Kerajaan Islam di Jawa; Kerajaan Banten

Kerajaan Islam di Jawa; Kerajaan Banten
info gambar utama

Pada tulisan sebelumnya yaitu Kerajaan Islam di Jawa; Kerajaan Cirebon, telah diulas secara singkat mengenai salah satu kerajaan Islam pertama di dataran pulau Jawa bagian barat yakni Kerajaan Cirebon. Kali ini akan diulas secara singkat mengenai kerajaan Islam yang berada di ujung barat pulau Jawa yang masih memiliki kaitan dengan Kerajaan Cirebon.

  1. Kerajaan Banten

Berdasarkan tulisan Sunda Kuno dalam cerita Parahyangan disebutkan nama Wahanten Girang, yang menurut para sejarawan adalah asal mula nama Banten yakni sebuah kota pelabuhan di ujung barat pulau Jawa. Dalam buku sejarah diceritakan bahwa penguasa Padjajaran menerima kehadiran Sunan Gunung Djati dengan senang hati dan tertarik untuk masuk Islam dengan memudahkan jalan penyebaran Islam di Banten. Langkah Sunan Gunung Djati selanjutnya yakni memegang kendali di Pelabuhan Sunda pada tahun 1527 M dan memperluas kekuasaannya di kota-kota pelabuhan.

Setelahnya, Sunan Gunung Djati kembali ke Cirebon dan kekuasaan di Banten diberikan kepada anaknya yakni Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin resmi menjadi Panembahan Banten pada tahun 1552 M pasca menikahi puteri Demak. Kemudian melanjutkan syiar Islam dari ayahnya ke daerah-daerah tetangga seperti Lampung dan Sumatera Selatan. Ketika kekuasaan Demak pindah ke Pajang, pada saat itu Banten menerdekakan diri dan Sultan Hasanuddin menjadi raja Islam pertama di Banten. Kepemimpinan Sultan Hasanuddin berakhir pada tahun 1570 M untuk digantikan anaknya yang bernama Yusuf hingga tahun 1580 M.

Benteng Speelwijk dibangun pada masa Kesultanan Bantenb yang berada di utara Kesultanan, yang memiliki fungsi untuk menahan serangan musuh dari laut. | Foto : hananam.com
info gambar

Sepeninggal Yusuf, estafet kepemimpinan beralih ke tangan anaknya yang bernama Muhammad yang saat itu masih belia. Selama Sultan Muhammad masih di bawah umur, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh kali (red. Arab: qadhi, jaksa agung) bersama empat pembesar lainnya. Raja Banten yang saleh ini melanjutkan serangan terhadap raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada 1596 M. Ia meninggalkan seorang anak yang berusia 5 bulan, Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir.

Karena usianya yang masih di bawa umur, Sultan Abdul Mafakhir berada di bawah 4 wali laki-laki dan 1 wali perempuan hingga pada tahun 1626 M ia baru mulai akhtif memegang kekuasaan. Namun, Sultan Abdul Mafakhir resmi menjadi pemimpin pada tahun 1638 M pasca mendapat gelar Sultan dari Makkah yang mana menjadi raja Banten dengan gelar sesungguhnya. Namun, beliau harus meninggalkan kekuasaannya pada tahun 1651 M karena meninggal dunia. Selanjutnya kekuasaan dipegang oleh anaknya yang bernama Abdul Fath atau Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masanya ini, beberapa kali terjadi peperangan dengan VOC Belanda, hal ini dikarenakan Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang yang anti Belanda. Sikapnya yang anti Belanda mendapat dukungan dari seorang alim berpengaruh, yaitu Syaikh Yusuf yang berasal dari Makassar. Hingga akhirnya peperangan berakhir dengan diadakannya perjanjian perdamaian antara Banten dengan Belanda pada tahun 1659. Jika sang ayah membenci Belanda, lain halnya anaknya yakni Abdul Kahar yang bergelar Sultan Haji lebih senang bekerjasama dengan Belanda.


Referensi : Sejarah Peradaban Islam Karya Badri Yatim

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Widhi Luthfi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Widhi Luthfi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini