Bagaimana Masyarakat Melihat Sisi Positif dari Banjir?

Bagaimana Masyarakat Melihat Sisi Positif dari Banjir?
info gambar utama

Penulis: Fishya Elvin

Perubahan iklim menyebabkan salah satu fenomena alam yang sudah kita rasakan dan amati beberapa waktu ini. Perubahan cuaca yang ekstrim menyebabkan hujan berkepanjangan dan berujung pada terjadinya banjir di beberapa daerah di Indonesia. Banyak sekali daerah-daerah yang tengah mengalami bencana banjir karena hujan yang lebat dan panjang, dan diprediksi akan terjadi sampai akhir tahun 2021 ini.

Pada bulan November 2021, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan banjir meluas di sejumlah wilayah Kalimantan. Di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, banjir telah terjadi selama empat minggu terakhir. Selain di Pulau Kalimantan, banjir juga melanda Pulau Jawa, salah satunya di Kota Batu, Jawa Timur, yang intensitas hujannya sekitar 80 milimeter dalam 2 jam, sebut Koordinator Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Miming Saepudin, dikutip dari Kompas.

Selain itu, mengutip dari Media Indonesia mengenai informasi dari BMKG Jambi, tingginya curah hujan di daerah Jambi diperkirakan terjadi hingga akhir 2021. Hal tersebut ditambah dengan banjir kiriman dari Sungai Batang Bungo, Sumatera Barat yang berdampak pada daerah permukiman Desa Tanah Garo, Kabupaten Tebo digenangi air.

BMKG kemudian menyebutkan bahwa intensitas hujan saat ini masih dalam kategori sedang hingga lebat. Hujan dengan kategori sedang memiliki intensitas  20-50 milimeter (mm) per hari,  lebat jika intensitasnya 50-100 mm per hari, sangat lebat jika intensitasnya 100-150 mm per hari, dan ekstrem jika intensitasnya di atas 150 mm per hari.

Lalu, bagaimana coping mechanism masyarakat dalam menghadapi banjir?

Berdasarkan Jurnal Psikologi Pitutur, coping mechanism merupakan suatu perilaku atau tindakan yang dilakukan seseorang ketika menghadapi masalah, tekanan, atau rintangan sebagai respon psikologis untuk mengurangi tekanan tersebut. Jika seseorang tersebut mampu menggunakan coping mechanism tersebut dengan baik, maka ia dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik pula.

Lazarus & Folkman (1984) menyatakan bahwa strategi coping mechanism terdiri dari dua aspek, yakni Problem Focused Coping (PFC) dan Emotional Focused Coping (EFC), yang kemudian terdiri dari beberapa bentuk lagi meliputi konfrontatif, pencarian dukungan sosial, pemecahan masalah yang terencana, kontrol diri, pengalihan, penilaian positif, penerimaan tanggung jawab dan lari atau menghindar.

Berdasarkan penelitian lapangan Desa Setrokalangan di Kudus yang sering mengalami banjir akibat luapan air dari Sungai Wulan, dapat ditilik bagaimana masyarakat di sana melakukan coping mechanism dalam menghadapi banjir.

Problem Focused Coping (PFC) yang dilakukan berupa strategi konfrontatif dan pemecahan masalah, yaitu dengan menaikkan perabot rumah dengan memprioritaskan kebutuhan pangan, lalu barang elektronik terlebih dahulu ke tempat yang lebih tinggi, sampai membuat rakit dari gabus sehingga dapat mengapung. Beberapa korban banjir juga memiliki lahan pertanian yang mengalami gagal panen karena banjir, serta peternakan yang hewan ternaknya langsung dipindahkan ke geladak yang lebih tinggi. Tidak hanya itu, strategi konfrontatif yang dilakukan masyarakat lainnya adalah mencari informasi dari luar untuk antisipasi agar lebih siaga menghadapi banjir, serta mencari dukungan sosial.

Tipe strategi kedua adalah Emotion Focused Coping (EFC) yang lebih banyak berorientasi pada bentuk kontrol diri ataupun menghindari tekanan yang ada. Kontrol diri yang dilakukan adalah tetap tenang dan mengurangi perasaan khawatir, dengan membayangkan bahwa bencana ini adalah kuasa Tuhan dengan penyebab yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Dampak positifnya, daerah mereka yang awalnya penuh sampah menjadi bersih karena terbawa arus banjir. Strategi menghindari tekanannya adalah masyarakat berbincang dengan warga lainnya, sembari mencari solusi untuk menghadapi bencana ini.

Bencana banjir yang melanda beberapa daerah di Indonesia ini menjadi pengingat bahwa baik masyarakat maupun pemerintah harus bekerja sama dalam menanggulangi banjir. Berdasarkan strategi  Problem Focused Coping (PFC), maka koordinasi masyarakat dan pejabat desa harus terjalin dengan baik sehingga dapat menghasilkan peraturan yang lebih mutakhir lagi.

Kebijakan pemerintah daerah tentang penanggulangan bencana masih sangat terbatas, karena pedoman yang ada dikeluarkan oleh pemerintah pusat, belum berbentuk peraturan daerah. Selain itu, pendanaan penanggulangan bencana juga masih sangat tergantung dari pada APBN dan APBD provinsi maupun kabupaten atau kota, sehingga pelosok belum mendapatkan solusi yang efektif dan efisien.

Terlepas dari kebijakan pemerintah setempat, banjir hadir akibat ulah manusia yang menimbun sampah dan juga menyebabkan perubahan iklim sehingga hujan datang berkepanjangan. Apabila masyarakat tidak melakukan pencegahan yang dilakukan sedari awal, maka bencana akan terus datang dan menimbulkan lebih banyak korban.

 

Referensi:Kompas | Bappenas | Jurnal Psikologi Pitutur | Media Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini