Kecap Lokal Mirama: 'Bumbu Wajib' dalam Kuliner Khas Semarang

Kecap Lokal Mirama: 'Bumbu Wajib' dalam Kuliner Khas Semarang
info gambar utama

Tidak banyak yang tahu jika salah satu bangunan di kawasan bersejarah pecinan Semarang, tepatnya di Gang Gambiran, adalah penghasil bumbu makanan yang tidak pernah absen dalam tradisi kuliner 'Kota Lumpia'. Bumbu yang dimaksud adalah kecap manis dengan nama Mirama yang kehadiranya turut melambangkan identitas keberagaman Semarang, terutama dalam bidang kuliner.

Rumah produksi kecap di Gang Gambiran, yang namanya berasal dari rempah gambir.
info gambar

Dari bangunan yang tampak seperti rumah pada umumnya tersebut, baru terasa adanya kegiatan produksi ketika aroma khas kecap menyeruak serta terdapat peti-peti botol kecap yang siap didistribusikan ke sepanjang lorong.

Lebih ke dalam, terdapat ruang pabrik dimana para pekerja memasak adonan kecap dengan bahan baku seperti kedelai, garam, gula, bawang, dan rempah-rempah lainya dalam kuali-kuali besar. Tampak pula sejumlah guci kuno yang berguna sebagai wadah untuk mendinginkan kecap selama beberapa hari sebelum dikemas dalam botol kaca. Proses yang masih dilakukan secara manual tersebut telah berlangsung selama beberapa generasi di lokasi yang tidak berubah.

Perjalanan Kecap Mirama

Produksi Mirama telah berlanjut hingga generasi keempat | Foto: Dokumen Pribadi
info gambar

Berawal dari tahun 1930an, seorang ibu bernama Tan Tiong Kwie membuat kecap untuk kebutuhan pribadi karena ia kesulitan memperoleh bumbu masakan. Rupanya resep Ibu Tan ini digemari, sehingga berkembang menjadi bisnis untuk membantu situasi ekonomi yang sulit pada masa penjajahan Jepang.

Nama Mirama sendiri berasal dari jenama kopi bubuk yang diproduksi Margo Redjo, pabrik kopi yang sempat merajai pasar kopi di Hindia Belanda. Pabrik kopi di Semarang yang masih beroperasi tersebut dimiliki oleh sanak keluarga dari Ibu Tan. Agar terdapat ciri yang membuat kemasan Mirama mudah diingat konsumen, pada label terdapat motif batik parang yang masih dipertahankan hingga kini.

Sempat karena permintaan yang besar, pabrik sampai menggunakan kartu girik (semacam kartu anggota) untuk pembeli dan penadah agar memperoleh ketersediaan kecap yang terbatas. Kini operasional dipimpin oleh Markus sebagai generasi ketiga dengan Kota Semarang sebagai target utama pasar.

Mirama dan Kota Semarang

Label kecap Mirama khas dengan motif batik parang | Foto: Dokumen Pribadi
info gambar

Mirama mampu bersaing di pasar lokal sebagai kecap besar sebab kecap tersebut memiliki kadar manis dan gurih atau 'umami' yang diinginkan warga Semarang. Hal ini penting, mengingat masing-masing daerah di Indonesia memiliki kecap lokal yang bertahan karena mampu menyesuaikan dengan cita rasa setempat. Ada kecap SH (Siong Hin) bagi warga Tangerang, Cap Orang Jualan Sate di Probolinggo, Cap Anggur untuk bakmi dan batagor di Bandung, hingga Cap Tomat Lombok yang kerap digunakan penjual sate di Tegal.

Baca juga: Ie Bu Peudah, Santapan Berbuka Puasa Khas Aceh Besar yang Kaya Rempah

Meski tampak sama-sama hitam, masing-masing memiliki perbedaan dalam aroma, rasa, dan tingkat kekentalan. ''Mirama bisa jadi favorit di Semarang, tapi bagi orang Yogyakarta terlalu asin. Sementara orang Semarang akan bilang kecap yang dipakai orang Yogyakarta terlalu manis,'' terang Markus mengenai selera kadar kemanisan antar daerah.

Kecap sangat penting dalam masakan Jawa yang umumnya bercita rasa manis | Foto: Dokumen Pribadi
info gambar

Karakteristik tersebut membuat Mirama menjadi 'barang wajib' bagi pedagang makanan khas di Kota Semarang seperti nasi goreng babat yang kerap menjadi incaran wisatawan. Mulanya, panganan yang menggunakan babat atau dinding lambung sapi tersebut adalah olahan dari Welahan, Jepara, yang penjualnya berdagang hingga Semarang.

Para pedagang nasi goreng yang dahulu menggunakan keranjang pikul akan mampir di Gang Gambiran untuk memasok kecap dari pabrik Mirama sebelum berdagang sehingga penggunaan Mirama telah menjadi 'tradisi' hingga saat ini. Kesetiaan serupa dilakukan oleh pedagang makanan khas lainya seperti bakmi Jawa dan soto. Hal ini diakui Sugeng, juru masak bakmi Jawa yang berjualan di kawasan Pecinan. ''Kalau kecapnya diganti, pelanggan bisa tau dan protes karena rasanya berubah", jelasnya.

Baca juga: Kue Asida, Takjil Andalan khas Maluku

Melihat Keberagaman Indonesia dari Kecap

Banyaknya kecap lokal dapat dilihat sebagai parameter keberagaman Indonesia, dimana masing-masing daerah yang berdekatan secara geografis pun memiliki ciri khasnya dalam kuliner. Tak heran jika terdapat kolektor yang mengoleksi botol kecap dari seantero nusantara mengingat masing-masing kecap memiliki nilai keunikan.

Kecap manis juga merupakan contoh kesuksesan akulturasi mengingat kecap serta teknik fermentasi kedelai lainya di Indonesia berakar dari negeri Cina (Rahman, 2016). Sehingga produksi kecap dan produk kedelai umumnya dilakukan oleh komunitas Tionghoa, seperti dalam kisah Mirama.

Kecap manis sendiri merupakan usaha penyesuaian terhadap selera setempat dari yang semula berupa kecap asin kemudian menggunakan gula serta rempah-rempah dalam prosesnya hingga menjadi kecap dengan karakteristik manis dan kental yang biasa hadir di dapur dan lidah kita. Kecap manis berperan penting terutama dalam masakan Jawa yang bercita rasa manis. Hingga 70% masakan di Jawa menggunakan kecap sebagai komponen, ungkap juru masak, Alifatqul Maulana mengutip dari Kumparan.

Kembali ke Mirama, lokasi produksinya yang berada di Pecinan Semarang memiliki kisah sebagai kawasan yang secara historis berasal dari kebijakan politik Belanda bertajuk wijkenstelstel, dimana komunitas Tionghoa diharuskan tinggal di sebuah daerah khusus dengan tujuan mencegah adanya pembauran dengan masyarakat lain. Namun rupanya masih terisa ruang untuk akulturasi yang berjalan dengan manis, salah satunya dalam sebotol kecap.

Kalau di daerah Kawan GNFI, kecap apa yang menjadi favorit?

Sumber

Rahman, F. (2016). Jejak rasa nusantara : sejarah makanan Indonesia. (C.Harjono & W.Retna, Eds.). Gramedia Pustaka Utama.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini