Hoegeng Iman Santoso, Polisi Merakyat yang Anti Korupsi

Hoegeng Iman Santoso, Polisi Merakyat yang Anti Korupsi
info gambar utama

''Hanya ada tiga polisi yang tak bisa disuap: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng,'' seperti itulah ungkapan terkenal yang diberikan oleh mantan Presiden Republik Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, untuk menyinggung kualitas kepolisian di Indonesia. Lewat anekdotnya itu, seakan tidak ada lagi wujud polisi manusia yang paling jujur ketimbang Hoegeng.

Hoegeng (EYD: Hugeng) Iman Santoso adalah salah satu tokoh kepolisian Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) ke-5 pada periode 1968-1971. Namanya mahsyur karena dikenal memiliki pribadi yang cakap dalam bertugas, baik di mata masyarakat dan rekannya, serta memiliki catatan bersih ketika berkarier di kepolisian.

Bersama Jenderal Nasution, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Perdana Menteri Burhanudiin Harahap serta Mohammad Natsir, Hoegeng termasuk dalam tokoh yang menerbitkan Petisi 50 pada 5 Mei 1980. Saat itu petisi tersebut diterbitkan sebagai ungkapan keprihatinan dan mengkritisi pemerintahan Suharto.

Hoegeng sendiri lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 14 Oktober 1921 dari keluarga sederhana, sekalipun ayahnya, Sukaryo Atmojo, termasuk golongan ambtenaar (pegawai pamong praja) di pemerintahan Hindia Belanda. Sebagai pejabat, Sukaryo bekerja sebagai kepala jaksa di daerah Pekalongan.

Potret Hoegeng semasa kecil.
info gambar

Tamat dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setara Sekolah Menengah Pertama, SMP) di Pekalongan pada 1934, Hoegeng melanjutkan pendidikan di Algemeene Middelbare School (setara Sekolah Menengah Atas, SMA) di Yogyakarta dengan mengambil jurusan Westers Klasiek atau Sastra Barat.

Menjadi polisi memang cita-cita Hoegeng sejak kecil. Sebagai seorang kepala jaksa, ayahnya mempunyai banyak kerabat dari korps kepolisian. Salah satu dari banyaknya kerabat ayahnya ialah Komisaris Polisi Ating Natadikusumah yang sering datang ngobrol ke rumahnya pada sore hari.

Berkat Pak Ating inilah si kecil Hoegeng acap kali mendengar cerita tentang pekerjaan-pekerjaan polisi. Antara lain Pak Ating sering berkata: ''Bila jadi polisi, kamu akan dekat dengan rakyat, sebab rakyat yang kesusahan selalu minta tolong pada polisi.''

Dari situ, demi menjadi perwira polisi, Hoegeng—yang saat itu berusia 19 tahun—akhirnya lanjut ke jenjang kuliah ilmu hukum di Rechts Hoge School (RHS) Batavia pada 1940. Menimba ilmu di RHS adalah salah satu syarat untuk masuk ke sekolah komisaris polisi di Sukabumi.

Sewaktu pendudukan Jepang, ia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Setelah itu ia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang, Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.

Pada 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatra Utara (1956) di Medan.

Jabatannya naik cepat di akhir tahun 50-an dan awal 60-an. Pada 1959, Hoegeng mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966.

Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Di situ, ia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966. Terakhir, pada 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kapolri menggantikan Sucipto Joyodiharjo.

Sosok Sederhana yang Emoh Disogok

''Memang baik menjadi orang penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik,'' itulah yang diutarakan Hoegeng tentang pentingnya menjadi pribadi yang baik, dikutip GNFI dari buku biografi berjudul Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa yang ditulis Aris Santoso dkk. Sikap itu sudah mengakar pada Hoegeng bahkan sejak sebelum menjadi Kapolri.

Sifat lurus Hoegeng sudah ada sejak kariernya di jenjang bawah kepolisian. Harga diri Hoegeng sebagai pejabat negara pernah diuji tatkala dirinya ditugaskan di Medan. Pada 1956, Hoegeng diangkat menjadi Kadit Reskrim Kantor Polisi Provinsi Sumatra Utara.

''Saya ditakdirkan bertugas di wilayah kerja yang dimitoskan sebagai wilayah 'test case' yang berat di Indonesia itu,'' kenang Hoegeng dalam otobiografi Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan yang disusun Abrar Yusra dan Ramadhan K.H.

Wilayah Sumatra Utara saat itu tergolong rawan. Tindakan kriminal seperti penyelundupan, korupsi, dan perjudian sedang marak-maraknya. Untuk membereskan itulah Jaksa Agung Suprapto menugaskan Hoegeng dan segera disetujui oleh Kepala Kepolisian Negara Sukanto.

Sesampainya di Medan, seorang Tionghoa menawarkan rumah dan mobil pribadi untuk Hoegeng. Dengan secara baik-baik penolakan dilakukan Hoegeng yang membuat orang Tionghoa tersebut pulang dengan keheranan.

Dua bulan berselang, Hoegeng dikejutkan dengan banyaknya barang serba mahal di rumah dinasnya di Jalan Rivai 26. Hoegeng marah dan meminta anggota kepolisian membantu kuli mengeluarkan perabotan mewah tersebut dan meletakkannya di pinggir jalan. Karena barang-barang sogokan masih mengisi rumah dinasnya, untuk beberapa hari Hoegeng dan keluarganya pun pindah ke hotel.

Hoegeng dan istrinya, Merry.
info gambar

Rekan Hoegeng di Petisi 50, Chris Siner Key Timu menceritakan kesan-kesan yang baik untuk sang tokoh bangsa ini. Di samping menekankan kedisiplinan soal waktu, Timu juga menuturkan sejumlah cerita yang tidak biasa, salah satunya ketika Hoegeng meminta Ibu Meriyati "Merry" Roeslani—istri Hoegeng—menutup toko kembang yang berada di Jalan Cikini.

Permintaan menutup toko kembang istrinya itu disampaikan Hoegeng seusai dilantik menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi oleh Presiden Sukarno pada 1960. Hoegeng tidak ingin koleganya di imigrasi memborong bunga untuk mendapatkan fasilitas tertentu. Selain itu, Hoegeng juga tidak ingin toko-toko kembang lain menjadi kurang pesanan karena orang-orang imigrasi akan memesan bunga di toko bunga istrinya.

''Untuk tambahan (pendapatan) kita, saya membuka toko kembang di garasi. Lumayan income-nya untuk hidup kami. Waktu bapak mendapatkan tugas baru, saya harus berhenti karena bapak bilang kamu berhenti saja,'' jelas Merry mengenai permintaan menutup toko bunga tersebut.

Saat diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969 sebutannya menjadi Kapolri) pada 5 Mei 1968, Hoegeng menolak tinggal di rumah dinas Kapolri di Jalan Pattimura. Rumah dinas memang bersifat sementara karena hanya bisa dipakai ketika masih menjadi penjabat sampai pensiun, maka dari itulah Hoegeng menolak keistimewaan itu.

Artikel koran berbahasa Belanda tentang Hoegeng.
info gambar

Tidak membeli rumah, Hoegeng justru tetap tinggal di rumah sewaannya di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Selain menolak fasilitas, Hoegeng juga berulang kali enggan menerima gratifikasi terkait dengan jabatan.

Putra Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng atau disapa Didit, pernah menjadi saksi penolakan hadiah yang dilakukan ayahnya. Suatu ketika sepulang sekolah, Didit terkejut melihat dua unit motor yang masih terbungkus plastik yang diletakkan di dekat kamarnya. Didit tahu karakteristik ayahnya yang lurus, meskipun begitu ia memiliki harapan kecil hadiah itu diterima.

''Semoga Papi tidak menolak. Mungkin kalau motor boleh. Daripada tidak dapat mobil, Lambretta pun lumayan,'' kata Didit yang sedikit berharap dua motor skuter sejenis Vespa itu diterima ayahnya, dikutip GNFI dari Mata Air Keteladanan karya Yudi Latif. Namun, harapan Didit buyar sepulangnya Hoegeng dari kantor pada sore hari. Mengintip dari lubang angin kamarnya, Didit menyaksikan sang ayah memanggil ajudan begitu melihat dua motor Lambretta tersebut.

Setelah melihat jam tangan, Hoegeng pun berkata, ''Ini masih pukul 16.00, masih ada orang di kantornya. Tolong motor ini dikembalikan lagi ke pengirimnya.'' Didit yang mendengar perintah ayahnya hanya bisa mengelus dada sambil bergumam dalam hati, ''Ya, pahit lagi''.

Tak Segan Turun Lapangan

Sebagai pejabat tingkat tinggi di kepolisian, Hoegeng pantang terlalu sering-sering duduk manis di balik meja kantornya. Hoegeng sering turun ke lapangan meninjau kasus-kasus yang ada.

Sineas Australia, Michael Rubbo dari National Film Board of Canada pernah mendokumentasikan aktivitas Hoegeng lewat film dokumenter berjudul Wet Earth, Warm People from Jakarta pada 1971. Dalam film dokumenter tersebut Hoegeng tampak tak segan keluar dari mobilnya untuk menertibkan lalu lintas. Selain itu, Hoegeng juga tampak terlihat ramah dan pandai berbahasa Inggris ketika berbincang dengan Rubbo.

Hoegeng hendak menertibkan pengemudi becak di jalanan Jakarta.
info gambar

Hoegeng selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00 WIB. Sebenarnya Hoegeng bisa sampai lebih pagi lagi ke kantor, tetapi ia memilih jalan ke rute yang berbeda dan berputar dahulu dari arah rumahnya di Menteng. Hal ini dilakukan karena Hoegeng ingin memantau situasi lalu lintas dan kesiapan aparat kepolisian di jalan.

Saat suasana ramai seperti pada waktu Lebaran, malam Tahun Baru, Natal dan yang lainnya, Hoegeng akan terjun langsung mengecek kesiapan aparat di lapangan. Ia ingin memastikan kehadiran para petugas polisi di lapangan adalah untuk memberi rasa aman kepada masyarakat, bukan menimbulkan rasa takut.

Berbekal seringnya turun ke lapangan, Hoegeng kerap menemui banyaknya kecelakaan yang mengakibatkan kematian dari para pemotor. Dari situ Hoegeng merintis kebijakan pemotor wajib memakai helm.

Mencetuskan pemakaian helm memicu pro dan kontra baik di pemerintahan dan masyarakat. Bagi masyarakat, memakai topi dan peci ketika naik motor sudah jadi kebiasaan, belum lagi mewajibkan memakai helm dinilai menjadi beban karena harus mengeluarkan uang untuk membelinya. Sementara itu di mata pemerintah, polisi seharusnya melaksanakan hukum, bukan membuat hukum.

Hanya saja, helmisasi tetap berjalan bahkan langgeng hingga kini. Karena menurut pertimbangan Hoegeng sebagai Kapolri, keselamatan rakyat lebih penting ketimbang perdebatan mengenai legalitas. ''Bukan apa-apa. Aspal lebih keras dari kepala,'' kata Hoegeng kala itu.

Meskipun jabatannya tinggi, Hoegeng tak segan turun langsung ke lapangan untuk melakukan investigasi.
info gambar

Begitu juga ketika membongkar sindikat pengedar narkotika, Hoegeng juga turun tangan dengan mencoba menyamar demi menangkap para pelaku. ''Itulah pekerjaan gila yang pernah saya lakukan ketika saya menjabat kepala polisi, menyamar jadi hippies dan bergaul di antara para pecandu narkotik,'' tutur Hoegeng kepada wartawati Tempo Leila S. Chudori pada 22 Agustus 1992, yang dimuat dalam jilid ketiga Memoar Senarai Kiprah Sejarah.

Hoegeng terpaksa menyamar. Peredaran narkotika di kalangan anak muda telah sampai tahap yang meresahkan. Hoegeng tentu sadar tindakannya penuh risiko dan membahayakan diri. ''Ini bukan adegan televisi. Saya gemar menyamar untuk mengetahui persoalan-persoalan yang sesungguhnya,'' kata Hoegeng.

Infografik Hoegeng.
info gambar

Menolak Menjadi Diplomat

Hoegeng yang lurus tidak disukai oleh aparat dan pejabat bermental busuk. Pada masa ia menjabat sebagai Kapolri, banyak kasus-kasus korupsi, penyelundupan, dan kriminal muncul yang diduga melibatkan orang-orang dekat pemimpin Orde Baru, Presiden Suharto.

Contohnya pada 1969, Hoegeng berhasil membongkar penyelundupan mobil mewah yang dilakukan kelompok Robby Cahyadi. Robby Cahyadi sendiri dikenal sebagai penyelundup kelas kakap yang punya koneksi dengan pejabat teras dalam pemerintahan.

Hoegeng
info gambar

Setahun berselang, Hoegeng juga turun tangan menguak kasus pemerkosaan gadis berusia 18 tahun bernama Sumarijem alis Sum Kuning yang melibatkan anak petinggi di kota Yogyakarta. Anehnya, tidak lama kemudian, pada 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan dengan alasan peremajaan. Ada pun pengganti Hoegeng ialah Mohamad Hasan yang merupakan senior Hoegeng.

Suharto kemudian menawarkan pekerjaan sebagai duta besar (dubes) Indonesia di Belgia. Hanya saja tawaran itu ditolak halus oleh Hoegeng.

''Loh bagaimana, Mas, mengenai soal Dubes itu?'' tanya Suharto. Hoegeng pun menjawab tidak bersedia menjadi dubes, tetapi tidak akan menolak bila ditugaskan di Indonesia. Suharto berusaha menegaskan tidak ada pekerjaan di Indonesia bagi Hoegeng. Mendengar itu Hoegeng pun menjawab: ''Kalau begitu, saya keluar saja.'' Suharto pun terdiam mendengar jawaban itu.

Hoegeng tidak gila harta. Seusai menyerahkan jabatannya ia langsung mengembalikan semua barang inventaris Markas Besar Kepolisian (Mabak), kecuali rumah. Mulai dari walkie talkie sampai mobil dinas ia serahkan ke Mabak. "Naik Mercedes, bus kotanya Ali Sadikin," ujar Hoegeng menjelaskan ia kemana-mana menggunakan transportasi umum sesudah menanggalkan jabatan Kapolri.

Bernyanyi dan Melukis untuk Menyambung Hidup

Selesai menjadi Kapolri, Hoegeng kemudian fokus di dunia musik bersama grup musik akustik dengan nuansa pantai, The Hawaiian Seniors. The Hawaiian Seniors terdiri atas Suyoso Karsono (vokal), Hoegeng Iman Santoso (vokal, ukulele), George De Fretes (Hawaiian guitar), Rooselani Hoegeng (vokal), Mang Udel (ukulele), Bram Titaley (vokal), dan Ferry Berhitoe (gitar).

Sebelum pensiun, pada 1968, Hoegeng sering muncul di stasiun televisi TVRI dalam acara Irama Lautan Teduh. Seringnya ia menghibur lewat tembang-tembang teduh musik pantai membuat Hoegeng dijuluki The Singing General atau Jenderal yang Bernyanyi.

The Hawaiian Seniors dari kiri Ibu Rooselani Hoegeng,George De Fretes dan Pak Hoegeng Imam Santoso (Foto TVRI)
info gambar

Selain bermusik, Hoegeng juga gemar melukis. Setelah dilarang tampil di TV oleh pemerintah karena terlibat dalam Petisi 50, Hoegeng menafkahi keluarganya lewat menjual lukisannya.

Maklum, uang pensiun Hoegeng hingga tahun 2001 hanya Rp 10 ribu saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp 7.500. Baru pada 2001, ada perubahan gaji pensiunan di mana gaji pensiun Hoegeng yang Rp 10.000 menjadi Rp 1.170.000.

Hoegeng melukis
info gambar

Akibat penyakit stroke yang dideritanya, polisi yang mempunyai integritas tinggi dan bersih itu berpulang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Salemba, Jakarta Pusat, pada Rabu, 14 Juli 2004. Jenazah Hoegeng kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Parung, Bogor, Jawa Barat, berdekatan dengan kerabatnya yang telah meninggal.

Setelah wafat, nama Hoegeng tetap diagung-agungkan terutama oleh orang-orang dari kesatuan Polri. Salah satu contohnya pada 2018, ada sebuah Rumah Sakit (RS) Bhayangkara di Mamuju, Sulawesi Barat, menambahkan nama Hoegeng Iman Santoso sebagai bentuk penghormatan.

"Kenapa Hoegeng Iman Santoso? Karena ini adalah pilihan daripada pimpinan Polri, karena dia adalah sosok Kapolri ke-5 kebanggaan kita semua, Kapolri yang dikenal baik dan jujur," jelas Brigjen. Pol. Baharudin Djafar dikutip GNFI dari Tribun Timur.

Tidak hanya di Mamuju, RS Bhayangkara dengan nama Hoegeng Iman Santoso juga bisa ditemui di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel). Pada Februari 2020, RS Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin meraih peringkat pertama sebagai RS Bhayangkara terbaik se-jajaran Polri.

Begitulah kisah Hoegeng Iman Santoso yang masih tetap dikenang hingga kini. Semasa hidupnya ia selalu berpesan agar polisi jangan bisa dibeli siapa pun. Polisi adalah abdi negara yang mengabdi untuk rakyat. Beliau tidak pernah menerima suap sepeser pun. Hoegeng, ia adalah sosok tanpa kenal kompromi dengan kejahatan dan selalu bekerja keras memberantasnya apa pun risikonya.

--

Referensi: Liputan6.com | Persi.or.id | Makassar.Tribunnews.com | Aris Santoso dkk, "Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa" | K.H. Ramadhan dan Abrar Yusra,"Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan" |

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini