Inilah Ajag, Anjing Asli yang Hidup di Hutan Belantara Indonesia

Inilah Ajag, Anjing Asli yang Hidup di Hutan Belantara Indonesia
info gambar utama

Banyak dari kita yang mengenal berbagai macam jenis anjing. Beberapa dari mereka begitu dikenal karena kelucuannya, atau karena kekarnya, atau karena 'seram'nya.

Namun, ada satu jenis anjing asli Indonesia yang jarang disebut namanya. Jenis ini hidup di hutan belantara hingga wilayah pegunungan. Perawakannya sedang, berwarna cokelat kemerahan. Bagian bawah dagu, leher, hingga ujung perutnya putih, sedangkan ekornya panjang dan berbulu tebal kehitaman.

Namanya anjing ajag, yang pastinya berbeda dengan serigala. Fauna ini berasal dari spesies Cuonalpinus. Di Indonesia, ada dua jenis yaitu Cuonalpinusjavanicus [anjing hutan jawa] dan Cuonalpinussumatrensis [anjing hutan sumatera]. Di beberapa daerah Jawa, ajag sering disebut asukikik.

Secara luas Cuonalpinus, mengutipGreeners, tersebar di kawasan Asia mulai dari Bangladesh, Bhutan, Kamboja, China, India, Indonesia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Russia, Tajikistan, Thailand, dan Vietnam.

Ajag memiliki lolongan keras dan jelas. Biasanya hidup berkelompok dalam lima hingga dua belas ekor, tergantung lingkungannya. Dalam kondisi tertentu, ia dapat hidup soliter [sendiri]. Jenis ini merupakan pemburu yang menyukai kelinci, kancil, babi hutan, kijang, dan rusa.

Sejauh ini, penelitian tentang ajag di Indonesia masih terbatas. Belum ada data pasti mengenai populasinya di Sumatera dan Jawa. Keberadaan ajag di Jawa diketahui berada di Taman Nasional Alas Purwo, Baluran, Gede Pangrango, Halimun Salak, dan Ujung Kulon. Di Sumatera kehadirannya terdeteksi di di Taman Nasional Gunung Leuser dan Kerinci Seblat.

Anjing ajag [Cuon alpinus] yang tersebar luas di Asia, terutama wilayah selatan dan timur. Sekilas, penampakannya mirip serigala. Foto: Wikimedia Commons/David Raju/Creative Commons Atribusi-Berbagi Serupa 4.0 Internasional/Free to share
info gambar

Heboh

Akhir Desember 2020 lalu, anjing ajag menjadi buah bibir di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Ia diduga menyebabkan matinya 15 kambing dan satu ekor anak sapi di Desa Ciangir dan Desa Cipondok.

Mengutip Tribun Cirebon, Plt Camat Cibingbin Imas Minardih mengatakan matinya ternak warga itu akibat koloni ajag. “Warga melihat jelas koloni ajag berwarna kuning kecokelatan tersebut,” kata Imas, Minggu [20/12/2020].

Tak hanya dua desa, menurut keterangan Kepala Desa Cipondok Rudiyanto, warganya juga mengalami kejadian yang sama. Total, 25 ekor kambing mati di desanya.

Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, merupakan wilayah pegunungan, dengan puncaknya Gunung Ciremai [3.078 meter]. Gunung ini adalah yang tertinggi di Jawa Barat. Fenomena anjing ajag memangsa hewan ternak warga di Kuningan bisa menjadi peringatan awal akan berukurangnya mangsa di hutan.

Pastinya, anjing ajag memiliki peran penting dalam ekosistem hutan. Penelitian berjudul “Studi Pakan Ajag [Cuon alpinus javanicus] dengan Fecal Analisis di Taman Nasional Baluran Jawa Timur” oleh R. Teja Suryo Nugraha, Satyawan Pudyatmoko, Bambang Agus Suripto [UGM 2010], menunjukkan, ajag mengendalikan populasi mangsa [prey] dengan proses pemangsaan. Namun, salah satu ancaman keberlangsungan hidup ajag adalah menurunnya populasi prey yang dimangsanya.

Ajag dapat bertahan hidup dengan memangsa beberapa jenis prey untuk memenuhi kebutuhan energinya. Untuk itu, mempertahankan populasi mangsanya harus dilakukan. “Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui jenis apa saja mangsanya, khusunya di Pulau Jawa,” jelas penelitian itu.

Anjing ajag yang terpantau di Taman Nasional Baluran. Foto: Dok TN Baluran
info gambar

Populasi

Penelitian Anxious Yoga Perdana berjudul “Sebaran Spasial Ajag [Cuonalpinus Pallas 1811] di Taman Nasional Baluran” dari Depertemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor [2014], menunjukkan ajag lebih memilih berburu secara berkelompok untuk mendapatkan mangsa besar seperti rusa timor. Namun, ajag juga dapat berburu sendiri atau berpasangan. “Tergantung pada ketersediaan mangsa,” tulis Yoga.

Ajag menyukai perburuan terhadap mangsa yang masih hidup, namun dijumpai juga memakan sisa-sisa bangkai banteng, rusa, dan babi.

“Bedasarkan hasil pengamatan lapangan, ajag selalu ditemukan berburu mangsa hidup yaitu rusa timor. Kelompok ajag akan memakan mangsa buruan yang sudah tertangkap secara bersama tanpa adanya kompetisi.”

Populasi ajag dewasa pada habitat alami di seluruh dunia, berdasarkan IUCN, diperkirakan tidak lebih dari 2.200 ekor, dan diprediksi menurun. Satu hal penyebab menurunnya populasi ajag adalah adanya anggapan masyarakat bahwa jenis ini merupakan satwa yang merugikan, sehingga dijadikan satwa buruan untuk dimusnahkan. Selain itu, kerusakan habitat satwa mangsa juga memberikan pengaruh terhadap berkurangnya populasi.

Yoga menjelaskan, data mengenai sebaran spasial aktivitas ajag sangat diperlukan untuk mengetahui pengaruh ancaman tersebut. “Identifikasi sebaran spasial aktivitas ajag mencakup yang terlihat secara perjumpaan langsung maupun tidak, dari jejak yang ditinggalkan. Dengan begitu, diharapkan dapat mendukung pengelolaan ajag, sehingga terjamin kelestarian dan keseimbangan ekosistemnya.”

Di Taman Nasional Baluran, sebaran spasial aktivitas ajag dipengaruhi tipe penutupan vegetasi. Menurut Yoga, perjumpaan langsung dengan ajag berpeluang ditemukan di savana dibandingkan tipe vegetasi lainnya.

Lembaga Konservasi Dunia [IUCN] menetapkan status ajag pada kategori Genting [Endangered/En] atau dua langkah menuju kepunahan di alam liar. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, anjing ajag merupakan jenis satwa dilindungi.

==

Artikel ini adalah republikasi dari Mongabay.co.id atas MoU GNFI dengan Mongabay Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini