Upaya Penyelamatan Bekantan, Satwa Hidung Besar Endemik Pulau Kalimantan

Upaya Penyelamatan Bekantan, Satwa Hidung Besar Endemik Pulau Kalimantan
info gambar utama

Jika Anda pernah mengunjungi taman rekreasi Dunia Fantasi di Jakarta, mungkin sudah tak asing lagi dengan sosok yang menjadi maskotnya. Satwa serupa monyet dengan hidung besar tersebut adalah bekantan. Bukan sekadar ‘badut’ imajinasi, hewan tersebut memang nyata adanya dan termasuk hewan endemik Kalimantan. Selain jadi ikon Dunia Fantasi, bekantan juga merupakan maskot Kalimantan Selatan, tempat hewan tersebut berasal.

Meski merupakan satwa identitas Indonesia, banyak orang tidak pernah melihat bekantan secara langsung. Namanya pun tak setenar hewan-hewan endemik lain. Padahal bekantan memiliki keunikan tersendiri dan menjadi tugas kita bersama untuk melindunginya dari kepunahan.

Berkenalan dengan bekantan, hewan endemik Kalimantan

Satwa dengan nama ilmiah Nasalis larvatus ini merupakan jenis kera berhidung panjang dan memiliki rambut cokelat kemerahan. Ukuran hidung bekantan jantan diketahui lebih besar dibanding betina. Keberadaan hidung besar bekantan memang begitu mencolok dan menjadi pembeda dari jenis monyet lain. Bahkan, hidungnya tampak seperti menggantung di atas mulut.

Jika bekantan makan, ia harus mendorong hidungnya terlebih dahulu agar makanan bisa masuk ke dalam mulut. Uniknya, hewan ini juga pandai memainkan ekspresi wajah mereka. Ketika marah atau senang, hidungnya bisa membengkak dan memerah. Dalam keadaan yang dianggap berbahaya, bekantan bisa mengeluarkan suara keras mirip klakson mobil.

Bekantan memiliki bulu berwarna cokelat kemerahan di punggung dan bahu. Sedangkan bagian dada, leher, pinggang, bokong, dan ekornya cenderung berwarna krem. Kemudian, warna abu-abu tampak pada area kulit tangan dan kakinya.

Rata-rata tinggi bekantan jantan antara 66-72 cm dengan berat 16-23 kg, sedangkan betinanya memiliki tinggi 53-61cm dengan berat 7-11kg. Ekor bekantan panjangnya sama dengan tubuhnya.

Bekantan diketahui hidup di hutan bakau, rawa, dan hutan pantai. Kebanyakan aktivitasnya dilakukan dari atas pohon. Mereka senang berkelompok antara 12-27 ekor. Bahkan ada juga yang beranggotakan hingga 80 ekor jantan dan betina, serta terdiri dari anak-anak, remaja, dan jantan dewasa. Ketika memasuki usia sekitar 18 bulan, bekantan jantan akan pergi meninggalkan kelompoknya dan bergabung dengan kelompok yang keseluruhan anggotanya adalah jantan.

Ciri khas lain dari spesies ini adalah perutnya yang besar. Mereka biasanya makan buah-buahan, biji-bijian, dan daun-daunan yang menghasilkan banyak gas dan berefek pada perut yang membuncit.

Bekantan | @BorneoRimbawan Shutterstock
info gambar
Dipulangkan dari Singapura, 13 Kura-Kura Leher Ular Rote Kembali ke Tanah Air

Populasi bekantan yang kian menurun

Saat ini populasi bekantan diperkirakan hanya tinggal 20 ribuan ekor di Kalimantan, Sabah, Brunei, dan Serawak. Padahal pada tahun 1994, populasinya di Kalimantan diperkirakan mencapai 114.000 ekor. Dalam International Union for Conservation of Nature Redlist, status konservasi bekantan berada dalam kategori terancam atau endangered.

Penurunan populasi bekantan semakin mengkhawatirkan, terutama karena maraknya alih fungsi lahan, perburuan liar, hingga kebakaran hutan menyebabkan primata endemik ini perlu segera mendapatkan konservasi.

Di Teluk Balikpapan, penurunan habitat bekantan terlihat paling kentara. Kawasan industri di Pelabuhan Somber makin meluas dan lokasinya berdampingan dengan hutan bakau, kemudian menyebabkan pencemaran dan berdampak pula pada menurunnya wilayah habitat bekantan. Kebisingan dari kegiatan industri pun memengaruhi tingkat stres bekantan dan berdampak pada proses reproduksinya.

Karena terbatasnya lahan, kelompok-kelompok bekantan kian terpecah belah dan semakin mengecil. Sementara itu, perkawinan antar kerabat biasanya menghasilkan keturunan dengan kualitas menurun.

Kisah Macan Tutul Jawa, Dahulu Dihormati Sekarang Diburu

Upaya menyelamatkan bekantan dari kepunahan

Ancaman terhadap satwa hidung besar ini memang begitu nyata. Para aktivis dan pemerhati lingkungan pun tergerak untuk melakukan aksi penyelamatan terhadap populasi bekantan. Berbagai upaya yang telah dilakukan antara lain penanaman pohon bakau di kawasan hutan riparian yang menjadi habitat asli bekantan.

Selain itu, konservasi bekantan pun dilakukan melalui model insitu dan exsitu. Konservasi insitu merupakan upaya pada habitat asli dan masih terdapat populasi bekantan, misalnya pada kawasan taman nasional, cagar alam, hutan lindung, dan suaka margasatwa.

Sedangkan, konservasi exsitu berfokus pada perlindungan bekantan di luar habitat asli, misalnya lokasi penangkaran, kebun binatang, dan taman safari. Model konservasi ini harus memperhatikan kehidupan alami bekantan, lengkap dengan pengetahuan soal ekologi, perilaku, kandungan gizi makanan, dan mencegah bekantan dari stres dan aman dari serangan penyakit.

Di sisi lain, lembaga JARI Indonesia Borneo Barat bersama dengan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat menggagas Rencana Aksi Pengelolaan Koridor Bekantan (RAPKB) di lanskap Kubu seluas 732 hektare. Aksi ini merupakan kolaborasi untuk menjaga, melindungi, dan mengelola habitat serta populasi bekantan di Kubu yang memiliki beragam ekosistem, mulai dari bakau dan gambut yang sangat luas.

Pada bulan Juli 2021, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mendukung upaya pengembangan konservasi bekantan di Pulau Curiak Kabupaten Barito Kuala. Menurut keterangan Penjabat Gubernur Kalimantan Selatan, Safrizal ZA, melalui konservasi ini diharapkan populasi bekantan bisa terus ditingkatkan. Apalagi saat ini hewan tersebut jumlahnya semakin terbatas.

Sebagai bentuk dukungan, pihak Pemprov Kalsel memberikan dana hibah sebesar Rp 350 juta kepada Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI). Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan beberapa gazebo, restorasi bakau rambai, serta kebutuhan sosialisasi, dan penelitian ekowisata.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini