Batik Lasem, Hasil Kombinasi Antara Dua Budaya

Batik Lasem, Hasil Kombinasi Antara Dua Budaya
info gambar utama

Batik merupakan kain tradisional khas Nusantara yang memiliki beragam jenis dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, bahkan sudah diakui dunia sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi oleh UNESCO.

Secara etimologi, kata batik berasal dari bahasa Jawa, yaitu ambhatik dari kata amba yang berarti lebas, luas, kain, dan titik yang berarti titik atau matik. Kemudian dari kata tersebut berkembanglah kata batik yang kini dikenal luas oleh masyarakat.

Tradisi membatik yang merupakan warisan nenek moyang kita ini, sampai sekarang masih dilestarikan dengan baik. Bahkan, kini batik sudah berganti menjadi tren yang modern sehingga dapat digunakan oleh segala usia mulai dari anak muda sampai orang tua dengan beragam model.

Dengan banyaknya jenis batik dari berbagai daerah di Indonesia tentunya membuat batik itu sendiri memiliki motif yang unik dan berbeda-beda. Tidak hanya itu, bahkan adapula batik paduan antar dua budaya, yakni Jawa dan Tionghoa.

Potret ragam batik lasem | Foto: tirto.id
info gambar

Dari paduan antar dua budaya tersebut terciptalah batik lasem. Nama lasem diambil dari salah satu daerah yang terletak di pantai utara Pulau Jawa, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Menurut sejarah, munculnya batik lasem melekat dengan Laksamana Cheng Ho. Daerah Lasem adalah tempat mendarat pertama kali pasukan Laksamana Cheng Ho dan juga daerah yang pertama kali kedatangan masyarakat Tionghoa.

Dalam Babad Lasem (Kisah Lasem) yang ditulis ulang oleh Raden Panji Kamzah pada tahun 1858, diceritakan bahwa Bi Nang Un selaku anak buah kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho dari Tionghoa bersama istrinya bernama Na Li Ni memutuskan untuk tinggal di Bonang, Jawa Tengah.

Dari babad tersebut diyakini kalau Na Li Ni adalah orang pertama yang membuat batik lasem bermotif burung hong, seruni, liong, mata uang, dan banji dengan warna merah ciri khas masyarakat Tionghoa.

Na Li Ni terus membatik hingga hasil batiknya dikirim ke seluruh wilayah Nusantara oleh para pedagang antar pulang menggunakan kapal.

Karena keunikan dari motifnya, pada awal abad ke-19, batik lasem mengalami masa jaya dengan berhasil diekspor hingga ke Thailand dan Suriname.

Motif dengan paduan budaya Tionghoa dan Jawa | Foto: instagram/batiklasemjawa
info gambar

Seiring berkembangnya zaman, batik lasem yang memiliki ciri khas warna mencolok, seperti merah, hijau botol, dan biru tua ini mulai mempunyai berbagai motif.

Motif yang ada pada batik lasem dominan dengan motif hewan yang dipadukan dengan motif tumbuh-tumbuhan khas Jawa.

Secara umum, batik ini memiliki dua motif utama, yakni motif Tionghoa dengan gambar burung hong, naga, ayam hutan, dan sebagainya, sedangkan motif non-Tionghoa bergambar sekar jagad, kendoro kendiri, kricak, grinsing, dan lainnya.

Dilansir dari inibaru.id, batik lasem memiliki empat jenit motif, yaitu motif burung hong, motif liong atau naga, motif gunung ringgit, dan motif kricak atau watu pecah.

Empat jenis motif batik lasem | Foto: inibaru.id
info gambar

Batik lasem juga dikenal sebagi batik tiga negeri karena memiliki tiga kali proses pewarnaan di tiga tempat berbeda. Warna merah di Lasem, biru di Pekalongan, dan Cokelat di Solo. Hal tersebut yang menjadi keunikan dari batik ini.

Untuk Kawan GNFI yang tertarik dengan keindahan dari batik ini, kalian perlu merogoh kocek sebesar Rp200 ribu hingga Rp6 juta untuk dapat memiliki selembar batik lasem.

Biasanya, harga ditentukan sesuai dengan motif yang ada dan tingkat kerumitan motif yang dibuat karena semakin rumit motifnya semakin mahal harga batik lasem.

Saat ini, ada sekitar 200 perajin batik lasem yang menjadikan profesi tersebut sebagai mata pencaharian, bahkan ada kampung batik lasem yang dibangun untuk untuk mendongkrak pamor Batik pesisir yang memiliki ciri khas warna merah darah ayam ini.

Referensi: tirto | pesonatravel

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dessy Astuti lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dessy Astuti.

Terima kasih telah membaca sampai di sini