Inilah "Nenek Moyang" Cabai yang Asli Indonesia

Inilah "Nenek Moyang" Cabai yang Asli Indonesia
info gambar utama

Masyarakat Indonesia sangat familiar dengan cita rasa pedas. Hampir setiap hari, ada saja makanan pedas yang kita konsumsi. Atau kalaupun tidak pedas, masih tetap memakai cabai. Ada pecel, gado-gado, soto, lalaban, balado, penyetan, hingga gorengan, atau bahkan tambahan sambal ketika kita makan sehari hari. Tak lengkap rasanya makan besar tanpa ada cabai.

Cabai yang selama ini jadi salah satu bahan utama pencipta rasa pedas tersebut berasal dari tanaman genus Capsicum. Cabai memiliki berbagai jenis di antaranya cabai rawit (Capsicum frutescens), cabai merah dan cabai keriting (Capsicum annum L) serta cabai hijau (Capsicum annum var. annuum).

Cabya | bukalapak.com
info gambar

Tapi tahukah anda, di masa lalu, nenek moyang kita tak mengenal cabai seperti yang kita kenal sekarang. Cabai yang kita gunakan saat ini bukanlah tanaman asli Indonesia. Mulanya berasal dari Benua Amerika dan dibawa masuk pada abad ke-16 oleh para pelaut Portugis dan Spanyol ke Asia Tenggara. Leluhur kita juga dikenal membubuhkan cita rasa pedas dalam kulinernya, namun tidak menggunakan cabai rawit, cabai keriting, dan sejenisnya. Mereka menggunakan Cabya. Berbeda? Tentu saja. Bukan hanya namanya yang berbeda, bentuk dan jenis tanaman cabai pada saat itu juga sangatlah berbeda.

Cabya sendiri merujuk kepada Piper retrofractum vahl, jenis tanaman dari genus lada dan sirih-sirihan yang punya sifat sebagai rempah pemedas untuk mengolah makanan. Mengingat pada masa kuno tanaman ini banyak tumbuh di wilayah Jawa, pada masa lalu orang-orang Jawa menyebutnya cabya/cabe jawa atau lombok.

Sekilas, cabya memang mirip cabai, memiliki warna hijau ketika muda, dan berwarna merah ketika matang. Namun berbeda dengan cabai pada umumnya yang memiliki permukaan yang licin, cabya memiliki tekstur berbintik yang unik. Malah mirip tekstur di buah stroberi.

Menurut catatan sejarah, kata cabya telah disebut-sebut dalam beberapa prasasti dan naskah kuna di Jawa dari abad ke-10. “Merujuk pada Kamus Jawa Kuna - Indonesia dari Zoetmulder dan Robson (1997) serta riset arkeologis Timbul Haryono dalam Inventarisasi Makanan dan Minuman dalam Sumber-Sumber Arkeologi Tertulis (1997), kata cabya telah disebut-sebut dalam beberapa prasasti dan naskah kuna di Jawa dari abad ke-10 M,” ujar Fadly Rahman, sejarawan kuliner, seperti dikutip Kompas.com.

Ketika Capsicum terus dibudidayakan secara massif di Nusantara, popularitas cabya jawa akhirnya menurun. Adapun lada masih bertahan sebagai pecitarasa pedas masakan. Masyarakat Nusantara sendiri umumnya lebih memilih menyukai Capsicum ketimbang lada dengan alasan lebih nyaman di mulut dan lambung.

Atas dasar perubahan selera inilah cabai lantas naik statusnya menjadi bahan pemedas primadona baru di Nusantara. Popularitas cabya memang meredup pada abad ke-16. Namun uniknya, masyarakat Nusantara menyebut Capsicum dengan nama cabai/cabe yang merupakan pelafalan atas nama kunonya, cabya.

Kini, Cabya masuk dalam kategori tanaman langka dan pemanfaatannya di Jawa bergeser sebatas sebagai herbal atau sebagai bahan jamu saja. Cabya atau cabai jawa kini dikenal sebagai salah satu bahan pembuatan jamu yang dipercaya dapat menyembuhkan demam, beri-beri, anemia, sakit kepala, dan penyakit lainnya.

Cabya sendiri dapat tumbuh di lahan ketinggian 0-600 meter dari permukaan laut (dpl), dengan curah hujan rata-rata 1.259-2.500 mm per tahun. Tanah lempung berpasir, dengan struktur tanah gembur dan berdrainase baik, merupakan lahan yang cocok untuk budidaya cabai jamu. Tanaman itu memiliki keunggulan dapat tumbuh di lahan kering berbatu. Keberadaan tanggul batu di pematang tegalan dapat dijadikan media merambatnya cabai jamu secara alami.

Sumber: Kompas.com | Beritagar.id | Wikipedia.org

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini