ARTJOG MMXIX dan Seruan Lingkungan

ARTJOG MMXIX dan Seruan Lingkungan
info gambar utama

Edisi terbaru festival seni kontemporer tahunan Yogyakarta ARTJOG menampilkan lima proyek khusus yang berpusat pada masalah lingkungan.

Jogja National Museum (JNM) menjadi tuan rumah untuk festival tahun ini, yang hadir dengan tagline ARTJOG MMXIX Arts in Common | Space, dan juga menampilkan proyek-proyek khusus yang mencakup Taman Organik oh Plastik karya Handiwirman Saputra, Domus Frosiquilo (Daun Ekuator) karya Teguh Ostenrik, Warung Murakabi milik Piramida Gerilya, Humba Dreams (un)Exposed karya pembuat film Riri Riza dan Bubu Waktu milik Sunaryo.

Karya Handiwirman akan langsung menyapa pengunjung karena terletak tepat di depan museum dan terhubung langsung ke ruang pameran utama.

Karyanya pada dasarnya adalah sebuah lubang, berukuran diameter tujuh meter dan kedalaman lima meter, dan ia mengisinya dengan berbagai jenis benda organik dan nonorganik. Tampaknya menunjukkan bahwa berbagai macam limbah yang dihasilkan di era modern telah mengaburkan batas antara apa yang alami dan apa yang tidak.

“Saya langsung bekerja di lokasi daripada di studio,” kata Handiwirman, yang berasal dari Bukittinggi di Sumatra Barat dan dikenal karena menghidupkan kembali benda-benda yang dibuang ke dalam karya seni.

Domus Frosiquilo (Daun Ekuator) karya Teguh Ostenrik | Foto: Tarko Sudiarno / Jakarta Post
info gambar

Teguh membuat kubah besar yang terbuat dari jeruji besi. Dia kemudian menempelkan ornamen, dibuat dari daun jati, ke kubah. Di dalam kubah, pengunjung dapat menonton film yang bercerita tentang terumbu karang.

Berada di dalam kubah juga memberi pengunjung sensasi estetika menyelam di laut dan menikmati terumbu karang yang indah, yang sayangnya, telah menghadapi ancaman kepunahan karena limbah plastik, pemboman ikan, dan polutan kimia.

Kurator ARTJOG MMXIX Agung Hujatnika mengatakan Teguh senang sekali menyelam dan merasa sedih melihat keadaan terumbu karang yang rusak di Indonesia. Karena itu, sang seniman suka membuat karya-karya yang terbuat dari jeruji besi yang kemudian ia tenggelamkan ke laut sebagai media untuk pertumbuhan terumbu karang.

Teguh akan menenggelamkan Domus Frosiquilo di perairan Jikomalamo di Ternate, Maluku Utara, setelah dipamerkan selama ARTJOG. Sebelumnya, sang artis juga telah menenggelamkan beberapa instalasi kubahnya ke perairan berbeda di Indonesia. Beberapa dari mereka telah berhasil menumbuhkan terumbu karang baru.

Dari menikmati Domus Frosiquilo, pengunjung dapat berjalan ke barat gedung pameran untuk menikmati Warung Murakabi dari Piramida Gerilya, sebuah kolaborasi seniman interdisipliner, yang mencakup Santi Ariestyowanti dari Indieguerillas dengan Singgih Susilo Kartono dari Gerakan Spedagi, Agung Satriyo Wibowo dari Ekoliterasi Jogja, Lulu Sindhu Prasastyo dari Sapu Upcycle dan Lulu Lutfi Labibi.

Warung Murakabi dari Piramida Gerilya | Foto: Bambang Muryanto
info gambar

Warung Murakabi menampilkan kios, dengan aksen budaya pop artistik dari Indieguerillas, menjual berbagai makanan dan minuman lokal, seperti kopi dari Kulonprogo dan jus buah segar yang disajikan tanpa menggunakan plastik.

Selain itu, Warung Murakabi juga menampilkan desain lurik busana Labibi dengan harga terjangkau dan pemasangan Singgih yang menampilkan sepeda, kursi, dan radio berbasis bambu.

Agung mengatakan Warung Murakabi tidak akan berhenti di ARTJOG tetapi akan terus menawarkan tempat bagi para praktisi bisnis makanan lokal.

“Dalam bulan ini kita harus menemukan tempat baru untuk 'Warung Murakabi ',” kata Agung.

Setelah kembali segar karena makanan dan minuman lokal Warung Murakabi, pengunjung dapat naik ke lantai tiga museum untuk melihat instalasi milik Riri yang disebut Humba Dreams (un) Exposed, yang dibuat hasil bekerja sama dengan Wulang Sunu dari instalasi Studio Batu.

Riri menampilkan layar melengkung besar yang menampilkan animasi budaya Sumba dari Nusa Tenggara Timur. Di tengah instalasi juga terdapat tiga patung tubuh manusia dalam posisi jongkok di mana pengunjung dapat mengintip potongan yang tidak terpapar dari film Rumba Humba Dreams.

Riri said respecting the dead was central in the life of Sumba people who still embraced the local faith of Marapu. They saved money so they could organize proper rituals to bury their loved ones.

“The dead cannot be buried before undergoing a series of proper rituals,” Riri said.

Through Humba Dreams (un)Exposed, Riri said he wanted to ask people to understand the complex problems that Sumba people are facing. Despite having one of the most beautiful natural scenery and tourism spots in the world, Sumba and the East Nusa Tenggara province remain one of the poorest regions in Indonesia.

The last special project is Sunaryo’s Bubu Waktu that was inspired by the traditional fish trap called bubu. The work is a big tunnel made of bamboo that also functions as the exit of the exhibition building. (hdt)

Riri mengatakan bahwa menghormati orang mati adalah penting dalam kehidupan orang Sumba yang masih memeluk kepercayaan lokal Marapu. Mereka menghemat uang sehingga mereka dapat mengatur ritual yang tepat untuk menguburkan orang yang mereka cintai.

"Orang mati tidak dapat dimakamkan sebelum menjalani serangkaian ritual yang tepat," kata Riri.

Melalui Humba Dreams (un)Exposed, Riri mengungkapkan bahwa ia mengajak orang-orang untuk memahami masalah kompleks yang dihadapi orang Sumba. Meskipun memiliki salah satu pemandangan alam dan tempat wisata paling indah di dunia, Sumba dan provinsi Nusa Tenggara Timur tetap menjadi salah satu daerah termiskin di Indonesia.

Proyek spesial terakhir adalah karya Sunaryo Bubu Waktu yang terinspirasi oleh perangkap ikan tradisional yang disebut bubu. Karya itu adalah terowongan besar yang terbuat dari bambu yang juga berfungsi sebagai pintu keluar gedung pameran.


Catatan kaki: Jakarta Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini