Mindless Scrolling Jadi Alasan GenZ Gampang FOMO!

Mindless Scrolling Jadi Alasan GenZ Gampang FOMO!
info gambar utama

Fear of Missing Out (FOMO) telah menjadi satu fenomena yang tidak asing di mata generasi muda. Forbes bahkan sempat mencatat bahwa ¾ dari anak muda di dunia dilaporkan telah mengalami kondisi ini.

Mengecek WhatsApp setiap kali bangun tidur, terobsesi untuk terus membalas cuitan-cuitan galak di Twitter, bahkan punya keinginan untuk selalu update story Instagram 24/7 agar terkesan sociable dalam pergaulan adalah indikasinya. Perilaku ini disebabkan oleh mindless scrolling atau aktivitas yang dilakukan dengan berselancar di media sosial secara terus-menerus tanpa tujuan yang jelas.

Ilusi Media Sosial jadi Pemicu

Riset yang dilakukan Penn State University dengan tajuk The Relationship between Fear of Missing Out and Problematic Smartphone Used menyorot fakta bahwa mindless scrolling seringkali terjadi karena seseorang yang takut tertinggal informasi di sekeliling mereka.

Masih melansir Forbes, FOMO biasanya datang dari ilusi yang terbentuk karena manusia sering menggunakan media sosial. Preferensi fanatik yang cenderung suka untuk mengikuti topik-topik viral membuat manusia tidak ingin melewatkan satupun momen yang menarik dari realitas virtual mereka.

Bahayanya, ilusi media sosial yang tidak hanya mampu mengintervensi pikiran Kawan sebagai pengguna aktif saja, melainkan juga passive user yang hanya melakukan mindless scrolling, tetapi ujung-ujungnya bakal ikut menjadi FOMO.

“Tanpa sadar, mindless scrolling mempengaruhi seseorang ketika masuk ke dalam realita media sosial, baik itu Twitter, Instagram, atau Facebook. Mereka mulai scrolling berjam-jam untuk mengecek update informasi terkini di linimasa tanpa berpikir alasan melakukannya,” ungkap Emmie Boose, seorang Editor dan Peneliti Media dalam situs The Sunflower.

Febronia Jessica Inez Indriani (21), salah seorang Generasi Z pun mengakui bahwa sebagai pengguna setia Twitter seperti dirinya sering merasa FOMO.

Algoritma trending topic di aplikasi yang kini dimiliki Elon Musk itu cepat berubah ketika menunjukkan update informasi terbaru, sedangkan ia sama sekali belum mengetahuinya.

“Contohnya ketika tanggal 1 Oktober yang lalu saat dunia dihebohkan dengan Tragedi Sepak Bola Indonesia di Stadion Kanjuruhan, algoritma Twitter, Instagram, dan YouTube selalu menunjukkan informasi itu di timeline kita,” ucap Inez.

“Strategi media sosial saat itu justru sedang membentuk budaya FOMO dan cara kerja penggunanya agar terus update tentang isu-isu yang viral biar bisa ikut berkomentar dan berinteraksi dengan pengguna lain,” imbuhnya lagi.

Baca Juga: Mengungkap Pengaruh Luas Augmented Reality dalam Industri Kreatif

Kecemasan yang Berlebihan

Perasaan cemas yang berlebihan karena FOMO mampu mempengaruhi kesehatan otak dan mental manusia. Hal ini terjadi karena di saat seseorang khawatir tidak bisa berinteraksi karena kurangnya pemahaman informasi dengan orang lain, maka ia akan cenderung mencari informasi terlebih dahulu di media sosial.

“Otak merasakan ancaman sosial dalam kasus ini dan membuat kita waspada. Sistem saraf menjadi gelisah dan kemudian kita menjadi tidak nyaman, sehingga termotivasi untuk mencari kelegaan,” kata Dr. Natalie Christine Dattilo, Ph.D, founder dari Priority Wellness Group dan Dosen Psikologi Harvard University.

“Sayangnya, dengan cara ini, kita justru hanya mempertahankan atau bahkan memperkuat kecemasan yang memicunya. Bahkan berpotensi menyulut masalah kesehatan mental, depresi, stres, dan penurunan kepuasan hidup,” tambahnya lagi.

Tidak Perlu sampai FOMO untuk Up to Date

Salah satu trik agar otak tidak sampai menderita TMI (too much information) kronis karena FOMO menurut dia adalah stop mindless scrolling!

Berhenti melakukan “usap layar” membuat manusia mampu membatasi fokus konteks yang dipahami. Selain itu, riset mendalam juga bisa membantu untuk melakukan verifikasi terhadap suatu isu dengan baik.

Layaknya perilaku ketagihan, Dattilo pun berargumen bahwa mengetahui pemicu awal FOMO menjadi cara yang penting untuk meminimalisasi efek psikologis dari ketakutan ini.

“Jika sadar mindless scrolling via smartphone adalah pemicu FOMO, maka cobalah untuk menempatkan device itu di ruangan yang berbeda tempat Anda berada untuk menghindari godaan untuk berselancar di media sosial,” tegas Dattilo.

Selain itu, ia juga menyarankan bahwa seseorang yang sudah merasa terlalu overwhelming terhadap satu informasi bisa mencoba sekali-kali rehat dari media sosial. Menghabiskan waktu mindlessscrolling dapat menjadi lebih berguna dengan interaksi bersama orang-orang di sekitar sekaligus membangun hubungan komunikasi interpersonal yang produktif.

Dengan mengurangi intensitas mindless scrolling, maka secara tidak langsung Kawan juga sedang mencoba membiasakan diri untuk mengurangi indikasi FOMO dari intensnya realitas virtual.

Fakta Pertamax Green 95 yang Bakal Diuji Coba Pertengahan Juli di Jawa Timur


Referensi:

  • https://www.forbes.com/health/mind/the-psychology-behind-fomo/
  • https://www.researchgate.net/publication/353926882_Relationship_Between_Fear_of_Missing_Out_FoMO_and_Problematic_Smartphone_Use_PSU_in_Generation_Z_with_Stress_as_a_Moderator
  • https://thesunflower.com/63020/opinion/opinion-stop-scrolling-its-not-good-for-you/#:~:text=Mindless%20scrolling%20is%20when%20someone,the%20fear%20of%20missing%20out.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

CH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini