Sertifikasi Pra-Nikah, Perlukah Diterapkan di Indonesia?

Sertifikasi Pra-Nikah, Perlukah Diterapkan di Indonesia?
info gambar utama

Pemerintah mencanangkan program sertifikasi pra-nikah bagi pasangan yang hendak menikah. Peraturan ini dibuat untuk dilaksanakan pada tahun 2020 mendatang. Program pastinya memiliki tujuan dan maksud tertentu bagi yang hendak menikah.

Pasangan calon pengantin kemungkinan bakal mengikuti kelas bimbingan pra-nikah sebelum melangkah lebih lanjut ke mahligai rumah tangga. Persyaratan mengikuti kelas pra-nikah adalah untuk mendapatkan sertifikat nikah.

Program sertifikasi pra-nikah itu dicanangkan oleh Kementerian Kordinator bidang Pemberdayaan Manusia Kebudayaan atau Kemenko PMK. Menurut Menko Muhadjir Effendy, pembekalan pra-nikah adalah suatu hal yang penting.

Muhadjir menjelaskan, pembekalan ini tak hanya berkaitan dengan agama, namun juga multiaspek. Nantinya, Kemenko PMK bakal menggandeng Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan.

Lanjut Muhadjir, kelas ini gratis. Materi berkisar dari kesehatan alat reproduksi, pencegahan penyakit, hingga tips merawat janin dan anak usia dini.

Manfaat dari sertifikasi pra-nikah ini adalah mendapat bekal keagamaan hingga kesehatan, paham kesehatan alat reproduksi dan penyakit berbahaya, paham masalah gizi dan stunting anak.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 pasal 6 mengatur batas minimal usia untuk menikah di mana pernikahan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun.

Akan tetapi dari sisi medis dan psikologis, usia tersebut masih terbilang dini untuk menghadapi masalah pada pernikahan.

Badan kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sendiri menyebutkan usia perkawinan yang wajar yaitu 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.

Mereka yang melakukan perkawinan di bawah usia tersebut bisa dikategorikan tidak wajar karena usia belum matang, organ intim dan reproduksi sedang berkembang, serta mental yang masih belum stabil.

Dari sisi psikologis menganjurkan atau membiarkan pernikahan dini adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Kalau ada orang tua yang mengizinkan anaknya menikah di usia dini, maka dapat dikatakan ia melakukan tindak kekerasan terhadap anak.

Mereka yang berumur di bawah 21 tahun sebetulnya masih belum siap untuk menikah. Ketidaksiapan anak menikah dapat dilihat dari lima aspek tumbuh kembang anak yaitu fisik, kognitif, bahasa, sosial, dan emosional.

Dari segi fisik yang belum siap dikarenakan pada usia remaja masih dalam proses berkembang. Jika berhubungan seksual akan rentan terhadap berbagai penyakit. Khususnya untuk perempuan, perkawinan usia anak juga menyebabkan gangguan kognitif, seperti tidak berani mengambil keputusan, kesulitan memecahkan masalah, dan terganggunya memori.

Dari segi bahasa dalam mengomunikasikan pikirannya dengan jelas masih belum baik. Hal ini dapat menjadi masalah besar dalam pernikahan.

Kondisi sosial anak akan cenderung terbatas dan kurang mendapatkan bantuan dalam lingkungannya, dan berakibat tekanan batin dan mendapatkan kecenderungan sosial.

Emosional remaja biasanya labil. Kalau mendapatkan masalah akan lebih mudah untuk depresi dan hal ini berisiko terhadap dirinya sebagai remaja, dan anak yang dilahirkan dalam pernikahan.

Selain itu, dengan emosi yang labil, anak/remaja yang menikah lebih sering bertengkar, sehingga pernikahannya tidak bahagia.

Terdapat 46 juta remaja dan anak perempuan di Indonesia yang berusia 10-19 tahun dari jumlah total 255 juta jiwa di Indonesia. Sebanyak satu dari sembilan anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun sesuai hasil Susenas 2016.

Pernikahan di usia yang belum cukup umur ini memiliki berbagai faktor penyebab pernikahan usia dini yaitu faktor ekonomi, pendidikan, orang tua, media massa dan internet, biologis, hamil di luar nikah. Faktor terebut adalah hal-hal yang sering kita jumpai di lingkungan kita.

Maka dampak dari pernikahan di usia dini dari segi pendidikan anak yang mengendur karena banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah.

Dengan kata lain, pernikahan dini merupakan faktor menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran. Tentunya keinginan untuk melanjutkan pendidikan untuk ke jenjang yang lebih tinggi ini menjadi terhambat karena penyebab dari pernikahan di usia yang belum siap.

Dampak dari segi kesehatan pada kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini antara lain: infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim.

Hal ini terjadi karena masa peralihan, emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang.

Maka penulis berpendapat, pemerintah mengadakan sertifikasi pra-nikah bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai pernikahan juga mengenai edukasi yang diberikan pada saat pra-nikah.

Tujuan ini merupakan bentuk kepedulian pemerintah kepada masyarakat mengingat fenomena yang banyak kasus perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran anak oleh orang tua, menikah di usia remaja, dan bahaya seks bebas.

Kebijikan yang direncanakan oleh pemerintah sangatlah relevan untuk negara Indonesia untuk mencegah kasus-kasus tersebut. Pada fenomena pencanangan sertifikasi pra-nikah, yang akan dilaksanakan atau direalisasikan pada tahun 2020 nantinya, masyarakat dirasa dapat menerima kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan mampu ikut menyosialisasikan kepada keluarga yang hendak menikah di tahun 2020 nantinya.

Pemerintah diharapkan mampu menyosialisasikan mengenai rencana sertifikasi pra-nikah hingga pelosok negeri ini, sehingga masyarakat dapat memahami dan mampu ikut serta menjalankan kebijakan yang diberikan oleh pemerintah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini