.

“Ayahnya Ditha? Hmmm…“ Meriska membuang napas kasar.

“Ayahnya Ditha ke mana?” Pertanyaan bodoh kedua, tiba-tiba saja meluncur dari mulutku.

“Dia mengingkari janji untuk membesarkan Ditha bersama, dan pergi sebelum Ditha dilahirkan.” Matanya tenggelam dalam layar laptop dengan segaris senyum, getir. Aku menyesal dengan pertanyaanku.

Meriska sudah lama sendiri. Dia cantik, sekalipun dengan lukanya. Kecantikannya tidak seperti mawar, bunga yang diperebutkan perempuan sebagai simbol keindahan. Meriska tidak mudah layu.

Uhuk … !” Meriska terbatuk beberapa kali, tubuhnya lunglai, kemudian terjatuh dari kursinya.

“Bundaaa….!” Ditha berteriak, “Tolong Bunda, Oom …. “ Ditha gusar.

“Hey, Bundamu mungkin kelelahan, tidak perlu khawatir.” Aku mengangkat Meriska dan membaringkannya di sofa.

“Benarkah? Bunda tidak akan mati seperti kata dokter?”

“Dokter? Bundamu sakit?”

“Dokter bilang, Bunda akan segera mati.” Tangisnya semakin kencang, “Aku senang ketika setiap bangun tidur dokter selalu salah, dan Bunda masih menemaniku ke sekolah juga bermain.”

“Bunda sakit apa?”

“Setiap pagi kepala Bunda sering sakit, lalu muntah dan menangis…. Aku nggak ngerti kenapa Bunda nangis, aku hanya bisa menunggu di pintu luar kamar mandi.“

“Ayo kita temui dokter Bundamu.”

***

Jaga teman dekatmu, dan lebih dekat lagi bersama secangkir kopi. RaPi.

“Kanker otak stadium tiga, kami sudah memintanya untuk melakukan tindak operasi, radio terapi, atau kemoterapi. Tapi, ibu Meriska menolak.” Dokter memberi penjelasan tentang sakit kepala seperti cerita Ditha.

Itu sebabnya, Meriska selalu mengikat rambut agar tidak terlihat saat berjatuhan karena rontok akibat kanker. Malam itu kondisinya semakin menurun, harusnya dia dioperasi setahun lalu. Namun, ketiadaan biaya yang cukup besar membuatnya harus bekerja lebih keras.

Bergabung di beberapa komunitas penulis, menjadi penulis lepas, bekerja paruh waktu, sampai akhirnya komunitas penulis mengantarkannya pada pertemuan denganku, di RaPi Coffee Shop milikku.

Semua itu belum cukup juga mengumpulkan biaya untuk operasi. Dia perempuan yang memiliki semangat tinggi untuk hidup.

“Kata Bunda, kalau aku jadi anak baik, Bunda akan terus hidup. Bukankah selama ini aku jadi anak baik?”

“Tentu, kamu anak yang baik. Kita berdoa, bundamu perempuan yang kuat. Oke?” Ditha mengangguk.

***

Kamu tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi kamu bisa membeli secangkir kopi yang dikelilingi suasana menyenangkan saat meminumnya.

Aku menandatangani persetujuan operasi pada kanker otaknya, bagaimanapun saat ini aku yang bertanggungjawab atas hidup Meriska. Dia karyawanku. Tidak ada keluarga yang bisa aku hubungi, selain Komunitas Kertas yang beberapa bulan ini memang gencar mengumpulkan dana peduli untuk Meriska melalui penjualan novel koleksi mereka.

50 persen dari hasil penjualan setiap novel, disumbangkan untuk pengobatan Meriska. Sayang, aku tidak suka membaca novel, jadi aku tidak tahu program peduli ini lebih awal. Aku memutar ingatan pembicaraan kami terakhir sebelum Meriska jatuh pingsan.

“Kenapa tidak menitipkan Ditha pada keluarga? Maksudku orang tuamu, mereka di Jakarta juga atau….?”

“Aku dan ayahnya Ditha dibesarkan bersama di panti asuhan yatim piatu, entah orang tua kami masih hidup atau tidak, kami tidak pernah mengenalnya ada.”

Sorry…. Aku bertanya terlalu jauh.”

Its okay, itu bukan masalah. Ayolah tidak perlu merasa bersalah. Apa aku tampak menyedihkan?” Meriska tersenyum.

Hmmm … tentunya ini bukan hal mudah bagimu.”

“Aku merasa ini sebuah lelucon yang Tuhan berikan dalam hidup, sehingga setiap kemalangan yang menimpa, aku harus tetap memberi senyuman bahkan menertawakannya bila perlu. Itu cara Tuhan menyayangiku.”

Ah… Meriska. Memang tak akan semudah membalikkan telapak tangan, kadang dalam hidup kita harus merasakan pahit manisnya dunia. Tak ada titik air mata yang kau pisahkan saat membisikkan derita. Aku tersentuh, sementara aku terlalu bodoh menyikapi kehilangan dengan keluh dan dendam.

***

Apa yang kamu lihat, tidak selalu apa yang kamu dapatkan. Tapi, secangkir kopi selalu siap untuk membahagiakanmu. RaPi.

Malam itu, pertama kalinya aku memberanikan diri berbicara lebih dekat dengan Meriska. Namun, sekaligus menjadi malam terakhir aku mengenal seluruh hidupnya. Sebelum meja operasi menyambutnya, Tuhan telah mengambil seluruh lelucon dalam hidup Meriska.

Setidaknya, Meriska bisa tertawa dengan menganggap setiap kemalangan adalah lelucon, itu caranya berpikir positif pada ketetapan Tuhan atas hidupnya, menertawakan kemalangan membuatnya tetap bahagia menjalani hari-hari yang letih.

Maut yang merenggut nyawanya, tidak mampu merenggut segaris senyumnya yang memikat.

“Bundaaa … !” Ditha menjerit dalam tangis, dia begitu kehilangan. Aku memeluk setiap tangisnya, kubiarkan tubuh kecilnya meronta dalam pelukanku hingga sedu sedannya mereda.

Seandainya, aku mengenal Meriska lebih awal. Aku pastikan dia dioperasi, dan memberinya perawatan terbaik. Namun, ketetapan Tuhan tidak berpihak, Meriska terlalu baik untukku.

Aku laki-laki bodoh, yang mengasihani diri bertahun-tahun hanya karena ditinggal perempuan.

Aku membangun penjara bagi hatiku yang malang. Pengandaian memang tidak pernah mengantarkan siapapun pada masa depan yang baik.

Meriska menitipkan pesan pada teman-temannya di Komunitas Kertas, komunitas yang selama ini menemaninya menghadapi kanker, membuatnya hidup dan menghidupi.

Jika terjadi sesuatu padanya, antarkan Ditha ke panti asuhan tempat dulu dia dan ayahnya Ditha dibesarkan. Namun, mana mungkin aku menyerahkan gadis semanis Ditha di panti asuhan.

Ada magnet lain dalam diri Ditha yang membuatku ingin menemaninya tumbuh sampai dia menjadi perempuan yang mapan, gadis kecil itu telah mencuri perhatian. Aku akan menjadi ayahnya, semoga Meriska tidak keberatan. Sebab, bagi Meriska Ayah Ditha adalah laki-laki terbaik dalam hidupnya.

“Sialnya, Ayah Ditha adalah laki-laki terbaik. Aku harus membesarkan Ditha dengan sangat baik, harta yang ditinggalkannya untukku. Meski aku hampir saja menyerah.” Terngiang kembali saat Meriska menceritakan Ayahnya Ditha.

***

Hidup hanya sekali.

Salah!

Kamu hidup setiap hari.

Jadilah seperti kopi: nikmat, nyaman, dan berharga dalam setiap waktumu.

RaPi.

Aku Cantik dan Baru Saja Patah Hati, kisah ini ditulis Meriska untuk mengenang mendiang suaminya yang meninggal akibat kecelakaan, saat Meriska mengandung Ditha diusia kandungan dua bulan.

Kata orang, perempuan cantik tidak akan patah hati. Meriska cantik, tapi kisah hidupnya dibangun dari hati yang patah.

Aku berkaca, menatap si bodoh dalam diriku, hanya karena seorang perempuan banyak waktu kulewati sia-sia. Sementara, Meriska dengan kelembutannya adalah simbol kekuatan yang terlahir berkali-kali setiap kemalangan menimpa dirinya.

Namun, cerita berakhir baik, si bodoh telah mati. Dan aku tidak pernah merasa sehidup ini. Ditha adalah kehidupan baru, yang akan memberi rasa lain dalam hidupku, dalam waktu yang singkat aku akan menjadi seorang Ayah.

***

Kopimu percaya, kau adalah setengah dari kopiku. RaPi.

RaPi Coffee Shop memang dibangun dengan Karenina, namun Meriska yang telah menghidupkannya.

Meriska, aku merawat hati ini seperti merawat kaktus di kebun belakang rumah. Ada kesabaran yang kau ajarkan. Mawar memang selalu terlihat indah, tapi berduri.

Oh, kaktus juga berduri, tapi bagiku lebih baik, karena kaktus menampakkan duri-durinya. Kaktusku mulai tumbuh dengan duri-durinya yang tidak menipu. Kaktus mengajariku untuk hati-hati, untuk merawat tanpa harus menyentuhnya, untuk mencintai tanpa berlebihan, dan untuk tetap sabar.

Di depan puasaramu, aku berjanji akan menjadi Ayah yang baik untuk Ditha. Semoga kau tidak keberatan. Aku menggendong Ditha di punggungku, membawanya seolah terbang dengan pesawat ulang alik.

Ditha tergelak, air matanya telah susut, tanda kerelaan bahwa Ibunya tidak akan menemaninya sekolah dan bermain lagi.

***

Secangkir kopi bisa menenangkan pikiran, dan mencerahkan hari yang bermasalah. Meriska untuk RaPi.

Sebagai rumah tempat dia dibesarkan sebagai penulis, Komunitas Kertas mengabadikan tulisan Meriska dalam sebuah buku, begitu pun konten-konten singkat yang telah ditulisnya untuk RaPi.

Kali ini, aku mencantumkan nama Meriska dalam setiap konten yang telah diselesaikan sebelum maut merenggut nyawa dari tubuhnya.

Ditha memang tidak tahu bagaimana rasanya memiliki ayah, saat ibunya masih hidup. Namun, aku akan menjadi ayah yang membuat ibunya tetap hidup dalam kenangan.

Suatu hari, tulisan itu akan menjadi bagian dari nyawa Ditha. Bahwa, Meriska akan tetap hidup dalam setiap denyut nadi Ditha melalui tulisannya.

Hari ini, rasa kopi berbeda dari biasanya. Tidak ada kopi yang pahit, semua hanya tentang cara kita menikmatinya. Apakah pekat akan terasa pahit? Atau pekat membuatmu mengingat hal manis? Itu pilihan.

Sesekali dalam kehidupan yang sangat biasa, kopi hadir memberikan perasaan yang luar biasa menyenangkan. Bukankah, tidak ada yang lebih memahagiakan bagi seorang penikmat kopi, selain saat secangkir kopi disajikan?

Jadilah pemanis dalam secangkir kopiku. Meriska untuk RaPi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DL
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini