Bukan Ip Man Tapi Sabeni Jago Tanah Abang

Bukan Ip Man Tapi Sabeni Jago Tanah Abang
info gambar utama

"Kalo ade Sayuti jago Cengkareng

Ni ade lagi Sabeni jago Tenabang.

Muridnye banyak die dikenal orang,

Ngga pernah die bikin salah duluan…”

_Sabeni Jago Tenabang - dipopulerkan oleh Suhaeri Mufti dan M. Ali Sabeni_

Syair di atas merupakan penggalan dari lirik lagu yang dipopulerkan oleh seniman Betawi Suhaeri Mufti dan M. Ali Sabeni. Lagu itu menceritakan tentang seorang jawara silat Betawi yang bernama Sabeni bin Canam. Jika disimak sejarahnya, kisah Sabeni mirip seperti serial film Ip Man yang diperankan oleh Donnie Yen.

Sabeni berasal dari daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat (Tenabang dalam logat Betawi). Dia lahir dari pasangan Canam dan Piyah pada 1860. Di masa jayanya, Sabeni dikenal sebagai seorang jago silat yang tak terkalahkan. Banyak lawan yang sudah dijatuhkannya. Namanya mencuat ketika dia berhasil mengalahkan seorang jawara dari daerah Kemayoran. Dalam laman resmi Sabenitenabang.com, diceritakan bahwa Sabeni mengalahkan jawara yang dijuluki Macan Kemayoran itu, saat hendak melamar putrinya sebagai istri.

Sebagai seorang jawara, namanya juga disegani oleh pemerintah kolonial waktu itu. Aktivitasnya mengajarkan ilmu bela diri kepada anak-anak muda Tenabang dan sekitarnya, membuat kompeni khawatir. Terlebih, saat Sabeni berhasil mengalahkan seorang jawara yang dikirimkan pemerintah kolonial untuk melawannya.

Komandan Kepolisian Hindia-Belanda (Hoofd Beurau Van Politie) waktu itu pun gusar. Dia kehabisan akal, hingga memutuskan mengimpor langsung petinju dari negerinya dan seorang ahli kuntau (kungfu) dari Cina untuk diadu dengan Sabeni.

Pertandingan itu diselenggarakan di Prince Park yang kini dikenal dengan daerah Taman Sari, Jakarta Barat. Disaksikan ratusan warga Betawi—terutama yang berasal dari Tenabang—dan sejumlah warga Belanda serta Cina. Bukannya kalah, Sabeni lagi-lagi berhasil membuat keok dua petarung bawaan Belanda tersebut. Alhasil, Komandan Polisi Belanda semakin gusar. Sebaliknya, nama Sabeni semakin harum dan menambah kekaguman masyarakat Betawi padanya.

Karena semakin besarnya kekaguman masyarakat kepada Sabeni, "oleh penjajah Belanda akhirnya Sabeni diangkat menjadi seorang Serehan (sebutan untuk kepala kampung) di Tenabang,’’ dikutip dari laman www.sabenitenabang.com.

Diadu Pesumo Pada Usia 80 Tahun

Kisah heroik Sabeni tidak berhenti sampai di situ. Dalam artikel Sabeni Jago Silat Tanah Abang dan Etik Silat Betawi karya Abdul Chaer di Sejarahjakarta.com, pada masa penjajahan Jepang Sabeni juga terlibat dengan pertarungan yang melegenda.

Mulanya, Syafei—anak Sabeni—yang ikut dalam barisan Heiho (pasukan bantuan tentara Jepang), melarikan diri dari kesatuannya di Surabaya. Dia tidak tahan dengan perlakuan Jepang terhadap pasukan Heiho. Jepang marah dan berusaha mencarinya. Namun, dicari ke mana pun, Syafei tak juga ditemukan.

Karena tak kunjung ketemu, Kempetai (Polisi Jepang) akhirnya menahan Sabeni dengan janji, jika mereka berhasil menangkap Syafei, Sabeni akan dibebaskan. Namun, meski sudah menahan sang ayah, Syafei tetap saja tidak berhasil ditangkap. Sementara Sabeni ditahan, Komandan Kempetai mendengar informasi soal kehebatan ilmu bela dirinya.

Mendapat informasi itu, muncul ide untuk mengadu Sabeni dengan jago-jago pilihannya. "Komandan Kempetai mengutarakan maksudnya. Sabeni yang pada waktu itu telah berusia 80 tahun, bertanya, apa yang akan diperoleh apabila ia menang atau kalah," tulis Abdul Chaer.

Praktisi seni beladiri Maen Pukulan Sabeni Tenabang asuhan Zul Bahtiar dalam Penetapan Warisan Budaya Takbenda 2019 di Istora Senayan, Jakarta (8/10/2020) | Dok. Sabeni Tenabang
info gambar

Kemudian Komandan Kempetai menjawab, jika menang, Sabeni akan dibebaskan, tetapi jika kalah, dia akan tetap ditahan. Sabeni setuju dengan perjanjian itu dan meminta pertandingan disaksikan oleh keluarga serta teman-temannya dari Tenabang. Komandan Kempetai itu pun setuju dengan syarat yang diajukan Sabeni.

Tiba pada hari dilaksanakannya pertandingan, ternyata Sabeni harus melawan dua orang. Seorang karateka dan satunya lagi seorang pesumo yang bertubuh besar. Pantang mundur, Sabeni maju bersiap menghadapi kedua lawannya.

Pertama, Sabeni melawan karateka. "Dengan mengucap Bismillah, Sabeni maju ke depan. Namun, sebelum sempat pasang kuda-kuda, si karateka sudah menyerang," tulis Chaer dalam artikelnya. Mendapat serangan tiba-tiba, Sabeni berkelit dengan jurusnya yang terkenal, Kelabang Nyebrang.

Mendapat sambutan yang di luar dugaan, si karateka ganti kaget dan tak siap menghadapi jurus Sabeni yang terkenal itu. Tak selang lama, dia terkapar dan tak sanggup bangun lagi. "Sabeni mengucap syukur kepada Allah atas kemenangannya dengan mengucap Alhamdulillah."

Usai membuat jatuh lawan pertamanya, Sabeni siap menghadapi si pesumo, lawan keduanya. Sebelum memulai, Sabeni kembali berdoa, pasrah kepada Allah. Sementara lawannya, bersiap dengan memasang kuda-kuda. Kedua kaki dan tangannya maju ke depan sambil direntangkan lebar-lebar. Melihat situasi tersebut, Sabeni mencari cara menghadapinya.

Setelah dia mendapatkan cara mengalahkan si pesumo berbadan besar itu. "…sambil mengucap Bismillah dengan cepat dia melompat ke atas lutut si pesumo yang lagi ngeden. Lutut si sumo dijadikan landasan untuk melompat salto ke atas. Tenaga dalam diempos. Begitu turun dari salto, tangan kanannya menyambar ubun-ubun si sumo; dan ‘pletak!’. Si sumo pun terkapar, tidak bisa bangun lagi. Entah karena pingsan atau karena keberatan badan," tulis Abdul Chaer, penulis buku Tenabang Tempo Dulu itu.

Melihat kehebatan Sabeni, Komandan Kempetai itu berdecak kagum dan sesuai perjanjian dia dibebaskan dari tahanan. Sekembalinya dia ke rumahnya di Gang Kubur Lama (sekarang Jalan Sabeni), Tenabang, Sabeni tetap mengajar beladiri ke anak-anak muda daerah Tenabang dan sekitarnya.

Dalam laman Sabenitenabang.com dituliskan, Sabeni wafat pada usia 85 tahun, tepat dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Sepeninggalnya, ilmu silatnya diwariskan kepada anaknya M. Ali bin Sabeni, kemudian sekarang diwariskan kembali kepada cucunya Zul Bahtiar bin Ali bin Sabeni.

Zul Bahtiar yang akrab disapa Bang Zul sedang memberikan nasihat kepada murid-muridnya di sela-sela latihan rutin perguruannya setiap Senin dan Jumat malam |Dok. Sabeni Tenabang
info gambar

Menurut penuturan Zul Bahtiar, cucu Sabeni, meski semasa hidupnya dia adalah seorang pendekar yang tidak terkalahkan, engkong Sabeni (kakek dalam bahasa Betawi) selalu berusaha menolak jika ditantang bertarung. Bukan karena takut kalah, tetapi karena takut mencelakakan orang lain.

"Kong Sabeni itu, kalo ditantang orang biasenyenolak. Tapi kalo udeh gak bisa ditolak, biasanyedie tanya tuh orang, mau jatuh di mane," tutur Zul dengan logat Betawinya yang kental, disela-sela latihan rutin perguruannya.

Selain ilmu silatnya, banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah Engkong Sabeni. Walaupun disegani banyak orang, dia tidak pernah memanfaatkan ilmunya untuk menindas orang lemah. Sebaliknya, dia malah membantu dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Seperti lanjutan dari lirik lagunya,’’… jadi jago Sabeni bukan bulanan. Die suka ngasih ilmu dan pelajaran. Bukan tukang bunuh atau jago bayaran, tapi terkenal die punye kesabaran.’’

Sumber: Sejarahjakarta.com | Sabenitenabang.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini