"Asli mana, mbak?"
"Surabaya, pak,"
"Oh, wong Jowo, ya? Wong ndeso kalau begitu?"
Kemudian bapak itu pergi meninggalkan saya dalam keadaan heran. Memangnya ada apa dengan menjadi wong ndeso? Justru saya bangga Jawa bagian dari kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia.
Seperti budaya di bagian Indonesia lainnya, masyarakat Jawa diajarkan beberapa nilai dari nenek moyang yang masih relevan hingga saat ini.
Salah satu nilai budaya Jawa yang saya sukai adalah andhap asor, yang artinya manusia harus bersikap rendah hati dan ikhlas dengan takdir Tuhan.
Bahkan nilai ini juga baik diterapkan dalam semua agama dan kepercayaan. Inilah yang membuat Jawa disebut sebagai budaya yang dinamis.
Jika andhap asor ini diaplikasikan di seluruh aspek kehidupan, maka tidak heran melihat masyarakat Jawa yang legowo ketika ada kerabat yang meninggal.
Kematian adalah sebuah awal
Sering disebut deathless death, dalam budaya Jawa tidak memandang kematian sebagai akhir dari kehidupan, justru kematian dianggap sebagai akibat dari kelahiran.
Jika menurut definisi kematian adalah berpisahnya roh dengan tubuh, yang kemudian tubuh akan perlahan-lahan hancur, maka Jawa melihat jauh lebih dari itu.
Beberapa pendapat dalam budaya Jawa melihat kematian sebagai proses kembali ke asal mula, atau yang disebut dengan mulih mulo mulanira.
Masyarakat Jawa mengatakan bahwa kematian justru awal dari kehidupan yang abadi dan sebenar-benarnya, dan akhir dari perjalanan dunia yang fana.
Tuhan dalam budaya Jawa disebut sebagai asal mula dan tempat kembali dari semua kejadian.
"Urip neng donyo iki mung mampir ngombe," yang diibaratkan bahwa hidup di dunia ini hanya "mampir" sebentar untuk kemudian meneruskan perjalanan sesungguhnya setelah meninggal.
Siklus kehidupan menurut Jawa
Menurut budaya Jawa, terdapat tiga konsep dari siklus kehidupan. Konsep ini disebut juga sebagai tigaan.
Pertama, disebut purwa yang berarti permulaan ketika manusia dilahirkan.
Kedua, disebut madya yang artinya tengah, yakni langkah seorang manusia yang menjalani kehidupan hingga tua.
Ketiga, disebut wasana yang artinya akhir, yaitu manusia yang tua hingga menjalani kematian.
Hubungan manusia dengan Tuhan
Budaya Jawa adalah budaya yang dinamis, disebabkan oleh keterbukaan dan penerimaan masyarakat Jawa terhadap persepsi masing-masing orang terhadap Tuhannya.
Masyarakat Jawa menyebut Gusti Pangeran, sebutan lain dari Tuhan, yaitu Tan Kena Kinaya Ngapa yang artinya tidak dapat disepertikan, sehingga masing-masing masyarakat Jawa tidak ada yang menyalahkan bagaimana proses manusia berinteraksi dengan sang Gusti Pangeran.
Selain itu masyarakat Jawa juga menghargai proses manusia mendekatkan diri dan jiwa kepada Tuhan sesuai cara masing-masing.
Tidak heran jika meskipun saat ini sudah berkembang banyak agama dan kepercayaan, identitas Jawa tidak mudah diruntuhkan dari generasi ke generasi.
Ini disebabkan karena budaya Jawa yang meliputi seluruh aspek kehidupan (dan setelah kehidupan juga).
Budaya Jawa mengibaratkan bahwa jarak Tuhan dengan ciptaanNya tidak dapat diukur dengan akal sehat manusia. Bisa jauh tanpa batas sekaligus dekat namun tak bersentuhan, atau disebut adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan.
Pemahaman masyarakat Jawa tentang Tuhan ini membuat saya lebih menghargai proses spiritual saya menemukan definisi Tuhan untuk saya sendiri.
Selain itu makna dalam yang terkandung dari budaya Jawa ini juga menyadarkan saya bahwa inilah salah satu kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki oleh banyak negara-negara lainnya.
Catatan kaki: Sumekar Tanjung/Konsepsi Kematian a la Jawa | Geotimes
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News