Ke Mana Perginya Suara Demokrasi Indonesia?

Ke Mana Perginya Suara Demokrasi Indonesia?
info gambar utama

Masalah-masalah politik maupun demokrasi di Indonesia hingga kini masih terlarut-larut. Masih banyaknya permasalahan yang tidak terselesaikan dan belum mencapai titik tengah, membuat permasalahan ini menghambat Indonesia mencapai politik yang terkonsilidasi.

Demokrasi Indonesia belum terkonsolidasi karena demokrasinya yang belum bisa berjalan dan berproses dalam masa waktu yang lama. Masih ada penegakan hukum yang belum berjalan dengan baik, pengadilan yang kurang independen, Pemilu yang kurang adil dan kompetitif, civil society yang lemah, dan masih belum terpenuhinya hak-hak sipil, ekonomi, dan budaya warga negara.

Namun, permasalahan yang krusial akhir-akhir ini adalah semakin menipisnya suara mahasiswa dan rakyat sipil yang kritis terhadap jalannya sebuah pemerintahan.

Kemungkinan hal ini dapat terjadi dikarenakan demi menghindari stigma berpihak kepada kelompok intoleran yang anti-Pancasila dan anti-demokrasi. Hal ini bisa dikarenakan penggolongan yang dilakukan oleh masyarakat kita sendiri.

Anggapan apabila kita mendukung pemerintah, sudah cukup hanya dengan berdiam diri dan menyetujui semua tindakan yang diambil oleh sebuah lembaga pemerintahan. Apabila mengutarakan sebuah pendapat akan jalannya pemerintahan, banyak masyarakat mengira bahwa hal tersebut malah melakukan sebuah gerakan anti-pemerintah.

Pola pikir seperti inilah yang salah besar. Berdasarkan riset indeks demokrasi yang dilakukan oleh The Economist, secara umum di tahun 2017 kualitas demokrasi di dunia mengalami kemunduran.

Indonesia sendiri berada di peringkat 68 dari 167 negara yang diteliti, Bahkan penurunan kualitas demokrasi di Indonesia merupakan yang terburuk dari 167 negara.

Berada pada peringkat 48 dengan skor 6,97 pada 2016, Indeks Demokrasi Indonesia turun menjadi peringkat 68 dengan skor 6,39 pada 2017.

Hilangnya suara kritis rakyat Indonesia secara drastis merupakan langkah awal para petinggi dapat melakukan perilaku yang tidak seharusnya dilakukan. Para elite akan merasa bahwa semua warga setuju dengan apa yang dilakukan, sehingga maraknya kasus korupsi dan penyelewengan dapat terjadi begitu saja.

Juga absennya suara kritis masyarakat maupun mahasiswa adalah sebuah kehilangan besar untuk demokrasi yang membutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontrol kekuasaan.

Lalu, selama ini yang kita harapkan demi kemajuan bangsa hanyalah sebuah kata-kata yang tak terucap dan pemikiran-pemikiran yang tidak terealisasikan pada sebuah platform demokrasi.

Dahulu, demokrasi di Indonesia dapat berjalan dan berkembang lebih maju ketika banyak masyarakat, terutama mahasiswanya bergerak aktif dalam menyampaikan aspirasi dan pendapatnya terhadap jalannya sebuah pemerintahan. Akan tetapi, akhir-akhir ini suara itu mulai melemah.

Kampus juga bisa dipastikan ambil bagian dari sebab memudarnya suara para mahasiswa. Oleh karena itu, kampus perlu mendapat catatan secara khusus karena baru kali ini sejak era Reformasi kampus begitu berlomba-lomba merapat kepada kekuasaan.

Terlihat dari maraknya praktik kooptasi ikatan alumni dengan orang-orang di lingkaran istana yang jadi ketuanya; pemberian gelar doctor honoris causa kepada elite politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyatanya kepada masyarakat dan ilmu pengetahuan, melainkan lebih karena pertimbangan politik; absennya gerakan mahasiswa yang membawa gagasan bernas dan berani bersuara kritis kepada kekuasaan; dan kekuasaan sangat besar yang dimiliki pemerintah untuk menentukan rektor terpilih melalui Kementerian Dikti.

Hal lain yang dapat mempengaruhi masyarakat maupun mahasiswa kurang memberikan aspirasinya dalam bersuara dan berpikir kritis, dapat dikarenakan tidak terpenuhinya tuntutan yang selama ini diutarakan.

Ketidakpuasan ini dapat mempengaruhi, karena masyarakat berpikir bahwa percuma saja mengutarakan pendapat apabila tidak didengarkan oleh pemerintah.

Sebab dalam praktiknya, demokrasi tidak serta merta membuat apa yang menjadi keinginan masyarakat terpenuhi, misalnya pelayanan publik yang baik, infrastruktur yang belum dipenuhi, HAM yang masih belum sepenuhnya ditegakkan, dan kebebasan pers dan berpendapat.

Terlebih lagi pemerintah malah membuat Undang-Undang yang berkaitan tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam UU No. 9 Tahun 1998 yang berisi tentang lima asas, yang merupakan landasan kebebasan bertanggung jawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Selain itu ada, UUD 1945 pasal 23E ayat 3 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Kebebasan berpendapat merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, sehingga juga dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB, tegasnya dalam pasal 19 dan 20.

Baru-baru ini juga terdapat revisi Undang-Undang MD3 yang disinyalir akan membatasi hak berpendapat masyarakat sipil, dan menjadikan elite politik di dalam pemerintahan kebal hukum.

Padahal, disahkannya peraturan yang sangat banyak dan detail mengenai hate-speech atau pencemaran nama baik justru berpotensi membatasi hak kebebasan berpendapat.

Banyaknya Undang-Undang kebebasan berpendapat ini menyebabkan minat masyarakat maupun mahasiswa menurun dalam mengutarakan pendapatnya. Bahkan peraturan-peraturan itu yang membuat pejabat seakan menjadi kebal hukum dan terkesan jauh dari rakyat.

Memang terlalu banyak aturan menjadikan negara sebagai sebuah tirani. Namun, tidak adanya peraturan yang mengatur dan membatasi tingkah laku masyarakatnya justru dapat menjadikan kekacauan di masyarakat.

Oleh karena itu, dibutuhkan kejelian para elite di Indonesia dalam menumbuhkan iklim demokratis. Sangat disayangkan jika Indonesia semakin terpuruk dalam berdemokrasi, mengingat semangat berdemokrasi itulah yang menjadi pelecut runtuhnya rezim Orde Baru menuju era Reformasi.

Banyak yang harus bangsa Indonesia benahi dalam sistem pemerintahannya. Namun, jika bukan karena partisipasi masyarakat dan para penerus bangsa, lalu siapa lagi yang akan mengubahnya?

Maka dari itu jadilah generasi bangsa yang mampu menjadi para elite yang mendengarkan suara rakyat dan memajukan bangsa Indonesia tercinta ini.


Referensi: binus.ac.id | kompasiana | mediaindonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini