Belajar Ekologi dari Beras Merah dan Burung Hantu di Dusun Pagi

Belajar Ekologi dari Beras Merah dan Burung Hantu di Dusun Pagi
info gambar utama
  • Melestarikan bibit lokal, salah satu bentuk perlawanan revolusi hijau, industri pertanian yang menggenjot hasil dan penyeragaman
  • Sebuah dusun di Tabanan melestarikan tradisi pertanian lokal yang ekologis
  • Beras merah dan burung hantu memberikan keseimbangan alam
  • Kerja-kerja pertanian tradisional ini memberi dampak lain, seperti transfer pengetahuan ekologis dan wisata alam

Sepasang petani tua bekerja dengan tekun menjemur hasil panennya dipayungi terik mentari, Senin (10/6/2019) di persawahan Dusun Pagi, Senganan, Tabanan, Bali. Mereka menyambut stok pangan beras merah tahun ini dengan gembira.

“Hasil panen lumayan,” Made Suparmi dan Wayan Suarca tersenyum sambil menjemur hasil panennya. Keduanya menganggap, beras merah adalah anugerah sekaligus jalan untuk menyelaraskan diri dengan alam.

“Sebelum ada burung hantu, belum keluar biji padinya sudah habis dimakan tikus,” cerita Suparmi. Panen bisa gagal. Dusun Pagi sudah lebih dari 5 tahun ini mengasuh anak-anak burung hantu. Anakan burung predator alami tikus ini kerap ditinggalkan oleh induknya yang kerepotan mencarikan makan 3-5 ekor anaknya.

Kadek Jonita atau Dek Enjoy, salah satu warga Dusun Pagi ini adalah penggerak program konservasi Tyto alba, hewan nocturnal liar ini. Dalam bahasa lokal disebut juga celepuk atau tuwut. Beras merah, hasil panen terbanyak yakni sekitar 70% di dusun ini. Warga menyebutnya padi tahun, bibit lokal yang mengalami proses pertanian hampir satu tahun. Dari persiapan tanah sampai ritual pasca panen. Karena prosesnya bertaninya lama, hama tikus adalah ancaman besar.

Petani di Dusun Pagi, Tabanan, Bali menggunakan burung hantu sebagai predator alami untuk mengatasi hama tikus di sawahnya | Foto: Luh De Suriyani
info gambar

Dusun ini tak serta merta memilih pestisida. Dari ajang diskusi antar warga dan kesadaran untuk kembali memuliakan tanah, mereka memilih burung hantu sebagai predator alami.

Burung hantu yang menyukai kawasan sawah untuk berburu tikus di malam hari, melewatkan siangnya di sebuah gubuk. Ketika punya anak, induknya kerap kesulitan membesarkan karena anak-anaknya baru bisa terbang saat berusia 3 bulan.

Enjoy berkisah, burung hantu per 6 bulan punya anak rata-rata 5 ekor. Anaknya ini yang diambil warga untuk dibesarkan, setelah siap terbang dilepasliarkan kembali. Termasuk di area dusun tetangganya. “Seperti pusat penyelamatan satwa, kami bantu mengasuh biar anak-anaknya tidak mati,” katanya. Saat ini ada 9 anakan yang sedang dirawat.

Memelihara anakan burung hantu yang belum bisa berburu bukan perkara mudah, inilah yang dirasakan induknya. Karena individu dewasa saja harus berburu dan makan beberapa ekor tikus per hari. Jadilah warga memburu tikus dengan senapan untuk pakan anak-anak burung hantu.

Berkawan dengan burung hantu menumbuhkan kesadaran baru. Hewan ini diyakini indikator sumber air. Ia hidup di lubang pohon sekitar 40×40 cm, jadi pohonnya sendiri kemungkinan berukuran dua kali lipat, berarti pepohonan besar yang menyimpan cadangan air lebih banyak.

“Orang-orang yang hidup nomaden senang mendengar suara celepuk di malam hari, sumber air sudah dekat,” kisah Dek Enjoy. Untuk memasyarakatkan tyto alba, warga dusun pagi juga menghias depan rumahnya dengan lampu-lampu bentuk celepuk dengan ukuran sebenarnya. Juga muncul tarian dan musik tradisional tentang celepuk. Burung hantu makin garang, petani senang. Burung hantu kerap jadi simbol kebijaksanaan, namun di keseharian distigma menakut-nakuti.

Serak jawa (Tyto alba) | Foto: xxxx/ Burung Indonesia
info gambar

Beras merah dan burung hantu ibarat standar hidup di dusun ini. Setidaknya di dunia pertanian, tulang punggung hidup warganya. “Agar hidup tak susah, jangan ganti standarnya. Standar hidupnya agraris,” seru Dek Enjoy.

Dusun Pagi memproduksi 3 jenis padi lokal, beras pandan wangi, beras merah, dan beras coklat. Beras merah (petani menyebut dari padi tahun/padi tinggi) dikenal semenjak tahun 2800 SM. Para penyembuh pada masa itu mempercayai beras merah memiliki nilai-nilai medis yang mampu memulihkan rasa tenang dan damai. Kandungan karbohidrat beras merah lebih rendah jika dibandingkan dengan beras putih biasa. Namun, kandungan energi beras merah justru lebih tinggi daripada beras putih biasa.

Beras merah juga mengandung fosfor dan serat yang tinggi. Karena mengandung karbohidrat yang lebih rendah serta energi yang lebih tinggi, beras merah biasanya dikonsumsi untuk diet dan kesehatan lainnya.

Pengolahan tanah biasanya berlangsung selama satu bulan. Setelah selesai proses pengolahan tanah, selanjutnya sistem kalamasa diterapkan oleh masing-masing petani dalam menanam dan pemeliharaan tanaman. Perhitungan perbintangan dan berbagai kearifan lokal kuno diterapkan serta saling dikomunikasikan antar petani.

Pasangan petani Dusun Pagi, Senganan, Tabanan, Bali gembira menyambut panen tahun ini |Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Berbagai macam permainan diciptakan untuk membuat rasa nyaman dan harmoni, sehingga energi positif dari setiap petani sebagai pemelihara dan pengasuh padi terpancar dan terefleksi ke setiap padi yang ia tanam. Perilaku ini “dipamerkan” dalam Festival Uma Wali.

Dalam festival ini, warga membagi kebijaksanaan dari halaman rumah dan sekitar. Ini dirangkum Uma Wali sebagai upaya transfer pengetahuan lisan.

Dalam website, umawali.org, diarsipkan sejumlah kearifan ekologis. Kayu Antap di kubu-kubu petani bukan sekedar untuk melindungi petani dari teriknya sinar matahari, tapi juga melindungi petani dari ancaman petir yang sangat berbahaya. Penangkal petir alami bagi kubu dan isinya.

Beras tak hanya stok pangan, juga untuk kekerabatan. Jika setiap hari menanak beras 1 kg, maka sebulan habis 30 kg. Semusim tanam yang 4 bulan berarti 120 kg (umur padi 100 hari), atau 180 kg jika musim padi tahun (umur padi 140 hari).

Kala adalah waktu. Kalendar Uma adalah sebutan untuk tata waktu yang digunakan dalam proses bertani, yang meliputi aspek adat (ritual/upacara, kepercayaan, perarematau kesepakatan yang telah berlaku secara tradisi), serta kerja fisik di Uma.

Untuk mulai mengolah tanah/membajak, hari baik tiap petani berbeda, bergantung pada kecocokan hari baik menurut penggarap. Hari baik ini tetap dipakai selanjutnya. Contoh, jika hari baik krama A adalah Selasa, maka upacara membuka saluran air ke lahan (ngendagin) dilakukan Selasa. Menanam (nandur) Selasa. Mengistirahatkan (negtegin) sampai mengupacarai (mantenin) saat padi panen nanti diupacarai di lumbung (jineng) juga Selasa.

Pengeringan hasil panen padi tahun penghasil beras merah di sawah yang estetik | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Alur kerja Kalender Subak untuk beras merah ini adalah paket pengetahuan komplit dalam hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.

Contohnya pada kalender atau Tebek tahun 2015 sudah dimulai pada Desember 2014 dengan upacara permakluman serta permohonan keselamatan untuk memulai menyiapkan bibit (Pakeling Ngurit). Lanjut pakeling ke pura sumber kesuburan seperti pura Subak. Dilanjutkan upakara memohon air (Magpag Toya) oleh kelompok subak.

Berikutnya membuka saluran air ke lahan (Ngendagin), dan bekerja di sawah mempersiapkan lahan (nenggala, ngelampit, memakal, dan najungin). Tahap kerja fisik berikut adalah menyangkul (numbeg), membajak (metekap/ngeluku), membalik tanah (mungkahin), dan proses lainnya.

Lahan diistirahatkan sekitar satu minggu, atau cara lama sekitar 3 bulan (sering disebut berek somi/ilalang membusuk). Saat jeda waktu inilah, petani berkreasi dengan berkesenian.

Selanjutnya pada Januari, dimulai menanam bibit padi (nandur), sampai prosesi 15 hari kemudian (ngebisin, netek Padang, mejukut di pinggir). Ritual 45 hari ke depan lebih padat, seperti upacara padi hamil 2,5 bulan (Biyu Kukung, padi beling), sampai padi menguning.

Di bulan ke-6, sekitar Mei-Juni, mulailah aktivitas panen, memotong dengan alat tradisional (ani ani/ampegan). Lalu dikeringkan, sebelum disimpan di lumbung, dan upacara merehatkan tanah kembali.

Saat panen juga adalah sebuah pertunjukan menarik. Para petani bekerja sampai tengah hari, memotong dengan bilah kayu kombinasi pisau cutter, penuh kesabaran dan estetik. Mengikat panen juga tak asal-asalan. Ada ikatan sesuai kemampuan tangan (pejangan), ada yang dirangkap 2, 4, sampai satu pikulan (16 pejangan).

Jineng (lumbung) warga di Dusun Pagi tempat penyimpanan tabungan beras | Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
info gambar

Saat musim panen beras merah pada Juni ini di Dusun Pagi, petani mengeringkan panennya di tengah sawah agar tak menambah ruang. Ikatan padi dijejer bak seni instalasi. Setelah itu ditumpuk menyerupai kerucut, cara mempercepat pematangan batang dan padi. Panas terperangkap di dalam tumpukan padi bak ruang sauna, batangnya lebih cepat kering.

Pasangan petani Suparmi dan Suarca mengolah 10 are lahan dan mendapat panen sekitar 700 kg beras merah tahun ini. “Sekitar 90% lah, sisanya bagi dengan mahluk lain,” urai Suarca merujuk keiklasannya membagi untuk tikus dan burung.


Catatan kaki: Ditulis oleh Luh De Suriyani dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini