Sang Pemalu pun Harus Keluar dari Tempurung

Sang Pemalu pun Harus Keluar dari Tempurung
info gambar utama

Kata orang-orang bijak, belajarlah dari pengalaman orang lain. Maka aku akan meminta anda untuk belajar dari pengalaman yang kualami.

Aku sendiri melalui pengalaman panjang yang berlika-liku dalam memantapkan diri menjadi seorang penulis. Bisa dibilang baru bisa memperlihatkan taring setelah 13 tahun berproses.

Tiga belas tahun bukanlah waktu yang pendek. JK Rowling saja membutuhkan waktu selama 10 tahun untuk menemukan penerbit yang tepat untuk serial Harry Potter-nya. Sementara aku membutuhkan waktu tiga belas tahun, dan tidak se-booming hasil karya JK. Rowling pula. Wkwkwk.

Sebelumnya maafkan diriku yang sedang mem-bully diri sendiri. Tapi aku tahu penyebab lamanya proses yang ditempuh tak lain disebabkan karakter diri.

"Diba, ada pertemuan penulis di toko buku A, datang gih," seru seorang atasan di tempatku bekerja dulu.

"Malu ah, Mbak," jawabku tidak mengiyakan ajakannya.

Di awal-awal usaha berproses menjadi penulis, bisa dibilang bahwa aku benar-benar 'soliter' alias sendirian, tidak mau berkomunikasi apalagi berkomunitas dengan penulis lainnya.

Penyebabnya karena faktor emosi, yakni malu mengakui diri sebagai seorang penulis juga takut diobrak-abrik tulisannya.

Secara emosional bisa dikatakan bahwa aku tidak memiliki mental penulis yang mau maju. Terlalu takut ini dan itu. Akhirnya... 13 tahun berlalu tanpa ada sebuah titik terang.

Cikal bakal pertobatanku adalah ketika akhirnya menerbitkan buku yang berjudul "Dengan Menyebut Nama Allah" yang alhamdulillah harus diretur sebanyak 1.000 eksemplar oleh toko buku besar di Indonesia.

Meskipun, ya. Di toko kecil sempat menjadi best seller (congkak dikit nggak apa-apa, ya. Demi menyelamatkan harga diri hehehe). Hal itu merupakan tamparan bahkan pukulan keras bagiku.

"Aku harus berubah, dan terutama mengubah mindset." Hal itu yang terus aku gaungkan dalam hati.

Mulailah aku membuka-buka sebuah komunitas online di FB, satu-satunya komunitas yang akhirnya diikuti atas saran dari atasan.

"Diba, ikutlah ibu-ibu apa gitu, suka nulis atau apa, itu pendirinya Indari Mastuti, bukuku terbit di komunitas itu."

Klik... Aku add pertemanan Teh Indari Mastuti langsung, dan di-approve. Maaf ya aku add pertemanan sudah lama, jadi mungkin belum penuh slotnya.

Alhamdulillah aku belajar banyak dari beliau, sang pendiri komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis ini. Banyak sekali mental block yang harus aku dobrak, salah satunya yaitu berkomunitas.

Padahal ternyata banyak lho peran komunitas.

  1. Memberikan support/semangat karena menulis buku itu perlu komitmen dan konsistensi yang tinggi, sedangkan kita adalah manusia yang sering kali future.
  2. Memperluas jaringan. Kita bisa menambah kenalan, dengan itu berarti menjalin silahturahmi. Hasilnya, silahturahmi akan memperpanjang usia setya menambah rezeki. Rezeki tidak selalu uang ya, tetapi ilmu yang bermanfaat juga.
  3. Dengan berkumpul dengan orang yang memiliki tujuan yang sama, kita berarti akan bekerja sama mencapai tujuan iitu, dan percayalah, banyak kepala lebih mudah dibanding satu kepala.

Alhamdulillah, akhirnya aku tobat hehe.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DZ
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini