Aku untuk Bunga-bunga Papua yang Bermekaran

Aku untuk Bunga-bunga Papua yang Bermekaran
info gambar utama

Cerita berikut adalah untaian kisah-kisah berdasarkan kejadian nyata. Sebagian besar cerita, nama, waktu, dan lokasi dalam kisah ini sesuai dengan kejadian sesungguhnya. Penulis hanya menambahkan sebagian kecil uraian fiksi sebagai pelengkap cerita di beberapa bagian, tanpa bermaksud untuk memberikan kesan hiperbolik maupun hoax. Pemikiran atau pendapat yang ada dalam naskah ini tidak merepresentasikan opini Politeknik Keuangan Negara STAN. Semua isi dalam kisah ini menjadi tanggung jawab penulis.

Prolog: Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat
Sepucuk surat dinas tergeletak di meja kerja. Aku bergegas membacanya. 'Undangan rapat program pendidikan khusus putra-putri Papua' begitu judulnya. Aku perhatikan identitas pengirimnya yang tertera di kop surat, 'Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat', disingkat UP4B. Nama instansi yang baru pernah aku dengar. Entah di bawah naungan kementerian apa. Aku tak mengerti tugas mereka. Lalu apa hubungannya dengan STAN, kampus tempatku bekerja ini. Aku baca instruksi atasan, agar aku ikut hadir di rapat itu nanti. Jadwalnya pekan depan. Aku tandai kalender mini di pojok meja, 12 Februari 2013, 'Rapat Papua'.

Dari surat itu, aku mengerti kalau UP4B akan mengadakan program pendidikan khusus untuk putra-putri asli Papua di berbagai kampus milik pemerintah. Lebih dari 30 kampus negeri dilibatkan sebagai penyelenggara. STAN ditugaskan menjadi penyelenggara pendidikan Diploma I Kebendaharaan Daerah dan Diploma I Pajak Daerah.

Sepekan berlalu, aku berangkat bersama beberapa pejabat STAN menuju kantor perwakilan UP4B di komplek perkantoran LIPI, daerah Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Sampai disana, kami disambut oleh Professor Ikhwanuddin Mawardi, salah satu Deputi UP4B. Di rapat itu, hadir pula perwakilan dari kampus-kampus pemerintah. Kemudian, hadir Kepala UP4B Bambang Darmono, seorang purnawirawan TNI berpangkat Letnan Jenderal. Ia memimpin rapat, didampingi Wakil Kepala UP4B dan lima orang Deputi. Kepala UP4B adalah pejebat negara setingkat menteri, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

"Program afirmasi pendidikan ini merupakan amanat Presiden," begitu kalimat pembuka dari pemimpin rapat. Bambang menjelaskan, "UP4B merupakan unit ad hoc yang dibentuk khusus oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di tahun 2011 sebagai unit kerja pembantu Presiden." Kantornya menempati bekas gedung IndonesiaJoint Development Foundation di Jayapura. Sedangkan kantor perwakilannya berlokasi di Jakarta. UP4B bertugas mengkoordinasikan program-program untuk percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Salah satu programnya adalah afirmasi pendidikan.

Program ini khusus ditujukan untuk siswa-siswi lulusan SMA, yang merupakan orang asli Papua. Tujuannya untuk membantu percepatan pembangunan sumberdaya manusia di sana. Lulusan program ini nantinya ditujukan untuk bekerja sebagai PNS pada instansi pengirim di pemerintah daerah masing-masing. Mirip dengan model penempatan kerja lulusan IPDN, tapi ini hanya mencakup Papua. Dari Papua untuk Papua.

"Peserta pendidikan afirmasi ini tidak boleh dipungut bayaran," pimpinan rapat melanjutkan penjelasan. Mereka dibebaskan dari segala biaya, bahkan harus disediakan akomodasi gratis dan diberi uang saku untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Semua biaya tersebut ditanggung pemerintah, melalui APBN dan APBD. Bagi kampus-kampus PTN yang menjadi penyelenggara program ini, akan mendapat transfer dana untuk memenuhi biaya pendidikan. Bagi kampus kedinasan seperti STAN, tak ada kendala terkait dana, karena memang STAN tak pernah memungut biaya dari mahasiswa. Tinggal menambah anggaran untuk pembayaran akomodasi dan tunjangan biaya hidup.

Selesai rapat, kami istirahat sejenak di lobby kantor UP4B. Di pojok ruangan, aku melihat foto Prof. Yohanes Surya menggandeng seorang siswi berseragam SMA sambil memegang medali. Aku paham betul wajah profesor itu. Waktu SMA aku sangat mengaguminya. Waktu itu, aku bercita-cita menjadi fisikawan seperti dia.

Aku berjalan mendekati foto itu. Dari sepenggal keterangan di bawah foto itu, aku tau kalau gadis itu adalah Annike Nelce Bowaire, siswi SMA Negeri 1 Serui peraih medali emas di kompetisi fisika SMA tingkat dunia tahun 2005. Bangga sekali aku melihat foto itu. Tapi seketika, hatiku bertanya-tanya. Bagimana bisa anak Papua, yang umumnya memiliki kecedasan di bawah rata-rata, dengan fasilitas pendidikan yang seadanya, bisa memenangkan lomba fisika tingkat dunia? Aku saja, yang sekolah di Jawa, dengan segala fasilitasnya, tak pernah bisa. Aku melamun sejenak, teringat waktu kelas 3 SMA. Aku pernah ikut seleksi olimpiade fisika di SMA Taruna Nusantara, Magelang. Dari tiga soal yang diujikan, tak satupun aku memahaminya, apalagi bisa menjawabnya.

"Ayo pulang," aku kaget, bosku memanggilku dari tempat duduknya. Di perjalanan pulang, aku mencari informasi tentang pendidikan di Papua. Aku buka internet dengan kata kunci 'pendidikan Papua'. Muncul gambar-gambar gedung sekolah yang hampir roboh. Anak-anak memakai seragam kumal dan tak bersepatu. Cerita klasik yang sudah terjadi berabad-abad disana. Di antara kisah-kisah yang menyedihkan, muncul berita tentang medali emas tadi. Di berita itu, ketika ditanya oleh wartawan tentang potensi anak Papua, Prof. Yohanes Surya mengatakan, "Anak Papua juga bisa."

Memberi Kesempatan Awal, Bukan Sekadar Toleransi
Sebagai dasar hukum pelaksanaan program afirmasi ini di STAN, dibuatlah Nota Kesepahaman antara Menteri Keuangan dan UP4B yang ditandatangani pada April 2013. Berdasarkan kesepakatan itu, dibuatlah pengumuman penerimaan mahasiswa baru khusus Papua. Pendaftaran dibuka mulai tanggal 7 – 14 Juni.

Persyaratan administrasi dibuat lebih sederhana, peserta cukup mengisi formulir pendaftaran dan menyertakan satu lembar fotocopy ijazah SMA dan foto. Persyaratan akademik juga dipermudah, dengan menurunkan standar nilai ijazah. Jika biasanya standar untuk masuk STAN minimal rata-rata nilai 7,00, maka untuk program ini, cukup 6,00. Kriteria untuk menentukan "keaslian" pendaftar sebagai "orang asli Papua" ditentukan oleh Pemda. Berkas pendaftaran dikirim secara kolektif dari Pemda ke UP4B.

Ujian seleksi dilaksanakan tanggal 2 Juli, serentak di tujuh lokasi. Lima lokasi di Papua (Jayapura, Wamena, Merauke, Biak, Nabire) dan dua lokasi di Papua Barat (Sorong dan Manokwari). Materi yang diujikan hanya Tes Potensi Akademik. Tak ada tes kesehatan maupun wawancara.

Aku ditugaskan untuk membawa soal ujian ke Manokwari. Sehari sebelum berangkat, aku menemui dokter Mila di Poliklinik. Dokter memeriksa denyut jantungku, lalu memberiku obat anti-malaria. "Jangan lupa diminum obatnya nanti malam," pesan dokter Mila.

Pagi itu, pesawat lepas landas dari Jakarta. Transit di Makassar. Aku turun dari pesawat Boeing 737-800 berbadan besar, kemudian naik ke pesawat kecil jenis ATR 72-600. Jam 14.30 pesawat mendarat di bandara Rendani, Manokwari. Inilah pertama kali aku menginjakkan kaki di tanah Papua.

Bandara ini berada di tepi laut, menghadap ke Samudera Pasifik. Bangunannya kecil dan sederhana. Dari ruang kedatangan, pandanganku menyapu sekitar. Ada loket Trigana Air dan Wings Air. Di sebelahnya, beberapa kios menjajakan kerajinan tangan khas Manokwari. Ada noken, cincin dan gelang dari kulit kayu. Tak ada pendingin udara di bandara ini. Hanya mengandalkan embusan angin.

Aku menuju ke pangkalan taksi di sebelah kanan pintu keluar.

"Mau kemana Bapa?" sopir taksi menyapaku.
"Kantor Bupati," aku menjawab singkat.
"Mari kopornya," dia membuka pintu bagasi.
"Tidak usah, biar di dalam saja. Ini kopor kecil."

Aku tak perlu menjelaskan kalau kopor itu berisi soal ujian, dokumen rahasia yang harus aku jaga. Kantor Bupati hanya berjarak sepuluh menit dari bandara. Sampai di sana, aku menuju resepsionis.

"Saya dari Kementerian Keuangan, mau bertemu Pak Daniel," aku menjelaskan.
"Sebentar ya, silakan tunggu," resepsionis mengangkat gagang telepon.
Dua menit kemudian, datang pria berseragam cokelat, "Pak Budi, ya?"
"Iya, saya Budi dari STAN."
"Saya Daniel," kami berjabat tangan. "Selamat datang di Manokwari. Kenapa tidak telepon saya kalau sudah mendarat? Biar saya jemput ke bandara."
"Tidak usah repot, Pak Daniel. Saya sudah dikasih ongkos untuk naik taksi."
"Biasanya pejabat-pejabat dari Jakarta minta dijemput," tukas Daniel.

Namanya Daniel Hobera, lulusan STPDN, sudah bekerja tiga tahun disitu. Dia mengajakku ke ruangan kantornya. Kami langsung meninjau persiapan ujian, terutama ruangan yang mau dipakai besok. Semua sudah siap. Aku meninggalkan kantor Bupati menuju losmen.

Setengah jam di losmen, ada yang mengetuk pintu kamar. Aku buka pintu, resepsionis berdiri di luar, "Ada tamu untuk Bapa."

Aku menuju ruang resepsionis. Terlihat seorang laki-laki tua berdiri bersama anak perempuan berseragam SMA. Aku tak mengenal mereka.

"Bapa Budi dari Jakarta kah?" dia mengulurkan tangannya.
"Iya, saya," aku menjabatnya. Kami duduk di kursi kayu, di depan losmen. Tak ada lobby di losmen itu.
"Begini, ini anak saya Maria, mau ikut ujian untuk sekolah di kampus…"
"STAN" aku menyambung.
"Ya, itu yang di Jakarta," dia tersenyum.
"Ujiannya besok pagi, Bapak," aku menjelaskan.
"Itu masalahnya, kitorang belum mendaftar."

Aku tertegun sejenak. Aku tak sanggup bertanya, kenapa anaknya belum mendaftar.

"Siapa nama Bapak?" aku bertanya.
"Okto."
"Pak Okto tunggu sebentar ya," aku menjauh beberapa langkah dari mereka, ke samping losmen.

Kuambil hand phone dari saku, telepon ke Jakarta. Aku jelaskan kejadiannya.

Singkat cerita, panitia mengizinkan anak itu untuk ikut ujian. Kata panitia, peserta dadakan ini bukan hanya ada di Manokwari, tapi di semua lokasi ujian.

"Jadi besok kalau ada peserta dadakan, diterima saja. Minta saja identitas dan dokumen-dokumen syarat pendaftaran. Kalaupun belum lengkap, nanti bisa dikirim lewat pos. Kita harus maklum dengan kondisi mereka" lanjut seorang panitia di ujung telepon.
"Baiklah," aku mengakhiri pembicaraan.

Aku kembali ke depan losmen, lalu duduk di sebelah Maria. Pak Okto duduk di depanku, mukanya cemas menanti jawaban.

"Maria boleh ikut ujian besok pagi," ucapku singkat.

Lelaki tua itu langsung menghampiriku, memelukku.

"Terima kasih, Bapa," matanya berlinang.

Cukup lama dia tak melepas pelukannya. Aku tak bisa berkata-kata. Lelaki itu mirip ayahku. Dadaku sesak.

Akhirnya aku bisa bicara, "Dari mana Pak Okto tau saya disini?."
Dia menjawab, "Saya dikasih tau Pa Daniel. Katanya tadi Pa Budi dari sana, tapi sudah pergi ke losmen. Jadi kami menyusul kesini."
"Oh begitu" aku menimpali. "Tolong besok bawa dokumen syarat pendaftaran ya. Sudah tau kah syaratnya apa saja?"
"Sudah" jawab Maria.
"Tadi kami dapat ini dari Pa Daniel," Maria menunjukkan selembar kertas.
"Ya, ini persyaratannya" aku memastikan.
"Pak Okto dan Maria tunggu sebentar ya." Aku kembali ke kamar, mengambil formulir pendaftaran.
"Formulir ini diisi, di bagian atas ditempel foto ukuran 4x6. Besok dibawa, dilengkapi satu lembar fotocopy ijazah SMA dan dua lembar foto ukuran 4x6."
"Iya," kata Maria.
"Kalau begitu, kami pulang dulu" Pak Okto berpamitan.

Ujian Seleksi
Jam tujuh pagi, aku sudah sampai di kantor Bupati. Belum ada orang. Aku menunggu di lobby. Tiga puluh menit kemudian, Pak Daniel datang bersama dua orang rekan kerjanya. Kami langsung menuju ke ruang ujian.

Seorang rekan Pak Daniel duduk di meja registrasi, di depan ruang ujian. Aku duduk di sebelahnya. Dia mendata peserta yang datang, lalu memintanya mengisi daftar hadir. Bagi peserta yang belum mendaftar, diminta mengisi formulir pendaftaran dan menyerahkan berkas-berkasnya.

Maria datang menghampiriku. Mukanya pucat.

"Saya tidak bawa fotocopy ijazah. Kemarin sore ayah saya pergi ke tempat fotocopy. Naik motor, dua jam dari rumah, tapi sampai disana tokonya sudah tutup," ucap Maria.
"Bawa ijazah aslinya"? tanyaku.
"Iya, ini ada," Maria membuka tasnya.
"Sebentar ya," aku menghampiri Pak Daniel di pojok ruangan.
"Ada peserta perlu fotocopy ijazah. Ada mesin copy di kantor ini?"
"Maaf, mesinnya rusak, sudah satu bulan belum diperbaiki," dia menjelaskan.
"Baiklah," aku kembali ke meja registrasi.
"Maria, saya foto saja ijazahnya pakai hand phone. Nanti saya print di Jakarta."

Maria tersenyum lega.

Jam 8.30, seharusnya ujian dimulai. Tapi peserta yang hadir baru setengah. Dari 64 orang yang mendaftar, baru 25 yang hadir. Ditambah tujuh peserta dadakan yang mendaftar hari ini. Totalnya menjadi 32 orang. Panitia setempat meminta ujian jangan dimulai dulu. "Mungkin ada yang masih dalam perjalanan, kami akan coba hubungi mereka," kata Daniel.

Aku jawab, "Baiklah, kita beri waktu lima menit."
Dia sibuk memijit HPnya dan sesekali berteriak "Hei, dimana kah? ini ujian su dimulai!."
Daniel terdiam sejenak mendengarkan jawaban, lalu berteriak lagi. "Aah, gimana kamorang ini!! Ya sudahlah."
Dia menghampiriku, "Mereka tak jadi ikut Pa."
"Ya sudah, kita mulai saja. Ini sudah jam 8.35."

Selesai ujian, Daniel menghampiriku, "Nanti malam kita jalan-jalan keliling kota ya. Sambil makan malam," dia memberi penawaran.
"Terima kasih, tapi saya mau istirahat saja," aku menjawab.
"Oh begitu."
"Ya. Lagipula, di dekat losmen ada rumah makan."

Aku kembali ke losmen.

Aku mendapat SMS dari panitia di Jakarta. Secara total, dari 388 peserta yang mendaftar, hanya 338 orang yang hadir saat ujian. Peserta terbanyak dari Jayapura 112 orang, Nabire hanya diikuti 17 orang. Sebenarnya, UP4B telah menginformasikan ke semua kabupaten di Papua dan Papua Barat agar mengirimkan peserta untuk mengikuti seleksi ini. Ternyata, ada beberapa kabupaten yang tidak mengirimkan peserta. Dari Papua, ada sembilan daerah yang absen: kabupaten Asmat, Deiyai, Dogiyai, Keerom, Memberamo Raya, Memberamo Tengah, Mappi, Nduga, dan Paniai. Sementara dari Papua Barat, kabupaten Tambraw tak mengirimkan wakilnya.

Selepas maghrib, aku berjalan ke rumah makan di seberang losmen. Seorang nenek tua menjajakan pinang sirih dan kapur di depan rumah makan itu. Ada pinang segar yang masih utuh, ada pula pinang kering yang telah diiris. Setumpuk buah sirih tertata di sebelahnya, bersama beberapa lembar daun sirih. Dia duduk di trotoar, beralas karung beras. Wajahnya tampak lelah. Mungkin sudah berdagang sejak pagi. Anak seumuran dua tahun, mungkin cucunya, tertidur di sampingnya. Aku masuk ke rumah makan. Angin pantai berhembus kencang.

Masa Orientasi
Sesuai dengan Nota Kesepahaman, biaya pelaksanaan pendidikan ini ada yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan dan ada pula yang menjadi tanggung jawab Pemda masing-masing di Papua, sesuai asal daerah mahasiswa. Kementerian Keuangan menanggung seluruh biaya pendidikan, buku dan peralatan, akomodasi, bantuan biaya hidup, dan wisuda. Sedangkan Pemda menyediakan dana untuk transportasi ujian seleksi, transportasi ke tempat studi, dan asuransi kesehatan.

Ada 210 peserta ujian seleksi yang lulus, 127 dari Papua dan 83 dari Papua Barat. Tapi, hanya 205 yang mendaftar ulang. Mereka datang ke Jakarta. Sebelum mulai pendidikan, mereka mengikuti orientasi selama dua hari di kampus STAN Jakarta.

Pagi itu, 28 Agustus 2013, mereka berkumpul di Gedung G. Aku masuk dari pintu timur gedung itu. Ramai sekali. Seorang siswi keluar dari keramaian, mendekatiku.

"Selamat pagi, Bapa," ia menyapa.
"Pagi," aku menjawab.
"Saya Maria"
"Oh iya, saya ingat. Dari Manokwari kan?"
"Iya"
"Wah, selamat ya. Kamu lulus dan bisa kuliah disini."
"Terima kasih. Bapa saya itu suruh saya bilang terima kasih ke Pa Budi"
"Oh, iya. Bapak sehat kan?," aku teringat Pak Okto, ayah Maria yang dulu menemuiku di losmen.
"Sehat," Maria menjawab.
"Berapa orang dari sana yang lulus?"
"Sekitar 20-an."
"Kemarin berangkat kesini bersama-sama?"
"Iya."
"Tiket pesawat dibelikan oleh Pemda?"
"Tidak Bapa. Kami beli tiket sendiri, katanya uang dari Pemda belum bisa dicairkan. Tunggu bulan depan."

Aku terdiam.

Peluit panjang berbunyi, tanda kegiatan akan dimulai.

Orientasi dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kemudian, Direktur STAN menyampaikan sambutan. Selama orientasi, mereka diperkenalkan dengan lingkungan kampus, budaya akademis, dan peraturan yang berlaku, termasuk kedisplinan. Hadir pula Pak Sudirman Said, Ketua Ikatan Alumni STAN, memberi ceramah dan motivasi. Selepas istirahat siang, mereka menyanyikan lagu "Aku Papua" karya Franky Sahilatua.

Hitam kulitku, keriting rambutku, aku Papua…

Biar nanti langit terbelah, aku Papua…

Setelah selesai orientasi di hari kedua, bagi yang mendapat lokasi pendidikan di luar Jakarta, mereka diberangkatkan ke masing-masing lokasi pendidikan. Ada lima lokasi pendidikan: Jakarta, Cimahi, Palembang, Malang, dan Medan. Di Jakarta, 85 siswa. Di lokasi lain, masing-masing 30 siswa. Pelepasan peserta dilakukan oleh pimpinan UP4B bersama-sama dengan pimpinan STAN.

Pendekatan Humanis dalam Pengajaran
Mahasiswa Papua tinggal di rumah-rumah kost di sekitar kampus, berbaur dengan mahasiswa lain. Semua biaya kost dibayar oleh STAN. Mereka juga diberi uang saku untuk biaya hidup, yang dibagikan tiap dua minggu. Sejak awal, UP4B mengingatkan agar uang saku jangan diberikan satu bulan sekaligus. Kalau diberikan semua, mereka akan habiskan dalam waktu dua minggu.

Perkuliahan dimulai dengan program matrikulasi, agar mereka bisa beradaptasi dengan iklim akademik kampus dan menyesuaikan kemampuan untuk mempelajari materi dari kurikulum inti. Mata kuliah yang diajarkan pada matrikulasi terdiri dari Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Pengenalan Komputer, dan Pengenalan Budaya. Matrikulasi dilaksanakan selama delapan minggu. Dalam seminggu, dua kali tatap muka untuk setiap mata kuliah.

Aku dapat tugas mengajar matematika. Ini fondasi yang penting, untuk persiapan mata kuliah akuntansi, misalnya menghitung penyusutan berganda. Matrikulasi matematika tidak lagi mengajarkan konsep, semuanya latihan soal, berhitung.

Aku masuk ke ruang kelas, lalu membagikan selembar soal hitungan. Kujelaskan apa isi soalnya, apa yang ditanya, dan bagaimana cara menjawabnya. Ini pekan kedua aku mengajar mahasiswa Papua.

"Salo, maju ke depan" aku menunjuk siswi asal Jayapura itu. Aku ingat nama panggilannya, tapi lupa nama lengkapnya. Kulihat di daftar hadir, namanya Salomina Gobay. Dia maju ke depan kelas, semangat sekali. Cepat sekali dia menulis jawaban di papan tulis. Cara menghitungnya tepat, jawabannya akurat.
"Benar itu, Salo," aku menyanjungnya.

Di pojok kelas, duduk seorang mahasiswa. Esron Rumbewas, aku hafal nama lengkapnya, putra asli Sorong. Sebenarnya dia anak yang cerdas, tapi malas. Hidupnya seperti tak bersemangat. Duduk menyendiri di bangku belakang, jauh dari teman-temannya di kelas. Pulpennya tergeletak di atas buku tulis. Sepertinya, untuk menulis-pun dia berat. Aku berjalan mendekatinya, lalu duduk di bangku sebelahnya.

"Esron, kau tau Boaz Solossa?" aku membuka pembicaraan.
Dia menjawab, "Itu idola saya, Bapa. Pemain bola terkenal. Diorang itu adiknya Ortizan Solossa."
"Katanya, tahun ini Boaz pergi dari Persipura Jayapura, pindah ke Persiram Raja Ampat. Benar kah?" Aku terpengaruh logat mereka.
"Ya, dia su tak sejalan dengan Jacksen Tiago, pelatih Persipura," Esron antusias menjelaskan.
Aku menimpali, "Boaz dan Ortizan itu dari Sorong, kan?"
"Iya Bapa."
"Nah, mereka berdua itu orang hebat. Kau juga bisa jadi seperti mereka."
"Ah, tidak mungkin, bagaimana caranya..?" dia tertawa kecil.
"Asalkan kau rajin. Nanti kau bisa mengharumkan nama Sorong. Kau bisa terkenal se-Indonesia, seperti Boaz dan Ortizan itu."

Sekitar sepuluh menit kami ngobrol sepak bola, sementara mahasiswa lain melanjutkan mengerjakan soal matematika. Tanah Papua banyak melahirkan pemain-pemain bola terkemuka. Selain Boaz dan Ortizan, ada Elie Aiboy. Esron bercerita banyak tentang kaki kiri Elie yang menghasilkan banyak gol indah. Berikutnya ada Patrich Wanggai, Titus Bonai dan Oktavianus Maniani yang menjadi "trio Papua" di Timnas Indonesia. Papua menjadi surga talenta bagi dunia sepakbola.

Perkuliahan selesai.

Buku tulis Esron masih kosong.

Wawasan Kebangsaan di Kuliah Akuntansi
Selasa, 8 Juli 2014, aku mengajar mata kuliah Akuntansi Pemerintah Daerah di semester 2. Aku masuk ke ruang kelas. Lima mahasiswa sudah duduk di kelas. Pagi itu hujan gerimis, banyak mahasiswa tak hadir. Harusnya ada 15 mahasiswa di kelas. Sebelum memulai kuliah, aku mengajak mereka ngobrol tentang beberapa hal di luar Akuntansi, sebagai pengantar.

"Besok kita libur ya," aku membuka perkuliahan.
"Iya, besok Pemilu" kelas menjadi gaduh.
"Kalian ikut Pemilu?"
"Tidak. Kami tak dapat undangan. Padahal kami sudah punya KTP, umur sudah 19 tahun," kata Martha.
"KTP kalian kan alamatnya Papua. Jadi kalian terdaftar di Papua. Kalau mau pindah TPS, harus bawa formulir A5. Kalian harus urus dulu formulir itu di Papua," aku menjelaskan.
"Kalian tau, orang Papua yang jadi menteri?," aku mengalihkan pertanyaan.

Mereka terdiam.

"Freddy Numberi," aku jawab pertanyaanku sendiri.

Aku tayangkan foto pria kelahiran Yapen Waropen itu, yang pernah menjadi Gubernur Papua dan tiga kali menjadi menteri. Sebagai MenPAN di era Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian Menteri Kelautan dan Perikanan di periode pertama Presiden SBY, dan menjadi Menteri Perhubungan untuk kabinet SBY periode kedua.

Setidaknya itulah awalan kuliah akuntansi yang kusampaikan hari itu. Kujelaskan konsep-konsepnya, kemudian membahas soal-soal yang ada. Tak perlu terlalu banyak materi, karena sedikit saja cukup, yang penting mereka mengerti.

Kabar Pahit Pasca "Bioskop Pertama"
Pagi itu hari Jumat, aku masuk kelas jam delapan. Sebelum menyampaikan materi, aku tayangkan video singkat tentang Franklin Ramses Burumi, sprinter asal Serui, yang menyabet dua medali emas di cabang lari 100 meter dan 200 meter putra, dalam ajang SEA Games tahun 2011 di Palembang.

"Kalian juga bisa jadi seperti dia, mengharumkan nama Indonesia," ucapku setelah video itu selesai.
Lalu aku bertanya, "Kalau akhir pekan, kalian ngapain?"
"Hari minggu ke gereja," sahut Yohanes.
"Main bola," Esron bersuara dari belakang kelas.
"Kau ini, bola terus," Paul menyahut.
"Gimana kalau besok Sabtu kita nonton film di bioskop. Saya yang bayar tiketnya."
"Hore.. hore..." mereka melompat-lompat.

Sabtu jam satu siang, aku menuju Plaza Bintaro. Aku masuk ke lobby bioskop. Mereka sudah berkumpul disana. Aku beli tiket The Expendables 3, lalu memesan pop corn dan hot chocolate untuk mereka.

Kami berjalan menuju pintu Theater 1.

"Paul, kenapa kamu diam terus dari tadi," aku bertanya.
"Ah, tidak Bapa," dia tersenyum.
"Dia belum pernah masuk bioskop," sahut Derek.
"Di Jayawijaya tak ada bioskop," lanjut Derek, diikuti gelak tawa beberapa temannya.
"Diam kau ini," gertak Paul.
Kami tertawa bersama, sembari pintu theater dibuka.

Setelah pertunjukan film selesai, kami berjalan menyusuri lorong.

"Mantap film nya, Bapa," ucap Derek.
"Iya, seru," aku menjawab.

Keluar dari lorong, kami berhenti sejenak.

"Kalian lanjut saja jalan-jalan disini. Saya ada keperluan di rumah"

Aku buka hand phone, baca SMS. Aku terkejut.

"Kesini semua," aku meminta.
"Ada berita duka dari Cimahi. Salah satu teman kalian ada yang meninggal."
"Kenapa dia, Bapa?," Paul bertanya dengan muka serius.
"Minuman keras," aku menjawab singkat.

Mereka mengerti maksudku.

Kami terdiam.

Masa Inkubasi Berakhir, Bunga-bunga Binaan Kami Telah Mekar
Periode perkuliahan telah berakhir, dari matrikulasi, semester 1 sampai semester 2. Saatnya dilakukan rapat kelulusan di Jakarta. Di rapat itu, hadir para penyelenggara pendidikan dari Cimahi, Palembang, Malang dan Medan.

Forum rapat memutuskan, 180 mahasiswa dinyatakan lulus. Sedangkan 21 mahasiswa harus mengulang karena tidak memenuhi persyaratan nilai minimum. Mereka diberi kesempatan mengikuti remedial. Sementara, 3 mahasiswa dinyatakan tidak lulus, karena melakukan pelanggaran disiplin.

Sebagai tahap akhir proses pendidikan, diselenggarakan wisuda di Jakarta pada Kamis 25 September 2014. Mahasiswa yang kuliah di Medan, Palembang, Cimahi, dan Malang, semua datang ke Jakarta. Mereka menginap di penginapan TMII. Sehari sebelum wisuda, mereka mengikuti yudisium.

Di forum wisuda, Direktur STAN menyampaikan harapan, "Setelah melalui tahapan-tahapan pendidikan, akhirnya pada hari ini kita semua berada di ruangan ini untuk melakukan wisuda program studi afirmasi bagi putra-putri Papua. Diharapkan lulusan program ini mampu memberikan kontribusi positif bagi terwujudnya pengelolaan dan pelaporan keuangan daerah yang transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab sehingga bisa memperbaiki capaian opini LKPD."

Sebagian orang tua mahasiswa ada yang hadir. Terpancar wajah-wajah bahagia. Anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi di luar Papua, tanpa biaya. Aku menyalami mereka.

Pak Daniel datang di wisuda itu, mewakili Kabupaten Manokwari. Setelah prosesi wisuda selesai, kami ngobrol sambil makan siang.

"Saya kasihan sama anak-anak yang ikut program ini," dia membuka pembicaraan serius.
"Kenapa memangnya?" aku bertanya.
"Dana untuk membeli tiket pulang belum cair."

Aku tak bertanya apa sebabnya.

"Lalu, pengangkatan mereka sebagai PNS di Pemda juga terkendala. Mungkin akan tertunda satu tahun," Pak Daniel melanjutkan.
"Kok bisa? Bukannya sudah ada Surat Pernyataan Bupati, bahwa akan mengangkat mereka menjadi PNS disana. Itu sudah ditandatangani sebelum program ini berjalan," aku mengungkapkan.
"Bagian Kepegawaian merasa tidak mendapat informasi tentang surat itu. Sehingga mereka belum mengajukan formasinya ke MenPAN. Ini bukan urusan UP4B, apalagi STAN. Ini urusan koordinasi internal kami," Pak Daniel menjelaskan.

Oktober 2014, pemerintahan presiden SBY berakhir. Masa kerja UP4B pun selesai, karena sesuai dengan Perpres no. 66 tahun 2011, tugasnya hanya sampai akhir tahun 2014. Pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak menerbitkan Perpres sejenis untuk memperpanjang masa kerja UP4B. Program afirmasi pendidikan untuk Papua tetap dilanjutkan, tapi dikelola langsung oleh Kemristekdikti dan Kemdikbud.

UP4B dibubarkan.

Epilog: Sudah Seharusnya Kemajuan Papua Berawal dari Pendidikan

Aku sering mengatakan, "orang menjadi brutal dan miskin karena bodoh." Mungkin ada yang menjawab, "apakah pendidikan yang tinggi menjamin orang berperilaku baik?," atau "apakah lulusan universitas tidak ada yang jadi penjahat?," dan "berapa banyak sarjana yang menganggur dan miskin?."

Waktu kecil, tepatnya kelas 3 SD, aku pernah menyobek uang mainan milik teman sekelas ketika perjalanan pulang sekolah. Temanku menangis, lalu mengadu ke orang tuanya. Apa yang terjadi? Ayahnya datang ke rumahku membawa golok, menggedor-gedor pintu dengan amarah memuncak. Saat itu orang tuaku sedang bekerja. Aku ketakutan bukan main di dalam kamar.

Sekarang kalau pulang kampung, aku sering ketemu teman SD itu. Kami bercanda mengenang masa-masa sekolah dulu. 'Kasus' penyobekan uang mainan tadi malah jadi bahan tertawaan kami. Namun ada satu hal yang membuatku sedih ketika bertanya, "kamu sekarang kerja apa?." "Aku kerja buruh cangkul di sawah," katanya. Upahnya dua puluh lima ribu rupiah per hari. Setelah lulus SD, dia tidak melanjutkan sekolah. Keluarganya memang tak berpendidikan. Ayahnya tak pernah sekolah, sehingga dikenal sangat emosional dan sering menghardik anak kecil yang 'bermasalah' dengan anaknya.

Semua ini terkait pendidikan, it's all about education, itulah pemikiranku. Pendidikan tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan tapi juga membangun kematangan pribadi. Bagi orang tua yang 'matang', kejadian anak yang menangis saat bermain itu bukanlah urusan kritis yang sampai harus dibela dengan golok. Itu cuma 'bunga' dalam pergaulan anak. Aku juga berpikir, kalau temanku itu tak hanya lulus SD, maka dia bisa hidup layak. Pendidikan memang tidak menjamin dia menjadi kaya, tapi setidaknya dia tidak jadi orang miskin.

Aku teringat pesan Ayah, "kamu harus sekolah yang tinggi, supaya kamu menjadi orang baik. Kamu harus sekolah yang tinggi, supaya kamu mendapat kehidupan yang layak." Mendengar kata-kata itu, semangatku meletup untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan menjadi dosen di perguruan tinggi. Sehingga, ketika lulus kuliah di STAN, aku memilih untuk tetap di kampus dan langsung mengajar.

Bagiku, mengajar adalah passion. Sehingga sering lupa waktu dan tak merasakan lelah meskipun harus ngajar seharian. Bertemu dengan mahasiswa yang masih polos dan tak terbelit beragam kepentingan, terasa begitu menggembirakan. Berdiskusi dengan mereka, tak akan ada habisnya. Mengajar selalu memiliki banyak tantangan. Aku harus mengerti banyak hal karena mahasiswa sering bertanya hal-hal yang 'tak terduga'.

Mengajar mahasiswa Papua, menjadi pengalaman tak terlupakan. Aku menjadi seorang guru, bukan dosen. Aku harus ekstra sabar mendidik mereka. Bertemu mereka dua kali dalam seminggu, aku hafal semua nama-nama mereka dan mengerti siapa yang pintar dan siapa yang sering bingung. Aku memahami, betapa jauhnya kesenjangan pendidikan antara Jawa dan Papua.

Di sela-sela mengajarkan materi kuliah, aku sering menyisipkan cerita tentang pentingnya kejujuran, tanggung jawab, dan bagaimana membangun mental yang kuat. Aku berikan contoh-contoh dan kejadian nyata yang aku alami sendiri dan cerita para tokoh-tokoh besar. Aku ingin mendidik mereka menjadi pribadi yang berkarakter, karena mereka akan menjadi punggawa pengelola keuangan yang tersebar di seluruh Papua.

Mereka harus punya kompetensi dan karakter yang matang. Mereka akan menjadi panutan bagi masyarakat Papua. Mereka harus menjadi generasi cerdas yang berintegritas, birokrat yang beretika, dan pejabat yang matang dalam berpikir dan bertindak.

Papua sudah tertinggal sekian lama. Otonomi khusus yang diberlakukan mulai tahun 2001, belum banyak memperluas akses pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Indeks pembangunan manusia untuk Papua hampir selalu menjadi angka terendah dari semua provinsi di Indonesia. Padahal, sudah tiliunan rupiah dana otonomi khusus yang digelontorkan.

Maka, program afirmasi pendidikan ini menjadi sebuah gerakan perubahan. Aku telah ikut berkontribusi dalam gerakan itu, dari ruang kelas. Meskipun di kelas hanya ada 15 mahasiswa, namun mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan Papua. Bagaimana 'warna' Papua di masa depan, sangat tergantung bagaimana para pendidik 'mewarnai' mereka hari ini di bangku sekolah, di ruang kuliah.

Aku mengerti, gerakan ini berjalan lambat, banyak kendala dan senyap dari pemberitaan media. Namun aku menguatkan komitmen untuk memberi kontribusi semampuku, meskipun hanya seujung kuku. Aku telah menentukan pilihan, mewakafkan hidupku untuk pendidikan. Aku percaya, suatu hari nanti aku akan melihat cahaya mutiara, yang terpancar dari tanah Papua.

***

Penulis:
Budi Waluyo, Staf bidang Mass Media, Pusat Komunikasi, Pusat Media dan Komunikasi PPI Dunia 2019/2020
Editor PPI Dunia:
Rahmandhika Firdauzha Hary Hernandha, Deputi Pusat Komunikasi, Pusat Media dan Komunikasi PPI Dunia 2019/2020

***

Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rame Priyanto (Politeknik Keuangan Negara STAN), yang telah membantu mengumpulkan data dan informasi untuk penulisan naskah ini.

Tentang Penulis
Budi Waluyo adalah dosen tetap di Politeknik Keuangan Negara STAN, Kementerian Keuangan, Jakarta. Ia mulai mengajar di kampus STAN sejak tahun 2006 setelah menyelesaikan pendidikan Diploma IV di kampus tersebut. Ia melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Prasetiya Mulya, Jakarta, dengan beasiswa dari Kementerian Keuangan dan lulus pada tahun 2009. Budi pernah mengemban jabatan struktural di kampus STAN sebagai Kasubbag Pengembangan Pendidikan Ajun Akuntan (2011-2012) dan Kasubbag Keuangan (2013-2015). Pada akhir 2015, ia memutuskan untuk beralih menjadi dosen tetap. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan doktoral (S3) di University of Leicester, Inggris, dengan topik penelitian tentang perspektif sosiologi terhadap akuntansi (social studies of accounting) pada Badan Layanan Umum. Budi dapat dihubungi melalui e-mail: budiwaluyo@pknstan.ac.id.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini