Ujungberung Rebels, ‘’Pemberontak’’ dengan Senjata Musik Metal Terbesar di Indonesia

Ujungberung Rebels, ‘’Pemberontak’’ dengan Senjata Musik Metal Terbesar di Indonesia
info gambar utama

Ujungberung kerap dijadikan anekdot sebagai tempat yang sangat jauh di ujung dunia. Beberapa orang yang bertanya kepada saya, ‘’Asal dari Bandung-nya di mana?’’, lalu saya jawab, ‘’Ujungberung’’, tak sedikit dari mereka terkejut.

‘’Ternyata memang benar ada ya daerah Ujungberung?’’

Saya tahu, itu bukan dalam rangka sarkas. Sering juga saya tergelak dengan komentar dan tanggapan mereka, sambil membalas dengan nada lebih sarkas, ‘’Ada kok di peta!’’

Tentu itu juga hanya gurauan.

Jika dibandingkan dengan Dago, Braga, dan Lembang, Ujungberung memang kalah pamor. Namun siapa sangka ternyata Ujungberung lebih pamor di mata internasional. Bagi segelintir orang, jika saya menyebut Burgerkill, Jasad, dan Ujungberung Rebels, seketika mereka akan paham.

Sebut juga salah satu festival musik cadas terbesar di Asia Tenggara seperti Bandung Berisik, maka mereka sangat mengenal dengan baik wilayah Ujungberung.

Ya. Ujungberung tak bisa dilepaskan dengan perkembangan budaya metal dan pergerakan komunitas underground di Kota Bandung, bahkan di Indonesia. Komunitas yang sudah melegenda dan dikenal mereka adalah Ujungberung Rebels yang sudah menghasilkan banyak nama band cadas yang memiliki pengaruh sangat besar di kalangan komunitasnya.

Belakangan, pada Maret 2020, Burgerkill, band cadas yang meniti karir dari Ujungberung sejak 1995 silam itu dinobatkan sebagai salah satu band metal terbaik sepanjang masa versi majalah Metal Hammer UK.

Burgerkill menempati posisi ke-14 dan mengungguli Motorhead yang ada di urutan ke-16, Dream Theater urutan ke-19, serta Lamb of God urutan ke -20.

Baca Juga: Burgerkill Dinobatkan Sebagai Band Metal Terbaik Sepanjang Masa

Burgerkill adalah salah satu band ‘’berisik’’ yang mampu meniti karir hingga internasional sampai dua dekade lebih. Sebelum Burgerkill, ternyata Ujungberung Rebels sudah konsisten ‘’memasok’’ band-band metal di Indonesia sejak lebih dari tiga dekade lalu.

Berawal dari Suka, Cinta, Kemudian Berkarya

Musik Metal Indonesia
info gambar

Saya bilang para pecinta musik underground ini benar-benar berkarya secara ‘’underground’’, namun dalam artian yang baik. Sejak tahun 1997 menjadi masyarakat Kecamatan Ujungberung, saya tidak pernah menemukan simbol-simbol musik cadas di sini. Kesan ‘’gelap’’ pun tidak pernah terasa.

Namun siapa sangka terdapat tiga studio yang cukup eksis bagi komunitas pecinta musik metal yang kerap menjadi tempat berkreasi. Dari yang awalnya hanya sekadar nongkrong, ngopi, berbagi info musik metal, melantunkan musik dengan gitar, sampai rekaman.

Sebut saja Pieces Music Studio, Extend Music Studio, dan Rooms Music Studio.

Sejak demam Guns N Roses dan Metallica mengguncang Indonesia, anak muda yang sering nongkrong di Ujungberung diketahui memberikan respons secara langsung. Dari yang tadinya hanya menyanyikan lagu-lagu dari grup favorit mereka, memasuki tahun 1993 sejumlah anak muda Ujungberung memberanikan diri untuk membentuk band metal sendiri.

Pada tahun tersebut, studio pertama lahir yang disebut Studio Palapa. Betapa bahagianya mereka memliki satu tempat yang layak dan profesional untuk bisa nge-band dan menghayati lagu-lagu dari grup favorit mereka.

Di sini pula cikal bakal kehadiran Burgerkill, Jasad, dan Forgotten yang sampai tercium kehadirannya di kawasan Asia dan Australia.

Berani Lapar, Tidak Menghamba Pada Industri

Band Musik Metal Indonesia
info gambar

Dikisahkan Pikiran Rakyat, dari Studio Palapa para anak muda itu mampu merilis beberapa kaset metal pertama di Indonesia. Hingga tahun 1995, komunitas mereka menyebar di Kota Bandung dan diketahui mampu mengumpulkan massa hingga 3.000 orang.

Untuk mempererat dan memperkuat kesolidan di antara mereka, akhirnya mereka mulai untuk mengamunisi diri mereka sendiri dengan membuat semacam media berbagi antarkomunitas dan interkomunitas musik metal. Bentunya zine dengan nama ‘’Revograms’’.

Revogram bahkan disebut-sebut sebagai zine independen pertama di Indonesia yang membahas segala cerita dan info terbaru tentang komunitas musik ‘’bawah tanah’’. Bermodal radio amatir, mereka juga kerap bertukar informasi dan ide seputar musik metal.

Semakin besar massa mereka, akhirnya tercetus pula lah festival musik metal seperti Bandung Berisik dan Bandung Death Fest. Sebuah acara yang didedikasikan kepada band metal dari seluruh penjuru Indonesia untuk menampilkan karyanya.

Menariknya, festival ini bukan diadakan untuk ajang ‘’mencari keuntungan’’. Namun murni sebagai tempat menyalurkan karya.

Sejak awal semangat ‘’Do It Yourself’’ menjadi jalan terampuh bagi keberlangsungan dan perkembangan komunitas. Semua dilakukan dari komunitas, oleh komunitas, untuk komunitas. Tanpa bantuan pemegang modal maupun sponsor.

Mereka membuat lagu sendiri, merekam sendiri, dan menjualnya sendiri. Bahkan mereka mampu membangun jaringan usaha lain dengan melahirkan seniman-seniman lain khususnya dalam membuat ikon dan simbol gambar khas lagu metal.

Tak heran jika mereka justru semakin memperluas lapangan pekerjaan antar anggota komunitas. Bagi para pecinta musik metal yang enggan untuk bermusik, namun punya kemampuan menggambar ikon musik metal, mereka tetap menjadi bagian dari komunitas.

Prinsipnya adalah mereka akan terus bermusik dengan tidak menghamba pada pemodal atau sponsor atau label besar. Sikap berani lapar ini masih terus dijaga dan dipertahankan. Uniknya, justru itu yang membuat mereka semakin kuat dan semakin solid.

‘’Pemberontakan’’ Ala Ujungberung Rebels

Kisah Ujungberung Rebels
info gambar

Di negara-negara Barat, musik underground atau musik metal tumbuh dengan latar belakang sebagai bentuk pemberontakan. Motifnya macam-macam, ada yang memberontak membela antikekerasan, dan antiperang. Sehingga melahirkan generasi bunga, generasi yang muak akan perang.

Wajar saja, kebudayaan itu muncul di tengah terjadinya perang Vietnam pada 1959 silam.

Lalu pada 1960-an muncul pula generasi hippies, generasi yang lahir sebagai antitesis dari generasi sebelumnya yang dinilai telah jauh dari alam tempat mereka berasal karena dibutakan oleh ambisi menaklukan, perang, dan menang.

Semua keresahan yang terjadi pada anak muda itu mereka tuangkan dalam sebuah musik. Musik yang keras, bergemuruh, dan penuh dentuman yang menggambarkan sebuah pemberontakan.

Namun bagi komunitas Ujungberung Rebels, pemberontakan itu sebagai bentuk ekpresi akan krisis identitas dan melawan kemapanan musik Indonesia yang me-dewa-kan para pemilik modal dan label besar.

Menurut mereka sangat ironi ketika para pemusik harus menggantungkan diri dengan para pemilik modal namun terkekang akan krisis identitas sebagai pemusik yang sebenarnya. Makanya karya anak-anak Ujungberung justru muncul tak tertahan saat tidak mendapat tempat label musik besar.

‘’Mereka menjadi pembaru untuk diri mereka sendiri sekaligus memengaruhi orang lain. Mereka pun berhasil mewujudkan kebebasan berekspresi, persis dengan kemunculan musik aliran keras pada awalnya,’’ kata Sosiolog Yesmil Anwar dikutip dari Pikiran Rakyat pada 21/03/2019 silam.

Jika Kawan GNFI masih penasaran kisah selengkapnya tentang Ujungberung Rebels, Kawan GNFI bisa berburu buku yang mengisahkan tentang mereka berjudul Ujungberung Rebels, Panceg Dina Galur. Akan banyak kisah yang bagaimana komunitas musik metal terbesar di Indonesia ini berkembang dan bertahan.

--

Sumber: Radar Tasikmalaya | Tempo | Hai Magazine | Jawa Pos | Pikiran Rakyat

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini