Sejarah Hari Ini (12 Juli 1975) - Pertama Kalinya Monas Dibuka untuk Umum

Sejarah Hari Ini (12 Juli 1975) - Pertama Kalinya Monas Dibuka untuk Umum
info gambar utama

Menyusul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia (RI) oleh pemerintah Belanda pada akhir bulan Desember 1949, Presiden Sukarno mulai merencanakan pembangunan sebuah monumen nasional (Monas) yang setara dengan Menara Eiffel di lapangan tepat di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada tahun 1950-an.

''Presiden Sukarno sudah memikirkan membangun sesuatu yang monumental seperti Menara Eiffel (Paris),'' ungkap pemerhati sejarah Jakarta, Adolf Heuken, lewat buku Medan Merdeka: Jantung Ibukota RI.

Pembangunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi penerus bangsa.

Tugu Monas diarsiteki Sudarsono dan Frederich Silaban dengan konsultan Ir. Rooseno.

Potret proses pembangunan Monumen Nasional pada 1965
info gambar

Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden Sukarno.

Sesuai dengan dambaan Sukarno, Monas berbentuk menyerupai lingga dan yoni yang bermakna kesuburan.

Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk.

Silaban menolak merancang bangunan yang lebih kecil dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik.

Sukarno kemudian meminta Sudarsono untuk melanjutkan rancangan itu.

Sudarsono lalu memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu, berikut uraian penjelasannya:

  • Pelataran cawan memberikan pemandangan bagi pengunjung dari ketinggian 17 meter dari permukaan tanah.
  • Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 meter, sedangkan rentang tinggi antara ruang museum sejarah ke dasar cawan adalah 8 m (3 meter di bawah tanah ditambah 5 meter tangga menuju dasar cawan).
  • Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45 x 45 meter, semuanya merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945)

Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektare.

Pembangunan tahap akhir Monas. Tampak mahkota lidah api berwarna emasnya sudah rampung dikerjakan.
info gambar

Lapangan Merdeka yang dulunya bernama Stadion/Lapangan Ikada disterilkan dari segala macam bangunan.

Kantor Besar Kepolisian, Stadion Persija Jakarta, dan Kantor Telepon dipindahkan ke tempat lain.

Dana pemindahan bangunan di Lapangan Merdeka dan pembangunan Monas berasal dari sumbangan masyarakat, sumbangan pengusaha, sumbangan ekspor kopra, dan sumbangan karcis bioskop.

''Tidak saya bangunkan dengan satu sen pun daripada budget negara!'' kata Sukarno.

Sepanjang November 1961 - Januari 1962 misalnya, tercatat 15 bioskop di tanah air yang menyumbang Rp 49.193.200,01.

Bioskop Parepare, Sulawesi Selatan, contohnya menyumbang Rp 7.700,60; bioskop Watampone, Sulawesi Selatan, Rp 1.364,20; dan bioskop Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rp 884.528,85.

Yang paling mencolok dan ikonis dari bangunan setinggi 132 meter ini ialah ornamen lidah api berwarna emas di bagian pucuknya.

Lidah api dengan diameter 6 meter tersebut terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton yang dilapisi emas 35 kilogram.

Dari situ jika dilihat sepintas, bentuk Monas tampak menyerupai sebatang obor dengan api yang tengah berkobar.

Emas di puncak Monas sendiri merupakan sumbangan pengusaha Aceh, Teuku Markam.

Monas sekitar tahun 70-80-an.
info gambar

Pada 1972, total biaya pembangunan Tugu Monas mencapai Rp 358.328.107,57.

Menurut sejumlah sumber disebutkan Monas dibuka untuk umum oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin dan Presiden RI kedua, Suharto, pada 12 Juli 1975.

Kawasan Monas dibuka untuk umum melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin Nomor Cb.11/1/57/72 tanggal 18 Maret 1972.

Saat itu, Ali Sadikin hanya membolehkan rombongan/organisasi atau murid sekolah/mahasiswa ke ruang tenang dan ruang museum di mana setiap pengunjung dikenai tarif Rp 100.

Pada masa Orde Baru, pembangunan lapangan monas kian marak.

Bila kita melihat foto-foto lama, tampak tenda-tenda, warung pedagang kaki lima, taksi, bajaj, dan bus menyesaki area lapangan monas.

Transportasi umum bajaj terlihat sedang mangkal di depan Monas.
info gambar

Bahkan area lapangan Monas seringkali dijadikan lahan menggelar event balapan bertaraf nasional pada tahun 80 sampai 90-an, seperti balapan gokart dan motor.

Keruntuhan Orde Baru melahirkan kebiasaan baru warga, yaitu berdemonstrasi di depan Istana Merdeka, kantor dan tempat tinggal Presiden.

Maraknya demonstrasi mengkhawatirkan Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta periode 1997–2007.

Imbasnya, Sutiyoso kemudian memagari lapangan Monas untuk menjaga wilayah tersebut dari kerusakan.

Kendaraan bermotor tak bisa lagi melintasi jalan diagonal, sementara aspal jalan di area itu juga diubah konblok untuk menyokong kebutuhan pejalan kaki.

Menurut Heuken, efek samping dari tindakan itu merupakan hal yang baik karena lapangan Monas menjadi lebih bersih dan asri karena ditanami berbagai jenis pepohonan yang memanjakan pengunjung.

Kini Monas menjadi salah satu destinasi wisata di Jakarta, baik itu untuk turis lokal maupun asing.

Banyaknya pohon yang ditanam di area lapangan monas membuat tempat ini menjadi paru-paru kota ibu kota Jakarta.

Referensi: Kompas.com | Gridoto.com | Adolf Heuken, "Medan Merdeka: Jantung Ibukota RI" | Nunung Marzuki, "Mengenal Lebih Dekat: Bangunan Bersejarah Indonesia" | Wieke Dwiharti, "Jakarta Panduan Wisata Tanpa Mal"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini