Girls on The Rise! Girl Up Semarang Ajak Perempuan Muda Berani Dobrak Patriarki

Girls on The Rise! Girl Up Semarang Ajak Perempuan Muda Berani Dobrak Patriarki
info gambar utama

“Katanya perempuan sudah mendapatkan kesetaraan gender, lantas mengapa eksistensi mereka masih belum bebas dari pembungkaman patriarki?”

Berbicara tentang isu gender, tidak habis-habis rasanya ketika berkaitan dengan eksistensi perempuan. Pergulatan mereka yang masih muda seringkali menghadapi tantangan sebagai objek seksual yang berbeda, terutama ketika berada di Indonesia, negara yang didominasi oleh stigma patriarki atau perspektif maskulinitas laki-laki.

Berada dalam status quo ini membuat perempuan sama sekali tidak mampu untuk bersuara karena kekhawatiran akan persepsi negatif publik yang dilabelkan pada reputasi pribadi maupun almamaternya sendiri.

Kebebasan dalam menyuarakan sexual harassment, contohnya. BBC Indonesia bahkan mencatat fakta dari hasil survei Kemendikbudristek di tahun 2020 bahwa dari 79 kampus di 29 kota di Indonesia, 63 persen kasus kekerasan seksual sama sekali tidak pernah dilaporkan dengan alibi menjaga nama baik kampus.

Ironisnya, jika melihat realita, perempuan Indonesia sebenarnya telah mendapatkan privilese pendidikan, pekerjaan, bahkan gaya hidup yang bisa dikatakan setara dengan laki-laki. Gender equality for Sustainable Development Goals, sih ‘katanya’.

Lantas, apakah isu gender yang dibawakan sebagai youth feminism movement saat ini akan menjadi sesuatu tren yang berbeda di masa mendatang?

Khusus Perempuan, 4 Ide Program untuk Hadapi Tantangan Digital

“Pembahasan gender akan terus dinamis karena perbedaan dan perubahan isu pasti terjadi dari masyarakat. Mungkin orang feminis dulu bakal menganggap kalau isu gender selalu berhubungan dengan equality dengan persepsi kalau perempuan harus setara dengan laki-laki. Padahal, isu hak-hak buruh wanita, hak Ibu Rumah Tangga atau hak-hak perempuan buat mendapat sanitasi bersih juga bisa menjadi isu gender!” ungkap Thisa, sosok Local Heroes muda yang kini menjabat sebagai Board Member dari Girl Up Semarang, organisasi yang bergerak di area young women empowerment.

Selama perjalanannya sebagai seorang feminist enthusiast, Thisa bercerita mengenai eksistensi perempuan di realita masyarakat saat ini, utamanya bagaimana ia mampu membangun Girl Up Semarang sebagai trendsetter gerakan perempuan muda yang berusaha mendobrak masa depan budaya patriarki di Ibu Kota Jawa Tengah itu.

Bergerak ke Arah Feminisme Interseksional

Semua orang sudah bisa membahas gender equality. Maka dari itu di masa mendatang, kita merasa perlu untuk bergerak ke arah tren feminisme interseksional yang berbicara lebih spesifik dari sekadar hak laki-laki dan perempuan semata sebagai fokus utama.

Pandangan Thisa terhadap urgensi realisasi perspektif feminisme interseksional ini membuat ia bersama keenam rekannya bergerak untuk membangun Girl Up di Semarang sebagai safe space dan youth feminism movement yang bertujuan untuk menghapus penindasan dan kekerasan simbolik yang seringkali dialami oleh perempuan muda.

Sejak mulai beroperasi di akhir tahun 2020, gerakan Girl up Semarang telah berada di bawah lisensi United Nations Foundations serta mendapat supervisi langsung oleh Girl Up South East Asia dan Girl Up Indonesia. Hingga saat ini, Girl Up Semarang telah memiliki total 56 member yang terbagi ke divisi Research & Advocacy, Program Event, Public Relation (PR), Fundraising, dan Human Resource Department (HRD).

Dulu kami merasa concern banget dengan penindasan perempuan saat ini. Padahal gender equality dan woman empowerment udah ada, tapi kok masih ada penindasan sama perempuan, sesederhana soal kebebasan mereka dalam pakai baju. Kenapa masih ada saja perempuan yang dikomen ketika mereka menggunakan pakaian yang dirasa tidak pantas sama masyarakat?” cetus Thisa.

Dalam bayangannya, Girl Up tidak akan langsung mengubah persepsi patriarki yang sudah sangat kental di Semarang. Akan tetapi, setidaknya stigma publik semacam itu dapat sedikit demi sedikit diubah dengan dobrakan kampanye mereka.

Menatar Kecakapan Perempuan di Era Digital, Sudahkah Optimal?

Aksi Nyata bagi Para Puan Muda

Donasi Girl Up Semarang ke Panti Asuhan Bakti Asih | Foto: Girl Up Semarang
info gambar

Meskipun baru berusia 2 tahun, Girl Up Semarang tidak ragu untuk menginisiasi sebuah debut project perdana mereka yang diberi nama Period Poverty Project. Sebuah social service project bagi perempuan muda usia Sekolah Menengah Pertama di Kota Semarang yang baru mengalami menstruasi dan belum memiliki akses untuk mendapatkan sanitasi bersih.

Period Poverty Project merupakan proyek terbesar dari Girl Up Semarang di bulan September - Oktober 2022 lalu. Dalam gerakan ini, kita bakal ada donasi buat membeli menstrual kit bagi perempuan muda yang masih underprivileged untuk sekadar membeli alat sanitasi.

Tak luput dari jamahan media virtual, Girl Up Semarang pun tidak ragu untuk menunjukkan eksistensinya di dunia maya dengan mempublikasikan berbagai kampanye dalam meningkatkan awareness perempuan muda terhadap isu-isu gender yang sedang happening.

Pengesahan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), International Women's Day, Hari Kartini, dan berbagai occasion day wanita seakan menjadi calling out bagi Girl Up Semarang untuk memberikan konten-konten edukasi yang menargetkan perempuan muda sebagai audiens mereka.

Kembali pada esensi feminis interseksional, konten Girl Up Semarang saat ini tidak hanya berbicara mengenai kesetaraan, tetapi juga membuka mata untuk mengangkat berbagai permasalahan yang (mungkin) sering kali dipandang sebelah mata oleh publik, seperti hak-hak buruh wanita, pelecehan di bawah umur, atau bahkan hak ibu rumah tangga.

Melihat Tenun Rote, Keindahan yang Tingkatkan Derajat Kaum Perempuan

Kalau yang paling berkesan sih ada pas kita buat kampanye Surat Cinta Untuk Puan sebagai dukungan dari #BreakTheBias di International Women’s Day tanggal 8 Maret 2022 kemarin. Nah disana, banyak banget yang memberikan pesan women support women, bahkan sampai lebih dari 1000 pesan dan itu sih yang paling bikin terharu buat kita karena ternyata campaign itu sampai ke hati para perempuan di luar sana,” kelakar dirinya.

Selain itu, melalui dunia virtual, Girl Up Semarang juga aktif memberikan bantuan dan safe space bagi beberapa permasalahan perempuan muda dengan merekomendasikan konsultasi ke pihak expert yang lebih professional untuk mendapatkan advokasi lebih lanjut.

Mendobrak dengan Bersuara

Menjadi trendsetter dari youth feminism movement di masa mendatang bukanlah hal yang mudah. Masih banyak aksi yang harus dilakukan untuk merealisasikan visi dari pergerakan Girl Up Semarang.

Di penghujung perbincangan, Thisa pun menegaskan bahwa ia berharap agar empat core value Girl Up sebagai pilar pergerakan yang dirintisnya itu, yaitu Youth Centered, Passionate Action, Global Community, Accountability dapat terus dipegang teguh oleh anggotanya kini, bahkan hingga penerusnya kelak.

3 Perempuan Indonesia yang Berjasa di Bidang Teknologi

Yang terpenting buat aku, Girl Up ini harus tumbuh tanpa diskriminasi antar anggotanya. Kita harus bisa menerima dan menghargai setiap anak muda yang bergabung disini, baik dia laki-laki ataupun perempuan karena Girl Up pada hakikatnya adalah sebuah global community. Semua orang, asalkan mau belajar, sangat terbuka untuk bergabung sama kita,” pungkas dia.

Mengakui Thisa sebagai local heroes yang aktif berkampanye bagi perempuan muda di Semarang membuat saya menyadari satu hal paling penting: Mengubah persepsi masyarakat mengenai kebebasan perempuan dalam stigma dunia patriarki bukan merupakan hal yang mudah. Namun, dibandingkan sekadar menunggu kesadaran mereka, bukankah lebih baik untuk mendobrak dengan bersuara?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

CH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini