Emisi Karbon dan Permisi Kasbon

Fauzan Luthsa

Berlatar belakang jurnalis ekonomi dan politik, saat ini aktif sebagai pengamat kebijakan publik, terkait ekonomi dan sosial.

Emisi Karbon dan Permisi Kasbon
info gambar utama

...Operasi militer Rusia di Ukraina membuat peta jalan penurunan emisi karbon dunia berantakan. Peningkatan aktivitas perdagangan dan penggunaan bahan bakar fosil di Eropa dan Amerika membuat… Stop! Gaya penulisan ini berat dan bikin ngantuk.

Kita akan ngobrol soal emisi karbon sembari ngopi--untuk yang tak berpuasa--dan tak membuat dahi jadi mengkerut.

Sesuai judulnya, ''Emisi Karbon dan Permisi Kasbon'' merupakan dua hal yang tidak sama. Walau dampaknya sama-sama destruktif.

Ilustrasinya begini, emisi karbon itu pelepasan karbon ke atmosfer, dan dihasilkan dari aktivitas yang kita jalani. Naik mobil ke kantor dan terbang naik pesawat untuk hadiri workshop pengurangan emisi karbon, ini semua termasuk aktivitas yang menghasilkan karbon. Untuk yang satu ini memag cukup ironis

Sedangkan ngulek cabe, antri minyak goreng, mager sembari bikin video enggak jelas di tiktok, atau nyuci baju pakai papan penggilasan, jelas bukan aktivitas yang menghasilkan karbon signifikan.

Semakin tinggi aktivitas kita yang menghasilkan karbon, maka kita jadi kontributor perubahan iklim.

Beda lagi kalau permisi kasbon. "Permisi, kasbon dulu ya bu. Saya minta minyak goreng dua liter."

Ini cara cepat mematikan bisnis pedagang. Dampaknya sama dengan aktivitas penghasil emisi karbon, destruktif.

Yang paling jelas, aktivitas operasi militer Rusia di Ukraina membuat Eropa dan Amerika tertinggal dalam rencana penurunan emisi karbon. Simpelnya, aktivitas peralatan militer sudah menghasilkan emisi karbon yang tinggi.

Yang belum tuntas dari perjanjian penurunan emisi karbon

Indonesia seharusnya jadi negara yang paling berkepentingan agar perjanjian ini terlaksana. Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak pulau dan garis pantai terpanjang kedua di dunia--setelah Kanada, Indonesia posisinya rentan karena pulau-pulaunya suatu saat bisa tenggelam akibat perubahan iklim.

Mungkin karena posisi itulah, di antara emerging state Indonesia mengambil inisiatif menjadi negara pertama yang menerapkan pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah kita mengambil langkah maju.

Sayangnya kalkulasi emisi karbon tidak di bagi berdasarkan aktivitas produksi dan aktivitas kehidupan. Padahal jika ini dilakukan, setiap negara dapat melakukan langkah lebih nyata.

Misalnya emisi karbon dari aktivitas produksi lebih tinggi dari aktivitas kehidupan, pemerintah tinggal melakukan pressure di industri. Begitu pula sebaliknya.

Sayangnya lagi, aktivitas kehidupan di negara negara maju sepertinya akan sulit untuk adaptif. Tidak mungkin kan membayangkan biasa mencuci baju pakai mesin lalu shifting kucek baju di papan penggilasan.

Atau yang terbiasa mengeringkan pakaian di mesin pengering dan beradaptasi mengeringkan baju dengan dijemur, atau bahasa lokalnya dijembrengin.

Negara seperti Indonesia, posisinya bisa dilema. Di satu sisi mesti genjot pertumbuhan ekonomi dengan optimalkan kekayaan sumber daya alam. Terlebih untuk bangkit pasca pandemi. Namun di sisi lain ada tanggung jawab untuk pelestarian hutan dan aktivitas pertambangan yang bertanggung jawab.

Amerika pun poco-poco untuk menurunkan emisi karbonnya, karena akan berdampak terhadap industri dalam negeri. Pengaruhnya akan terasa terhadap lapangan kerja eksisting maupun penciptaan lapangan kerja baru

Untungnya...

Saya akan mengucapkan sesuatu yang selalu diungkapkan dalam budaya Jawa, selalu ada harapan di situasi terburuk sekali pun. "..Untungnya.." kita sekarang memiliki instrumen pajak karbon.

Sektor industri kita akan dikenakan pajak karbon atas emisi tinggi yang dihasilkan. Sedikit banyak ini akan membuat perusahaan menerapkan perilaku adaptif atas aktivitas usaha yang menghasilkan emisi karbon tinggi.

Walau sayangnya, pajak ini belum menyentuh aktivitas kehidupan rumah tangga, seperti tingkat konsumsi listrik, pemilikan peralatan rumah tangga yang menyerap banyak listrik, dan alat transportasi yang memiliki mesin yang boros bahan bakar.

Indonesia masuk 10 besar

Negara dengan urutan pertama adalah China. Sebagai penyumbang 9,9 miliar metrik ton emisi karbon per tahun. Urutan ke-2 ada Amerika Serikat yang berkontribusi dengan 4,5 miliar metrik ton emisi karbon.

Kemudian ada India di urutan ke-3 yang menghasilkan 2,3 miliar metrik ton emisi karbon. Dan Rusia posisi ke-4 dengan 1,5 miliar metrik ton. Adapun Indonesia menempati posisi ke-8 dengan kontribusi emisi karbon sebanyak 0,5 miliar metrik ton.

Sejauh ini, hanya India yang menolak seruan menurunkan emisi karbon. Karena hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negaranya.

Tentunya kita berharap agar pemerintah tidak mengambil langkah kelewat maju, misal dalam waktu singkat menyetop penggunaan batu bara untuk PLTU dan menekan konsumsi bahan bakar fosil agar masyarakat beralih ke mobil listrik.

Sekadar informasi, kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik mencapai 130 juta per tahun atau hampir 11 juta ton per bulan. Agak skeptis berharap banyak green energy dari PLN yang sampai ini terbilang ajaib masih hidup dengan utang Rp430 triliun.

Karena untuk melakukan transisi energi perusahan listrik ini butuh uang Rp1.702 triliun. Nilai yang jumlahnya tiga kali lipat lebih dibanding anggaran membangun ibu kota baru.

Tapi, kita harus bersyukur saat ini Indonesia tidak mengalami krisis energi seperti di China pada tahun 2021 dan Srilanka.

Dengan bentuk alam yang seperti saat ini, pilihan Indonesia untuk memanfaatkan energi bersih tentu terbuka luas. Tinggal kita tunggu pemerintah untuk menerapkan langkah berani lainnya, setelah penerapan pajak karbon.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Fauzan Luthsa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Fauzan Luthsa.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

FL
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini