Angkringan dan Nasi Kucing, Dua Sejoli yang Tak Terpisahkan

Angkringan dan Nasi Kucing, Dua Sejoli yang Tak Terpisahkan
info gambar utama

Kalau mendengar nama angkringan teringatnya Yogyakarta. Identik dengan nasi kucing yang murah tapi nikmat rasanya. Tidak lupa kopi dan aneka minuman yang dingin maupun menghangatkan. Obrolan santai bersama kawan pun menjadi hal yang mengasyikan.

Tapi pernahkah terpikir dari mana angkringan bermula, dan kenapa identik dengan nasi kucing?

Mari kita ulas bersama.

Ialah Mbah Pairo dari Klaten yang membawanya ke Jogja. Saat itu pada tahun 1950 Mbah Pairo berjualan di emplasemen Stasiun Tugu Jogja. Menggunakan pikulan khas Klaten. Kemudian generasi selanjutnya ialah Lik Man yang berjualan pada tahun 1969.

Pedagang masih menggunakan pikulan hingga pada 1990 angkringan gerobak mulai banyak dijumpai di trotoar-trotoar. Tercatat pada 2010 terdapat tiga angkringan pikulan yang berjajar di samping angkringan Lik Man. Lebih tepatnya berlokasi di Jl. Wongsodirjan dan biasa disebut dengan angkringan kopi joss.

Aktivitas angkringan | Sumber: Kaskus.co.id
info gambar

Angkringan berasal dari kata “angkring” yang merujuk pada keranjang pikulan untuk wadah makanan dan air kopi yang berada di pinggir jalan.

Kemudian oleh pakar Jawa yakni Poerwadarminta, menjelaskan makna angkring adalah pikulan dan perangkatnya, kothakan wadhapanganan atau kotak tempat makan. Pikulan itulah yang dibawa pedagang untuk berkeliling menjemput pembeli di perkampungan.

Dinamakan angkringan juga karena kita dapat meng-angkring-kan kaki (mengangkat kaki sambil duduk di kursi) sambil menikmati makanan dan minuman.

Angkringan sekarang | Sumber: Muradi/Kontan
info gambar

Tidak hanya itu, angkringan juga memiliki filosofi yaitu sebagai salah satu bentuk perjuangan seseorang dalam menghadapi kemiskinan. Keadaan yang serba kesusahan dan modal yang seadanya tapi tetap berjuang untuk mendirikan sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Menu identik yang dihadirkan oleh angkringan yakni nasi kucing yang merupakan nasi bungkus kecil dengan harga murah. Dahulu nasi kucing dikatikan dengan makanan orang miskin.

Biasanya nasi kucing terdiri dari nasi yang ditambah sambal teri atau oseng yang dibungkus kecil. Dengan rata-rata harga sangat murah yakni Rp 1000.

Nasi kucing | Sumber: Kompasiana.com
info gambar

Etika perempuan Jawa di meja makan menjadi filosofi nasi kucing. Wanita harus makan dengan sopan, cimit-cimit, tidak menunjukkan lahapnya di depan publik.

Nasi kucing juga dijajakan oleh Mbah Pairo yang membawa angkringan ke Yogyakarta. Hingga akhirnya nasi kucing menjadi menu khas yang dihadirkan angkringan. Seolah kurang pas disebut angkringan jika tidak menyediakan menu nasi kucing.

Istilah nasi kucing muncul pada tahun 1980-an, dikatakan Heri Priyatmoko bahwa saat itu “manusia penjaja sudah menerima makanan seperti kucing dengan bandeng sedikit, cukup secuil dan sambel”. Manusia pembeli sudah merasa nikmat dan cukup dengan menyantap hidangan khas ala kucing”.

Selain di Yogyakarta, angkringan juga dikenal di Solo tetapi dengan nama yang berbeda. Di Solo dikenal sebagai hik, berasal dari bunyi-bunyian si pedagang.

Biasanya mereka akan menyerukan “ting ting hiiik,” dengan aksen Jawa yang kental. Aksen jawa kental dari bunyian hik tersebut digambarkan para bloggers dengan ejaan “hikk…iyeeekk”. Namun pada akhirnya hik memiliki kepanjangan yakni hidangan istimewa ala kampung.

Konon disebutkan juga bahwa hik berasal dari suatu idiom yang bersumber dari lagu rakyat yang dinyanyikan pada malam selikuran, tanggal 21 bulan puasa pada zaman Susuhunan Paku Buwono X. Lirik dari lagu rakyat tersebut adalah ting-ting hik, jadah, jenang, wajik, ojo lali tingke kobong.

Bahkan diketahui dari koran Jawi Hisworo, angkringan di Solo sudah ada sejak 1912, hal tersebut diungkapkan oleh Heri Priyatmoko, sejarawan Solo, dikutip dari republika, dikatakan juga bahwa pada tahun 1902, para urban sedang berada di keramaian kota pada malam hari dan datang orang-orang pinggiran Solo yang menyediakan makanan murah meriah di malam hari.

Setelah membaca sejarah di atas ternyata angkringan sudah berusia sangat lama sekali. Angkringan dan nasi kucing menjadi dua fenomena yang tidak terpisah.

Sekarang angkringan banyak dijumpai bahkan tidak hanya di Yogakarta dan Solo saja. Namun bisa ditemukan di kota lainnya. Walaupun terasa kurang afdol menikmati angkringan tapi tidak ke kota asalnya langsung.

Sumber: republika.co.id | timesindonesia.co.id | mercubuana.ac.id | fimela.com | detik.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KM
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini