Rusia Hentikan Kesepakatan Biji-bijian, Ini Dampaknya bagi Negara Berkembang

Rusia Hentikan Kesepakatan Biji-bijian, Ini Dampaknya bagi Negara Berkembang
info gambar utama

Rusia mengakhiri kesepakatan ekspor biji-bijian dari Ukraina melalui Laut Hitam pada Senin (17/7/2023). Penghentian ini diumumkan oleh Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov beberapa jam setelah dua ledakan di jembatan Krimea.

Moskow—sebutan lain dari pemerintahan Rusia— menarik diri dari perjanjian itu karena persyaratan mereka untuk mendapatkan makanan dan pupuk tidak terpenuhi.

Selama setahun terakhir, pasukan Rusia mengizinkan Ukraina mengirimkan lebih dari 32 ton makanan melalui Selat Bosporus. Komoditas ini diekspor ke Afrika, Timur Tengah, dan Asia, untuk mencegah kelaparan di negara berkembang atau miskin. Tapi, minggu lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengeluh, tidak ada satu poin pun yang disyaratkan negaranya telah terpenuhi.

Oleh karena itu, Rusia menginformasikan kepada PBB, Turki—sebagai pihak perantara—dan Ukraina bahwa mereka tidak akan memperbarui perjanjian tersebut sebelum persyaratan yang dinegosiasikan terpenuhi.

Media Rusia, URA, menulis bahwa kesepakatan ini bertujuan untuk mencegah krisis pangan global dengan membiarkan biji-bijian Ukraina yang terperangkap oleh invasi Rusia diekspor dari pelabuhan Laut Hitam.

Kedua negara ini berperan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan global. Rusia adalah eksportir gandum terbesar di dunia, sedangkan Ukraina termasuk pengekspor bunga matahari, jagung, gandum, dan jelai terbesar juga di dunia.

Dobrak Pasar Thailand-China, Ekspor Kapulaga Sumut Tembus Rp18,5 Miliar

Setelah kesepakatan ini dihentikan, bagaimana dampaknya bagi dunia, terutama negara berkembang?

Menurut Penasihat Kepala Gedung Putih untuk Keamanan Nasional Jake Sullivan, keputusan Rusia menarik diri dari kesepakatan biji-bijian sama dengan mengabaikan penyediaan untuk negara-negara berkembang dan miskin di Afrika, Amerika Latin, serta Asia. Sebagai konsekuensi, Rusia akan membutuhkan biaya diplomatik yang sangat besar.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut negara berkembang akan mendapatkan ancaman paling besar karena krisis kelaparan di sana sangat tinggi.

"Orang-orang yang berjuang (melawan kelaparan) dan negara-negara berkembang tidak punya pilihan. Mereka akan menanggung akibatnya," kata António dalam wawancara dengan The Public Broadcasting Service, Senin (17/7/2023).

Pada kesempatan yang sama, Presiden Komite Penyelamatan Internasional David Milliband berpendapat, keputusan Rusia menumpuk risiko bagi komunitas yang paling rentan di dunia. Misalnya, Afrika Timur, salah satu daerah dengan kasus kekurangan gizi terparah, 80 persen pasokan biji-bijian mereka berasal dari Rusia atau Ukraina.

Selain itu, penghentian kesepakatan juga berpengaruh terhadap harga pangan dunia. Inflasi harga pangan, kata dia, dua kali lipat lebih tinggi di negara-negara yang paling berisiko kelaparan dan malnutrisi.

"Mengingat ada 50 juta orang di Afrika Timur yang berada pada tingkat kerawanan pangan PBB tertinggi. Ini adalah momen yang sangat kelam dan berbahaya bagi mereka," sambungnya.

Dia menambahkan, komunitas yang paling berisiko adalah negara-negara yang menderita konflik dan krisis iklim, seperti Somalia, Ethiopia, Nigeria Timur Laut, Afghanistan, dan Pakistan.

"Semua ini bukan karena kekurangan makanan secara global. Itu karena inflasi harga pangan karena pembatasan pasokan pangan dan gangguan pada pertanian subsisten sebagai akibat dari perubahan iklim yang paling memukul komunitas rentan ini," pungkas dia.

Menanti Indonesia Lepas dari Ketergantungan Impor Gandum Lewat Tanaman Sorgum

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini