Kisah Kampung Apung Teko yang Dahulu Rindang Layaknya Pondok Indah

Kisah Kampung Apung Teko yang Dahulu Rindang Layaknya Pondok Indah
info gambar utama

Kampung Teko atau lebih terkenal dengan sebutan Kampung Apung berada di Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Disebut seperti itu karena kawasan dengan luas 3 hektare ini berada di atas air, sehingga seolah-olah mengapung.

Dinukil dari Kumparan, Rudi Suwandi yang merupakan Ketua Rukun Tetangga (RT) setempat menjelaskan bahwa asal mulanya karena terjadi banjir permanen pada tahun 1996 yang terjadi di wilayah tersebut.

“Penamaannya muncul ketika ada bantuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada 2009 dan banyak orang yang datang bilang dari Kampung Apung padahal nama aslinya Kapuk Teko,” tutur Rudi.

Jejak Tangkiwood, Meriahnya Kampung Para Artis dari Barat Jakarta

Rudi menuturkan bahwa ketinggian air yang merendam Kampung Apung ini mencapai tiga meter. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa jika terdapat ratusan keluarga yang mendiami Kampung Apung.

Walau pemukiman tempat tinggal sudah terendam air, namun warga Kampung Apung ini masih tetap bertahan dikarenakan merupakan tanah kelahiran. Beberapa faktor lain karena tempat mencari nafkah.

“Faktor lainnya juga karena kita sudah merasa nyaman di sini, cari nafkah di sini, tanah lahir di sini, karena sebagian warga pribumi asli Kapuk,” tambah Rudi.

Tempat rindang

Sebelum terendam air, Kampung Apung ternyata dahulu merupakan kawasan yang asri layaknya Pondok Indah. Hal inilah yang dikenang oleh salah seorang tokoh masyarakat Kampung Apung, Rudi.

Rudi yang telah tinggal sejak 50 tahun lalu ini menyatakan Kampung Apung dulu masih diliputi oleh pohon seperti nangka, rambutan, mangga. Bahkan ketika itu ada juga empang untuk anak-anak bermain.

“Dulu di sini tahun 1975 sudah ada bioskop. Kuburan yang di dekat jembatan itu tempat main anak-anak. Kuburan masih wangi banyak pohon, kalau abang jalan di jembatan itu pohon kayak melingkar di atas kepala itu rimbun,” ucapnya.

Menikmati Tradisi Ngerahul dalam Masyarakat Betawi untuk Menghilangkan Jenuh

Tokoh masyarakat Djuhri mengingat warga masih suka menghabiskan waktu luang untuk berkumpul di sebelah pemakaman. Sebuah tanah lapang di tengah perkampungan, lanjutnya biasa digunakan warga untuk bermain bulu tangkis atau sepak bola.

“Kampung ini begitu indah dan asri seperti Pondok Indah lah, khususnya tahun 80-an. Ada pemakaman umum yang letaknya lebih tinggi dari pemukiman warga dan sawah produktif di belakang kampung. Tapi semua berubah seperti ini sejak ada pembangunan dari pihak pengembang,” ujarnya yang dinukil Kompas.

Mulai terendam

Pada 1988, jelas Djuhri ada pembangunan kompleks pergudangan dari pihak pengembang di sekitar Kampung Apung. Pembangunan ini ternyata menjadikan daerah resapan air untuk irigasi sawah produktif milik warga menuju Kali Angke tertimbun

Hal inilah yang membuat perkampungan warga mulai tergenang secara perlahan hingga saat ini. Hingga kini warga akhirnya harus menerima nasib kampung tercinta mereka harus terendam oleh air.

“Akibat proses pengembangan tadi (kompleks pergudangan), perlahan-lahan kampung kita jadi banjir. Puncaknya dari tahun 1990 hingga saat ini karena saluran air itu diuruk,” ucapnya.

Pembangunan Jalur MRT, Benarkah Mengancam Situs Bersejarah di Jakarta?

Rudi masih ingat kampungnya pertama kali diterjang banjir pada tahun 1995 dan 1996. Seingatnya, air hujan yang menggenang hingga 30 cm. Tetapi air yang membanjiri kampung tidak langsung surut dalam hitungan jam atau hari.

“Tahun 1990, kalau enggak salah di 1995 sampai 1996 sudah mulai banjir secara permanen. Saat itu 30 cm kalau enggak salah, lalu keringnya itu lama kira-kira selama 3 sampai 4 bulan bau kering,” tambahnya.

Namun tahun demi tahun, air yang menggenang kampungnya tak cepat surut. Bahkan ketika hujan, semakin tahun Kampung Apung makin sulit kering. Hingga kini Kampung Apung sudah berubah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini