Hampir Punah, Inilah Gulo Puan Kudapan Para Bangsawan Palembang

Hampir Punah, Inilah Gulo Puan Kudapan Para Bangsawan Palembang
info gambar utama

Ibu Kota Sumatra Selatan, Palembang, merupakan kota terbesar kedua di Sumatra setelah Medan. Tidak hanya terkenal dengan Jembatan Ampera, kota ini juga terkenal dengan kuliner khasnya, yaitu pempek.

Namun, tahukah Kawan GNFI bahwa ada pula kuliner khas Palembang yang dulunya sangat terkenal?

Sebenarnya, ada banyak kuliner khususnya kudapan di Palembang yang nikmat dan patut untuk dicicipi, di antaranya kue maksuba, gandus, dadar jiwo, kue delapan jam, dan masih banyak lagi.

Di antara kudapan tersebut, ada sebuah kudapan yang kini keberadaannya sudah mulai langka, yaitu gulo puan.

Gulo puan salah satu kudapan khas Palembang | Foto: Viva.co.id
info gambar

Konon, dahulu kala pada zaman kesultanan, kudapan dengan rasa manis ini adalah kudapan untuk para bangsawan dan warisan raja-raja Kesultanan Palembang Darussalam.

Seiring berkembangnya waktu, gulo puan juga menjadi kudapan khas bagi masyarakat Palembang.

Bahan utama gulo puan diolah dari susu kerbau rawa pedesaan yang berada di kawasan rawa-rawa Sumatra Selatan khususnya daerah Pampangan, Ogan Komering Ilir.

Dalam bahasa daerah Sumatera Selatan, gulo berarti gula susu dan puan berarti susu, maka sesuai bahan dasarnya, gulo puan berarti gula susu.

Proses pembuatan gulo puan memiliki kemiripan seperti memasak kue caramel. Bedanya, kue karamel menggunakan gula putih, sedangkan gulo puan meggunakan gula merah.

Dengan bahan berupa susu dan gula merah, gulo puan pun dimasak dengan api sedang selama kurang lebih lima jam.

Saat sedang dimasak, gulo puan harus selalu diaduk hingga menggumpal dan berwarna kecokelatan menyerupai abon sapi.

Cara pembuatan yang rumit dan memakan waktu yang lama, membuat kudapan yang gurih dan legit ini hanya dapat dinikmati oleh para bangsawan pada zaman itu.

Gulo puan memiliki tekstur yang lembut, berpasir, dan berwarna cokelat. Saat disantap, gulo puan memiliki rasa yang manis dan gurih seperti perpaduan antara caramel dan keju.

Biasanya, masyarakat Palembang menikmati gulo puan bersama dengan secangkir teh ataupun kopi.

Tidak hanya bersama secangkir minuman, gulo puan juga bisa dinikmati dengan cara berbeda, yaitu diapit dengan roti tawar seperti sandwich atau bisa juga dinikmati Bersama pisang goreng.

Sajian gulo puan bersama pisang goreng | Foto: Urban Id
info gambar

Namun sayangnya, kudapan gulo puan hanya dapat Kawan GNFI jumpai pada waktu-waktu tertentu saja, seperti saat salat Jumat di Masjid Agung Palembang dan Pasar 26 Ilir Palembang pada hari Sabtu dan Minggu.

Biasanya, gulo puan dijual oleh para pedagang kaki lima dengan harga yang cukup mahal, yaitu Rp100.000 untuk setiap kilogramnya. Hal tersebut cukup wajar jika dilihat dari keberadaan gulo puan yang sudah mulai susah untuk temui.

Dilansir dari Kompas.com, pembuatan gulo puan ini bergantung pada peternakan kerbau rawa di Pulo Layang. Pada 2015, terdapat sekitar 500 kerbau rawa di desa itu.

Saat musim hujan, produksi susu pun tinggi dengan setiap kerbau rawa yang menyusui dapat menghasilkan 1,5 hingga 2 liter susu.

Kondisi tersebut didorong oleh melimpahnya pakan saat rawa-rawa kembali tergenang. Namun, di musim kemarau, hasil susu turun karena rawa menyusut sehingga pakan juga berkurang.

Akibatnya, harga gulo puan lebih mahal saat kemarau, yaitu sekitar Rp70.000 per kilogram dan saat musim hujan, harga gulo puan di tingkat perajin Rp60.000 per kilogram.

Selain mengawetkan susu kerbau, usaha gulo puan juga menambah nilai jual susu kerbau yang hanya Rp15.000 sampai Rp20.000 per liter dalam bentuk segar.

Potret kerbau rawa Pampangan | Foto: mongabay.co.id
info gambar

Menurut penelitian, susu kerbau rawa di Sumatera Selatan mempunyai kandungan protein lebih tinggi daripada susu sapi pada umumnya. Kandungan protein inilah yang membuat susu kerbau rawa dapat diolah menjadi gulo puan.

Kini, bahan baku dari kudapan yang hanya dapat ditemui di Palembang ini sudah hamper punah. Pasalnya, kerbau rawa sebagai hewan asli Indonesia sudah semakin berkurang keberadaannya akibat kebakaran hutan pada tahun 2014-2015 lalu.

Dengan begitu, pembuatan gulo puan juga tidak dapat dilakukan setiap hari mengingat jumlah kerbau rawa Pampangan yang hampir punah.

Referensi: kompas | indonesia.go.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dessy Astuti lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dessy Astuti.

Terima kasih telah membaca sampai di sini