Warung Pecel Mbok Mukhsoni, Sambal Legendaris yang Menjadi Saksi Perjuangan Lintas Zaman

Warung Pecel Mbok Mukhsoni, Sambal Legendaris yang Menjadi Saksi Perjuangan Lintas Zaman
info gambar utama

Sejak pukul 01.30 dini hari, bara api pawon mulai menghangatkan bangunan Warung Pecel Mbok Mukhsoni berukuran 8×4 meter, pertanda kesibukan di hari itu akan dimulai. Kata “mbok” dalam dialek Banjarnegara berarti ibu atau nyonya, merujuk pada Mbah Samini, istri dari Mbah Mukhsoni. Warung pecel yang terletak di sebelah utara tugu perempatan Desa Merden, Kecamatan Purwanegara, Kabupaten Banjarnegara ini, umumnya didatangi para pelanggannya untuk bersantap sarapan sebelum beraktivitas. Kehangatan suasana pagi terpancar dari para pelanggan yang hilir mudik dan saling bercengkerama. Para ibu yang mengantar anak-anaknya bersekolah, tak jarang juga bertandang untuk membeli bekal sarapan untuk anak-anaknya.

Berada 25 kilometer barat daya Alun-Alun Banjarnegara, warung yang terletak di barat kompleks Ponpes Daarul Falaah Muhammadiyah Merden ini, tak mematok waktu buka secara khusus, hanya sesuai kebiasaan saja, terlebih waktu tutupnya, dan biasanya akan tutup manakala menu yang disajikan sudah atau hampir habis.

Satu porsi kupat pecel dipatok dengan harga Rp 6.000. Selain itu, warung ini juga menyediakan nasi rames dengan berbagai variasi sayur, lauk, dan gorengan. Ada sayur kering tempe, mie oseng, sayur daun singkong, sayur daun pepaya, tahu bacem, tempe bacem, telur bacem, telur balado, dan daging ayam. Gorengannya pun beragam, ada mendoan, bakwan, pisang goreng, ketepo (tempe gembus), dan tahu brontak (tahu isi). Harga dan porsi juga tergolong sesuai untuk kalangan masyarakat di Desa Merden dan sekitarnya.

Nasi Pecel | Foto: Kompas.com
info gambar

Kekhasan kupat pecel di warung ini adalah sambal kacangnya yang sudah melegenda. Sambal kacang ini masih dibuat secara tradisional menggunakan tenaga manusia. Bahan baku sambal pecel yang terdiri dari kacang dan cabai yang sudah digoreng sangan dicampur dengan gula jawa dan garam, kemudian disatukan dalam lesung, yang oleh orang Merden disebut lumpang. Kemudian semua bahan ditumbuk menggunakan alu (penumbuk), ditambahkan air supaya semua bahan tercampur secara merata. Setelah semua bahan tertumbuk halus dan tercampur merata, sambal dipindahkan ke wadah lain, untuk selanjutnya siap dihidangkan dengan cara “disiramkan” di atas kupat pecel yang isinya berbagai jenis sayuran, seperti bayam, daun singkong, kubis, kecambah, kenci, dan kecombrang.

Di balik hilir mudik pelanggan setianya, Warung Pecel Mbok Mukhsoni menyimpan cerita perjuangan Mbah Samini dan Mbah Mukhsoni dalam menghidupi keluarganya. Keduanya yang kini sudah berpulang, sebagaimana kebanyakan orang tua pada zaman itu, dengan keterbatasannya berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi keluarganya. Mbah Samini, setelah melakoni banyak jenis pekerjaan, pada akhirnya memutuskan untuk berdagang kupat pecel dan gorengan. Ini menjadi profesi terakhir beliau sebelum akhirnya “diwariskan” kepada satu-satunya anak perempuannya.

Pasangan Mbah Samini dan Mbah Mukhsoni memiliki 6 orang anak, 5 laki-laki dan 1 perempuan. Ibu Muslikhah yang merupakan satu-satunya anak perempuan, mewarisi dan meneruskan usaha warung pecel ini. Bersama Ibu Nuryati dan Mbak Diyah, ketiganya bahu-membahu menghidupkan warung pecel yang telah menghidupi keluarganya sejak bertahun-tahun lamanya.

LEWAT ENAM DEKADE

Seturut kisah Ibu Muslikhah, pada awalnya Mbah Samini berjualan di emperan ruko di kompleks Pasar Merden. Saat itu, Mbah Samini hanya menjual kupat pecel. Selain berjualan di perempatan Desa Merden, Mbah Samini juga berjualan di acara pagelaran seni budaya yang jamak diadakan di Merden dan sekitarnya, seperti ebeg (kuda lumping) dan wayang kulit. Di pagelaran, selain kupat pecel, Mbah Samini juga berjualan mendoan, ketan goreng, dan wedang kopi hitam.

Setelah dari kompleks Pasar Desa Merden, Mbah Samini pindah berjualan di sisi tenggara perempatan Desa Merden, yang kini berdiri deretan ruko. Dari sisi tenggara, pindah lagi ke sisi barat laut perempatan, tak jauh dari lokasi semua, yang kini juga berdiri deretan ruko. Di kedua tempat tersebut, Mbah Samini berjualan di gubug sederhana tanpa dinding. Baru di kepindahan ketiga, Mbah Samini sanggup membeli warung sederhana milik tetangganya, yang tadinya berada di timur jalan, kemudian dipindah ke sisi barat jalan, di tempatnya yang sekarang ini.

Ada sisi unik dalam proses “pewarisan” usaha warung pecel ini. Mbah Samini masih aktif berdagang hingga menjelang 2000-an. Lambat laun, karena kondisi fisik yang menyebabkan beliau sering mengeluhkan sakit, Mbah Samini akhirnya berhenti berdagang, meski tidak secara total. Karena terdesak kondisi ekonomi dan tengah menanggung anaknya yang masih sekolah, Ibu Muslikhah nekat berjualan kupat pecel, “meneruskan” perjuangan ibunya.

Melewati dua dekade ini, Warung Pecel Mbok Mukhsoni tetap hadir mengikuti perkembangan zaman yang turut memengaruhi perkembangan selera konsumen dan model bisnis kuliner. Salah satunya dengan mengadopsi sistem pesan-antar. Boleh dibilang, jenis layanan pesan-antar makanan yang digunakan masih “tradisional”. Pelanggan memesan sejumlah menu melalui WhatsApp, kemudian akan diantar sesuai alamat yang dituju. Sebagian pelanggan kawakan berujar, selain mewarisi usaha warung pecel, Ibu Muslikhah juga mewarisi “laris”nya Mbah Samini dulu ketika masih berjualan. Hal itu karena Ibu Muslikhah berusaha tetap menjaga kualitas masakan yang dibuat, dimulai dari pemilihan bahan yang segar, proses pemasakan yang higienis, hingga dalam proses penyajian.

ETOS KERJA TIDAK NGOYO

Selain mewarisi “laris”nya, Ibu Muslikhah juga mewarisi etos kerja yang dimiliki oleh orang tuanya. Hemat penulis, keluarga Mbah Samini memiliki satu ciri khas yang unik, yaitu etos kerja yang tidak ngoyo. Saya yang nyaris tiap hari bertandang, tak jarang menyarankan agar warung pecel buka sampai sore atau minimal menjelang waktu asar, untuk menyediakan makan siang para pelanggannya. Tapi Ibu Muslikhah tetap membuka dan menutup warungnya seperti biasanya. Selain faktor personel dan tenaga yang dimiliki, beliau meyakini bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, kita hanya mesti berusaha semampu kita, dengan kata lain, tidak perlu sampai ngoyo.

Pelajaran tentang ketahanan dan ketangguhan dalam perjuangan hidup, yang begitu terasa manakala badai pandemi Covid-19 menghantam seantero jagat selama 2,5 tahun ini, yang turut memaksa Ibu Muslikhah menutup warungnya untuk sementara waktu. Awal tahun lalu, Warung Pecel Mbok Mukhsoni kembali hadir mengobati kerinduan para pelanggan akan nikmatnya kupat pecel yang basah oleh siraman sambalnya yang pedas memikat.

Warung Pecel Mbok Mukhsoni tak sekedar soal bisnis kuliner. Di dalamnya, tersimpan hikmah perjalanan hidup yang mengalir dari generasi ke generasi. Ketahanan dan ketangguhan Warung Pecel Mbok Mukhsoni berbanding lurus dengan kelenturan alias fleksibilitas dalam menjawab tantangan perkembangan zaman, dalam hal ini adalah adaptasi terhadap selera lidah dan perilaku konsumsi para pelanggannya. Warung Pecel Mbok Mukhsoni kini sudah kembali menyambut kedatangan para pelanggan setianya, untuk bersantap sarapan dan bercengkerama. Hadir untuk menjawab tantangan zaman, dengan tetap mempertahankan ciri khasnya. Menghidangkan seporsi kupat pecel sebagai menu andalan, komplet dengan sajian hikmah perjalanan dan perjuangan untuk menghidupi keluarga.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini