Suasana Kemeriahan Unjung-Unjung di Kampung Surabaya Tahun 50-70an

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Suasana Kemeriahan Unjung-Unjung di Kampung Surabaya Tahun 50-70an
info gambar utama

*Penulis Senior GNFI

Di Surabaya terutama di kampung-kampung ada budaya unik selama lebaran yaitu budaya Unjung-Unjung. Saya tidak mengetahui asal usul sebutan Unjung-Unjung itu namun mungkin dari budaya saling mengunjungi diantara warga dan sanak saudara, maka aktivitas sosial itu disebut Unjung- Unjung. Namun benar kegiatan saling mengunjungi di saat lebaran itu tidak hanya di Surabaya tapi juga ada dimana-mana di Nusantara ini mungkin dengan istilah yang berbeda.

Pengalaman saya di tahun 50-70 an, aktivitas Unjung-Unjung itu berlangsung sampai dua minggu bahkan lebih, sehingga nuansa hari raya itu sangat terasa karena kita menyaksikan keluarga dan kerabat serta tetangga saling mengunjungi. Di kampung hampir tidak satupun rumah tetangga yang terlewati karena bergiliran warga saling mengunjungi untuk bersilaturahim dan meminta maaf satu sama lain. Selain warga ini juga kerabat atau famili yang juga saling mengunjungi.

Karena rumah warga itu menjadi “jujugan” atau destinasi kegiatan Unjung-Unjung itu maka biasanya hampir semua warga satu minggu atau lebih sebelum lebaran mempercantik rumah dengan cara mengecat dinding, pintu dan jendela rumah. Jaman tahun 50-60 an warga mengecat dinding rumah dengan membeli bongkahan gamping putih di tempat orang menjual bahan-bahan bangunan seperti semen, paku, genteng dsb. Gamping itu adalah batu kapur yang merupakan batuan sedimen yang tersusun dari mineral kalsit dan aragonite dan merupakan dua varian yang berbeda dari kalsium karbonat. Warga membeli bongkahan gamping karena maklum waktu itu jarang toko bahan bangunan yang menjual cat dalam kaleng seperti sekarang ini. Yang unik, cara mengecat rumah dengan gamping itu tidak menggunakan kuas seperti jaman sekarang, namun menggunakan “merang” (bahasa Jawa) atau batang padi kering yang disusun dan diikat menjadi kuas untuk mengecat rumah dengan gamping tadi.

Selain mempercantik rumah hampir semua warga atau sanak saudara sebelum lebaran selalu membeli baju baru baik untuk ibu bapak juga anak-anak. Tidak hanya baju celana yang baru, mereka juga membeli sepatu baru. Saya yang rumahnya di kampung Kapasari Surabaya membeli sepatu baru itu di Jalan Praban dekat dengan daerah Blauran Surabaya. Perlu diketahui dahulu pusat penjualan sepatu itu ada didaerah jalan Praban ini. Almarhumah ibu saya membawa saya dan dua kakak saya ke jalan Praban itu untuk membeli sepatu baru.

Karena rumah-rumah dipercantik dan semua warga serta sanak saudara mengenakan baju dan sepatu baru, maka kegiatan budaya Unjung-Unjung itu sangat “Colorful” – penuh warna warni, sehingga suasana lebaran itu sangat kentara dan terasa “festivity” nya atau kemeriahannya karena selama dua minggu itu suasana kampung menjadi ramai dengan begitu banyaknya warga dan sanak saudara yang saling bertamu itu,

Aktivitas Unjung-Unjung itu umumnya bertamu kerumah tetangga dan kerabat untuk mengucapkan permohonan maaf bila ada salah baik yang disengaja maupun tidak sambil memperkenalkan anak, cucu dan mantu. Selama berada di rumah warga dan kerabat itu selalu disuguhi jajanan yang colorful juga, seperti kacang goreng, mente goreng, jenang, kerupuk, melinjo, kue-kue yang dibuat secara tradisional dengan menaruh oven dari seng diatas tungku panas berisi arang. Dulu sangat jarang orang menjual kue-kue kalengan seperti sekarang ini. Semua warga disamping menyediakan jajanan dan kue tradisional itu juga menyiapkan uang receh untuk diberikan pada anak-anak yang ikut Unjung-Unjung itu. Saya waktu kecil dulu sangat bahagia kalau diajak Unjung-Unjung karena disamping dapat mencicipi jajanan dan kue trasisional juga selalu mendapatkan uang. Dalam perkembangannya, banyak anak-anak dari kampung lain yang warga tidak mengenalnya juga bertamu bukan untuk mengucapkan permohonan maaf tapi menunggu dapat pemberian uang.

Budaya Unjung-Unjung itu dijaman modern ini masih ada di kampung dan desa, namun tidak se – colorful dulu, perayaanya sudah tidak semeriah dulu karena waktu Unjung-Unjung itu hanya dua-tiga hari saja tambahan pula dengan kemajuan teknologi informasi maka Unjung-Unjung itu “diwakili” oleh chatting di WA serta acara Halal-Bilhalal.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

Terima kasih telah membaca sampai di sini