Menguak Makanan Jawa Kuno yang Unik

Menguak Makanan Jawa Kuno yang Unik
info gambar utama

Ragam kuliner Indonesia yang beragam dan kaya akan rempah-rempahnya menjadi hal yang biasa saat ini. Olahan daging sapi, ayam, dan ikan menjadi hal yang lumrah untuk hidangan sehari-hari, namun bagaimana hidangan masyarakat Indonesia khususnya daerah Jawa pada masa kerajaan?

Pada zaman kerajaan sekitar 3000 tahun SM, tidak semua rakyat bisa mendapatkan daging untuk dimakan. Mereka menganut sistem kasta dalam tingkat kosumsi daging.

Penjamuan terhadap keluarga raja dilakukan saat acara-acara besar. Jamuan itu memiliki aturan khusus seperti nasi yang ditumpuk setinggi bahu orang yang duduk bersila, serta lauk pelengkap yang terdiri dari daging domba, daging kambing, daging sapi, dan daging kerbau yang dipanggang.

Lauk pauk itu ditumpuk-tumpuk sedemikian rupa yang seolah-olah pemborosan nista. Bagi kaum raja dan bangsawan selesai menyantap makanan-makanan mereka, makanan yang tersisa akan diberikan kepada pelayan-pelayan kerajaan untuk dinikmati bersama keluarga mereka.

Hak konsumsi daging bagi kalangan raja dan bangsawan tentunya tidak terikat aturan, tak jarang mereka menyantap kambing muda yang masih belum mempunyai ekor, penyu badawang, babi liar matinggantungan, babi liar pulih, anjing liar, dan bahkan cacing.

Rajamangsa yakni sebutan bagi makanan raja atau yang hanya dikhususkan untuk raja. Rajamangsa berasal dari kata rajya yang berarti pemimpin dan mangsa yang artinya daging atau makanan.

Bagi rakyat jelata, mereka biasa mengosumsi ikan-ikanan atau hasil olahan dari air. Hal itu disebabkan melimpahnya dan mudahnya hasil air tawar maupun air laut. Sejak zaman itu, ikan menjadi populer di berbagai kalangan, dengan berbagai olahan.

Selain itu, ada juga kosumsi lain seperti telur (hanttrini), angsa (angsa), kijang (kidang), kera (wrai), kalong (kaluang), burung (alap-alap), bebek (andah). Itu tergambarkan dalam ukiran prasasti atau relief candi seperti Candi Borobudur. Pada relief-relief itu menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa kuno mendapatkan makan, bercocok tanam, mengolah, hingga menjinakkan ayam dan babi untuk diternakkan.

Sumber: historia.id
info gambar

Menurut arkeolog Titi Surti Nastiti, masyarakat saat itu tidak hanya menjual hewan ternak yang masih hidup, namun ia menemukan prasasti dan naskah yang menceritakan tentang keadaan pasar di Jawa pada masa Mataram kuno sekitar abad 8-11 Masehi yang bertuliskan kata hajagal. Hajagal ini berarti pemotongan hewan ternak atau tukang jagal untuk penyembelihan hewan pada masa itu.

Tak hanya ayam dan sapi, kerbau juga turut diternakkan walaupun lebih cenderung untuk pembajak sawah daripada untuk dikosumsi. Bagimana tidak, kerbau termasuk hewan dengan reproduksi paling lambat. Hewan ini hanya menghasilkan paling banyak 3 ekor anak kerbau dalam satu tahun.

Berdasarkan Prasasti Sangsang (907 M) menyebutkan batas jumlah hewan yang tidak dikenai pajak dari raja apabila dijual yakini 20 kerbau, 80 kambing, 40 sapi, dan itik satu wantayan atau sekitar 100 ekor.

Kendati rajamangsa memang dikhususkan untuk raja, namun dalam beberapa kesempatan orang di luar kerajaan juga bisa mencicipi santapan dari kerajaan. Rakyat-rakyat tersebut menerima anugerah atau waranugraha yang dilaksanakan dalam upacara sima. upacara sima yakni upacara penting pada masa kerajaan Mataram yang menandakan berubahnya suatu daerah yang menjadi kawasan bebas pajak dari raja.

Sejak saat itu, olahan daging sapi dan kambing masih menjadi hidangan mewah. Budaya itu masih terbawa hingga saat ini, bahkan konsumsi daging sapi dan kambing hanya diolah secara massal saat upacara-upacara penting pada adat Jawa.

Sumber: historia.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KN
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini