Hegemoni Biji Terhadap Umbi

Hegemoni Biji Terhadap Umbi
info gambar utama

Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia jika ditanya mengenai sumber karbohidrat, jawabannya dapat dipastikan beras dan gandum. Tidak bisa dipungkiri, setiap hari masyarakat didogma untuk makan biji-bijian ini dalam wujud nasi atau roti.

Mulai dari pemerintah dengan swasembada beras zaman presiden ke-2 sampai iklan-iklan di televisi yang selalu menjadikan nasi sebagai sajian utama. Padahal, kalau dilihat dari ekologinya, tanaman padi harus tumbuh tergenang air (rawa).

Sedangkan tidak semua pulau di negara kita memiliki wilayah rawa yang luas. Pada akhirnya, terjadi pembukaan area untuk jadi lahan pertanian. Kawasan rawa (wetlands) ini telah berkurang sebesar 64% sejak tahun 1900.

Ada yang lebih lucu lagi, kali ini mengenai gandum yang selalu masyarakat konsumsi dalam wujud roti, mie, biskuit, dan lainnya. Padahal lahan tanaman gandum hanya seujung kuku diantara lahan padi.

Lahan gandum sangat terbatas di antaranya di lereng Bromo, Alahan panjang, dan sejumlah tempat di Indonesia bagian timur. Namun demikian, perlu Kawan GNFI ketahui bahwa Indonesia memiliki pabrik terigu terbesar ke-5 dunia yang tentu saja bahan bakunya impor, terutama dari Australia.

Tanaman gandum | Pixabay.com
info gambar

Tapi sebenarnya, negeri ini kaya akan sumber karbohidrat lain dalam bentuk umbi-umbian. Sumber karbohidrat tersebut mengandung banyak serat yang bermanfaat bagi tubuh. Salah satunya umbi ganyong (Canna edulis Kerr.).

Tanaman ganyong umumnya tumbuh liar di kebun atau pekarangan rumah. Tetapi juga ada masyarakat yang mengembangbiakkan tanaman ini. Lahan ganyong tersebut diantaranya di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali.

Tanaman ini memiliki bunga yang cantik karena memang masih satu keluarga dengan bunga Lili. Tanaman ganyong tidak membutuhkan banyak air untuk dapat hidup, sehingga dapat ditemukan pada daerah yang cenderung kering.

Kawan GNFI dapat mengembangbiakkan tanaman ganyong dengan cara generatif (biji) ataupun vegetatif (umbi). Namun, cara vegetatif lebih dapat menjaga kemurnian genetis ganyong yang berkualitas.

Menurut Balitbangtan Sulbar, cara vegetatif dilakukan dengan memotong umbi yang memiliki satu atau dua tunas. Kemudian menanamnya dengan kedalaman 15 cm dan jarak 50 cm antar umbi.

Umbi Canna indica | Foto: Blumenrohr / Flicker.com
info gambar

Tanaman ganyong ini tergolong umbi-umbian lokal yang juga mengandung pati. Bahkan, kadar karbohidrat pada ganyong mencapai 94 % berat kering. Menurut sebuah penelitian Harmayani dan kawan-kawan, pati ganyong mengandung total pati 93,30 %, amilosa 42,49 %, dan amilopektin sebesar 50,90 %. Pati ganyong sangat cocok dibuat sohun dan cendol karena mempunyai water binding capacity dan swelling power yang rendah.

Pati ganyong unggul dalam nilai nutrisi dan mudah dicerna. Meskipun demikian, pemanfaatan pati tersebut sangat terbatas karena informasi tentang hal ini sangat terbatas. Produk olahan ganyong sampai saat ini masih kalah terkenal dengan produk dari gandum atau beras.

Di Indonesia sendiri, pengetahuan mengenai sifat pati ganyong dan pemrosesannya masih sangat terbatas. Umbi ganyong biasanya hanya direbus hingga matang. Selanjutnya, dapat dikonsumsi sebagai cemilan atau makanan selingan yang mengenyangkan. Padahal ganyong dapat diolah menjadi berbagai macam makanan olahan yang potensial.

Pemerintah sebenarnya sudah bergerak dalam diversifikasi pangan supaya tidak bergantung pada beras dan gandum. Tinggal bagaimana budaya makan nasi dan gandum yang sudah mengakar itu dapat diperkaya dengan beragam sumber pangan asli negeri sendiri.

Menanam dan mengkonsumsi umbi-umbi lokal, seperti ganyong mungkin dapat mengurangi impor kita yang fantastis berupa beras (2 juta ton) dan gandum (9 juta ton).*

Referensi: indonesia.wetlands.org | davidmckee.org | dalamrumah.com | life.trubus.id | sulbar.litbang.pertanian.go.id | jurnal.ugm.ac.id | databoks.katadata.co.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini