Bunyi Surat dari Raja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Bunyi Surat dari Raja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz
info gambar utama

Islam telah masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah. Bahkan banyak catatan yang menunjukkan sudah sejak masa Khulafaur Rasyidin memerintah, masyarakat Arab Muslim sudah memulai ekspedisinya ke Nusantara.

Bahkan literatur China menyebutkan menjelang seperempat abad ke 7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatra. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan orang-orang Muslim Arab menikah dengan penduduk lokal.

K’ang Tai dan Zhou Ying menyebutkan hubungan perdagangan antara Nusantara dengan para pedagang Timur Tengah sudah terjadi sejak abad 3. Ketika itu para pedagang Persia-Arab telah melakukan pelayaran hingga ke China yang tentunya sudah masuk ke Nusantara

Hubungan ini kembali menguat dengan posisi Sriwijaya yang menguasai wilayah maritim Nusantara sejak abad ke 7 Masehi. Hubungan kerajaan ini dengan penguasa-penguasa luar negeri sangatlah banyak.

Saga Bajak Laut yang Kuasai Selat Malaka, dan Upaya Laksamana Ceng Ho Menumpasnya

Kekuasaan Sriwijaya yang begitu luas membuat hubungan kerjasama dalam bidang politik, sosial budaya, ekonomi juga dilakukan dengan penguasa China, India, Persia, dan Arab. Salah satunya kerjasama dengan pemerintah Dinasti Umayyah, penguasa Timur Tengah.

Hubungan Sriwijaya dengan Dinasti Umayyah tidak hanya direalisasikan dalam kegiatan perdagangan dan politik saja, tetapi juga dengan mengirimkan beberapa hadiah sebagai tanda persahabatan.

Fatimi dalam tulisannya yang berjudul Two Letters From The Maharaja To The Khalifah menjelaskan bunyi surat Sriwijaya kepada dinasti Umayah dalam masa pemerintahan Muawiyah (661-680 M) dan Umar bin Abdul Aziz (717-719 M)

Sriwijaya telah mengirimkan surat dua kali kepada Dinasti Umayyah yang isinya menjelaskan hubungan yang baik antara kedua penguasa tersebut dengan disertai beberapa hadiah berupa rempah-rempah asal Nusantara sebagai bentuk persahabatan.

Ketika itu Sriwijaya tengah dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Sri Indrawarman. Namun tidak adanya prasasti yang dikeluarkan raja ini membuat pengkajian tentang sosok Sri Indrawarman sukar untuk dilakukan.

Petunjuk salah satunya hanyalah surat kepada Umar bin Abdul Aziz yang isinya menyebutkan maharaja yang menguasai perairan Nusantara dengan kerajaan yang harum semerbak mewangi, dipenuhi gajah-gajah, dan juga dialiri oleh banyak sungai.

“Selain itu juga dalam surat yang dikirim Sriwijaya kedua kalinya, maka Sriwijaya menyebutkan meminta kepada Umar bin Abdul Aziz untuk mengirimkan seorang ulama ke Sriwijaya,” tulis Fatimi.

Hubungan baik Sriwijaya dengan Sultan Islam

Fatimi mencatat dalam sebuah kronik China yang menyebutkan shih-li-fo-shih yang dipercaya sebagai nama Sriwijaya dengan rajanya shih-li-to-pa-mo mengirimkan hadiah kepada kaisar China pada tahun 724 Masehi.

Tetapi kurangnya data membuatnya tidak bisa memastikan sosok raja tersebut. Hanya saja dirinya berhasil menemukan surat seorang maharaja dari Sriwijaya kepada Khalifah Muawiyah yang memerintah daulah bani Umayah.

Al Haytham bin Adi telah menceritakan dari Abu Yaqub al-Thaqafi, dari Abdul Malik bin Umair berkata bahwa dia melihat dalam sekretariat (Khalifah) Muawiyah (setelah dia meninggal) sebuah surat dari raja “Al Sin” yang bertuliskan: “dari raja Al Sin, yang di kandangnya terdapat ribuan gajah, yang istananya terbuat dari bata emas dan perak, yang dilayani oleh ribuan anak perempuan raja-raja, dan yang memiliki 2 sungai yang mengairi Gaharu, kepada Muawiyah.”

Dalam jurnalnya, Fatimi menulis bahwa Al Haytham bin Adi adalah seorang pendiri ilmu historiografi yang telah menulis setidaknya 50 buku tentang sejarah, genealogi, biografi, cerita rakyat Arab.

Sedangkan Abu Yaqub al-Thaqafi adalah perawi yang dipakai oleh Abu Dawud. At Tirmidzi, dan An Nasa’i untuk meriwayatkan hadis. Oleh karena itu Fatimi berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk menolak kutipan dari Al Jahiz.

Sejarah Hari Ini (23 April 682) - Perjalanan Suci Maharaja Sriwijaya

“Sayangnya, apa yang ditulis Al Jahiz itu merupakan potongan kutipan yang lebih panjang. Kutipan ini hanya menjelaskan surat yang ditulis ini ‘dari siapa” dan “dikirim ke siapa” namun tidak menjelaskan maksud sebenarnya dari surat itu,” jelasnya.

Namun, setidaknya surat kedua yang mirip dengan surat pertama bisa memberikan beberapa jawaban. Sebuah surat dari maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umayyah ketika itu, Umar bin Abdul Aziz bisa diteliti lebih intensif.

Nu’aim bin Hammad menulis, Raja dari Al Hind mengirimkan surat kepada Umar bin Abdul Aziz yang berbunyi: “Dari Raja di Raja, yang merupakan keturunan dari ribuan raja, yang memiliki permaisuri dari keturunan ribuan raja yang di kandangnya memiliki ribuan gajah, yang memiliki wilayah 2 sungai yang mengairi gaharu, kayu wewangian, pala dan kamper, yang harumnya menyebar hingga jarak 12 mil. Kepada Raja Arab, yang tidak menyekutukan Tuhan. Aku mengirimkan kepada Anda hadiah, yang tidak banyak tetapi hanya sebagai perkenalan dan aku berharap Anda mengirimkan kepadaku seseorang yang bisa mengajarkan Islam dan memerintahkan aku dalam hukum Islam (atau dalam versi lain ‘dapat mengajarkan Islam dan menjelaskan kepadaku’) Salam!"

Pada isi surat ini, jelas Fatimi, terlihat Raja Sriwijaya seakan-akan ingin menegaskan kepada Dinasti Umayyah tentang kerajaannya yang kaya akan rempah-rempah dan berkuasa dan disegani oleh raja-raja bawahannya di Nusantara.

Tetapi yang membedakannya pada isi surat kedua ini adalah Raja Sriwijaya juga memohon kepada Dinasti Umayyah untuk mengirimkan seorang ulama ke Palembang. Padahal Sriwijaya adalah kerajaan yang taat memeluk agama Buddha Mahayana.

Benarkah itu Sriwijaya?

Fatimi memang cukup yakin bahwa dua surat itu dikirim dari maharaja di Sriwijaya. Hal ini tersirat melalui penyebutan ciri khas dari kerajaannya. Seperti Kerajaan Sriwijaya yang bangunannya dari batu bata yang dilapisi emas.

Menurutnya ini merupakan kiasan karena Palembang memang daerah yang memiliki kekayaan sangat melimpah terutama rempah-rempah dan juga emas. Maka dalam catatan Kitab India, Sumatra disebut sebagai Pulau Swarnadwipa yang artinya pulau emas.

Selain itu penggambaran wilayah pusat Sriwijaya yang harum di sepanjang sungai besar, menurut Fatimi adalah disebabkan kaya akan barang-barang komoditas seperti kayu gaharu, cendana, kemenyan, dan damar.

“Tentunya barang-barang tersebutlah yang menghasilkan bau semerbak harum di Sriwijaya,” tegasnya.

Ketika itu komoditas perdagangan yang disukai oleh pedagang dari Arab memang berupa kayu gaharu, cendana, damar dan barang-barang lainnya yang mengandung bau harum, dan nantinya akan diperjualbelikan di Timur Tengah dengan harga mahal.

Sedangkan kalimat “pusat Kerajaan Sriwijaya dilayani oleh ribuan putri-putri raja” adalah sebuah gambaran kebesaran Sriwijaya di mana berkuasa atas laut di Nusantara dan di luar Nusantara, raja yang disegani dan dihormati oleh penguasa bawahannya.

Dalam surat ini disebutkan Kerajaan Sriwijaya dialiri dua sungai besar yang mengalir harumnya gaharu. Hal tersebut menjelaskan bahwasannya pusat Sriwijaya dihubungkan oleh dua sungai besar, yakni Sungai Musi di Palembang dan Sungai Batanghari di Jambi.

Saat Kerajaan Sriwijaya Dituangkan ke Dalam Fashion

Dua sungai ini memang merupakan saksi bisu kejayaan Sriwijaya mulai dari awal berdiri sampai menjadi kekuasaan yang disegani. Hal ini sesuai bukti tertulis dalam isi prasasti Kedukan Bukit.

Hingga kini memang belum ada bukti-bukti tertulis maupun arkeologis yang menguatkan tentang perkembangan agama Islam di pusat Kerajaan Sriwijaya, atau bukti mengenai Raja Sriwijaya, keturunannya yang memeluk agama Islam pada abad ke 7.

“Karena itu kemungkinan yang dimaksud pengiriman seorang ulama atau tokoh agama Islam, ke pusat kerajaan Sriwijaya adalah sebagai penasehat kerajaan atau salah satu tokoh agama karena Raja Sriwijaya melihat agama monoteisme (Islam) yang dipeluk oleh orang-orang Arab memiliki ajaran mulia dan berkeadilan terhadap kemanusian,” tulis Wandiyo, dan kawan-kawan dalam jurnal pendidikan sejarah berjudul Nilai-nilai Dialektika Hubungan Sriwijaya dengan Dinasti Umayyah (Abad 7 Masehi).

Alasan lain, menurut Wandiyo, permintaan ulama sebagai penasehat kerajaan adalah melihat ajaran monoteisme Islam yang sama dengan kepercayaan leluhur mereka. Dalam catatan China, Kerajaan Kantoli yang bediri di wilayah Jambi (abad ke 5 Masehi) juga memeluk monotiesme Abraham.

Raja Sriwijaya juga melihat nilai-nilai kemanusian dalam Islam sama dengan agama yang dipeluknya yakni Buddha. Dalam agama Buddha juga hampir sama memandang kehidupan di dunia yang fana dan penuh kesengsaraan ini disebabkan oleh hawa nafsu manusia itu sendiri.

“Demikian kesamaan dalam cara pandang dan ajaran yang menjunjung tinggi kemanusian dan keadilan dalam menjalankan kehidupan maka setidaknya Raja Sriwijaya layak dan wajar apabila meminta di antara penasehat kerajaan dari seorang ulama atau ahli agama Islam yang berasal dari Arab langsung,” tulis Wandiyo.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini