K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, Pahlawan Nasional dari Situbondo

K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, Pahlawan Nasional dari Situbondo
info gambar utama

#WritingChallengeKawanGNFI #CeritadariKawan #NegeriKolaborasi #MakinTahuIndonesia

Pada tanggal 9 November 2016 lalu, Presiden Indonesia Ir. H. Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada salah satu tokoh ulama asal Jawa Timur, yakni K.H.R. As’ad Syamsul Arifin. Penganugerahan ini berdasarkan keputusan presiden nomor 90/TK/Tahun 2016. Presiden Jokowi mengatakan bahwa penganugerahan gelar ini diberikan kepada warga negara yang telah berjuang melawan penjajah.

K.H.R. As’ad Syamsul Arifin | Foto: Bondowoso Network
info gambar

Dari Komandan Sabilillah Sampai Inisiator Penerimaan Asas Tunggal Pancasila

Hal ini sangat tepat mengingat perjuangan yang beliau lakukan untuk bangsa Indonesia semasa hidupnya. K.H. Achmad Shiddiq mantan Ra’is ‘Am NU dalam pidatonya pada acara tahlilan Kiai As’ad mengatakan bahwa Kiai As’ad sangat pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional mengingat jasa beliau pada bumi pertiwi sejak masa pra kemerdekaan, masa perang kemerdekaan dan di era pembangunan.

K.H.R. As’ad Syamsul Arifin atau biasa disapa Kiai As’ad adalah seorang ulama karismatik asal Situbondo Jawa Timur. Ia merupakan Pendiri sekaligus Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang terletak di sebuah dusun kecil bernama Sukorejo, Situbondo. Pengaruhnya sangat kuat utamanya di daerah tapal kuda (Probolinggo, Situbondo, Jember, Banyuwangi). Hal ini karena jasa-jasa yang ia lakukan semasa hidupnya.

Kiai As’ad adalah ulama yang turun langsung dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia dan rakyat berjuang bersama untuk mengusir penjajah yang hendak mengambil tanah Indonesia. Dalam dokumen resmi yang dikeluarkan Dinas Sosial Kabupaten Situbondo, Kiai As’ad tercatat pernah menjadi Komandan Laskar Sabilillah Panarukan pada 1947-1949. Sabilillah didirikan para ulama untuk mengayomi laskar perjuangan serupa yang sebelumnya telah dibentuk bernama Hizbullah. Untuk membesarkan pasukan Hizbullah ini Kiai As’ad menunjuk beberapa orangnya untuk merekrut anggota Hizbullah.

Peran Kiai As’ad dalam mengusir penjajah bisa kita lihat pada peristiwa pelucutan pasukan Jepang di Grahan Jember pada September 1945. Perundingan menemui jalan buntu setelah pasukan Jepang bersikukuh untuk tetap berada di Indonesia. Padahal, perundingan itu dihadiri oleh beberapa tokoh Karesidenan Besuki. Namun, Jepang masih enggan untuk meninggalkan bumi pertiwi.

Sampai akhirnya Kiai As’ad turun tangan menangani perundingan ini. Kiai As’ad yang sudah memuncak emosinya dengan tanpa sadar menggebrak meja di depannya hingga meja itu terbelah menjadi dua. Ia berkata “Negeri ini milik kami bukan milik gubernur, bukan milik presiden, apalagi milik Jepang! Kalian harus meninggalkan negeri ini! Kalau tidak saya dan rakyat akan menyerang kalian!”.

Seisi ruangan terdiam. Pemimpin Jepang yang saat itu memimpin perundingan ketakutan. “Kalian harus pulang sekarang juga!” usir Kiai As’ad memecah kesunyian.

Mau tidak mau, akhirnya pemimpin Jepang itu menyerah. Mereka akhirnya menandatangani surat persetujuan pemulangan tantara Jepang di Desa Curah Damar Grahan Jember.

Kiai As’ad juga turut berperan dalam pertempuran 10 November di Surabaya. Ia bersama dengan barisan Pelopor -barisan yang dibentuk kiai As’ad yang beranggotakan mantan bajingan dan bromocorah- dan Pasukan Sabilillah Situbondo berangkat ke Surabaya dan bertempur hebat disana. Beliau bermaskas di rumah Kiai Yasin, Blauran IV/25. Rumah Kiai Yasin merupakan markas bagi para Kiai yang mempunyai ilmu kanuragaan tinggi termasuk Kiai As’ad.

Ia juga menjadikan pesantrennya sebagai markas bagi para ulama dan pejuang. Pada masa itu, pesantren Sukorejo merupakan daerah suci (heillige zone) yang pantang untuk dijadikan lahan berperang bagi tentara Belanda. Sehingga banyak dari para pejuang Indonesia yang menjadikan pesantren Sukorejo sebagai markas perjuangan mereka. Mereka tinggal di sekitar pondok pesantren maupun di dalam pondok dengan menyamar sebagai santri. Para pejuang ini bertempat di dekat kandang kuda Kiai As’ad yang terletak di belakang ndalem kiai.

Setelah kepergian Belanda, Kiai As’ad lebih banyak menyibukan diri untuk mengurus pesantrennya setelah ditinggal wafat Kiai Syamsul pada 1951. Namun, hal ini tidak lantas membuatnya berhenti untuk berperan penting dalam mengawal negeri ini menuju lebih baik lagi. Salah satu peristiwa yang cukup penting pada periode ini adalah penerimaan Asas Tunggal Pancasila pada MUNAS NU tahun 1983.

Pada waktu itu, Pak Harto berencana untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi di Indonesia. Rencana ini banyak ditentang oleh kaum agamawan Indonesia. Puncak kegelisahan mereka - sebagaimana yang ditulis K.H . Abdul Muchit Muzadi- adalah ketika Pak Harto hampir mengatakan Pancasila sebagai agama.

Merespon kegelisahan ini, Kiai As’ad berinisiatif untuk menemui Pak Harto dan meminta penjelasan apakah ia akan menerapkan Pancasila sebagai agama dan mengganti agama-agama yang lain. Pak Harto langsung menepis anggapan itu. Ia mengatakan bahwa agama ya agama dan Pancasila ya Pancasila, keduanya merupakan entitas yang berbeda.

Mendengar penjelasan ini, Kiai As’ad mengerti dan menegaskan bahwa ia siap menerima asas tunggal Pancasila. Selanjutnya, Kiai As’ad berusaha untuk menjelaskan perkara ini ke hadapan para Kiai lain hingga mereka menerimanya. Akhirnya, pada MUNAS NU tahun 1983 ditetapkan bahwa NU sebagai organisasi keislaman terbesar di Indonesia menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Hal ini tertuang dalam Keputusan Musyawarah Alim Ulama NU Nomor II/MAUNU/1404/1983 yang salah satu poin pentingnya adalah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam yang berbunyi:

  1. Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
  4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
  5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen dari semua pihak.

Dengan keputusan ini semua pihak merasa lega karena suaranya terwakili. Pemerintah merasa lega karena Pancasila bisa dijadikan asas bagi seluruh organisasi di Indonesia. Sementara para ulama juga merasa lega karena Pancasila bukanlah entitas yang bertentangan dengan agama.

K.H.R. As’ad Syamsul Arifin akan selalu dikenang oleh santri dan pengikutnya sebagai sosok pejuang sejati. Ialah sosok yang tulus mengabdi untuk negeri. Gelar pahlawan mungkin tak perlu buatnya. Namun, terlalu naif rasanya jika kita hanya menjadikan perjuangannya sebagai bagian dari sejarah masa lampau saja tanpa ada usaha untuk menghargai perjuangan tersebut. Sebagai santri dan pengagumnya, penganugerahan gelar ini sangat penting bagi kami, karena dengan ini kami meyakini bahwa perjuangan beliau selama ini diakui dan dihargai oleh negara yang ia perjuangkan mati-matian.

Sumber: Muhammad Isfironi-Muhibbin, Biografi Perjuangan KHR As'ad Syamsul Arifin. Tim Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, KHR. As'ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangannya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini