Menelusuri Lanskap Limbah Elektronik di Asia Tenggara

Menelusuri Lanskap Limbah Elektronik di Asia Tenggara
info gambar utama

Asia Tenggara telah menjadi salah satu wilayah dengan pertumbuhan teknologi tercepat di dunia. Namun, pertumbuhan ini telah membawa tantangan baru dalam bentuk limbah elektronik. Dengan meningkatnya penggunaan perangkat elektronik seperti ponsel, komputer, dan peralatan elektronik lainnya, penting bagi negara-negara di Asia Tenggara untuk mengatasi masalah limbah elektronik ini dan mengembangkan solusi yang berkelanjutan.

E-waste sendiri mengacu pada peralatan listrik atau elektronik yang harus dibuang. Ini mencakup semua jenis peralatan listrik dan elektronik yang sudah tua, habis masa pakainya atau dibuang, seperti peralatan rumah tangga, peralatan informasi dan komunikasi kantor, hiburan dan elektronik konsumen, peralatan penerangan, peralatan listrik dan elektronik, mainan, dan peralatan rekreasi, olahraga, dan rekreasi bertenaga listrik.

Asia telah menjadi tempat pembuangan limbah elektronik di dunia sejak China berhenti mengimpor limbah pada tahun 2018. Sejak saat itu, Asia Tenggara telah menjadi tujuan pembuangan limbah berikutnya, baik yang legal maupun ilegal. Negara-negara seperti Malaysia dan Thailand adalah penerima utama limbah tersebut.

Sebuah penelitian mencatat bahwa antara tahun 2016 dan 2018, ada peningkatan 171 persen dalam pengiriman sampah ke Asia Tenggara setelah Cina menutup pintunya. Sebagian besar sampah terdiri dari plastik dan bahan non-biodegradable lainnya. Namun, karena peraturan impor limbah di Asia Tenggara cenderung longgar, limbah elektronik masih bisa berakhir di tempat pembuangan sampah yang tidak resmi.

Menurut laporan Global E-waste Statistic Partnership tahun 2020, limbah elektronik global telah meningkat 21% selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2019, jumlah limbah elektronik yang dihasilkan mencapai rekor 53,6 juta metrik ton.

Data terbaru dari United Nations University juga menunjukkan bahwa Asia Tenggara menghadapi masalah limbah elektronik dengan proporsi yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2021 saja, kawasan ini diperkirakan menghasilkan 12,3 juta metrik ton limbah elektronik, mengubah situasi lingkungan dari kekhawatiran menjadi krisis yang mendesak.

Faktanya, menurut Laporan Pemantauan Limbah Elektronik Global terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, jumlah limbah elektronik yang dihasilkan di seluruh dunia diperkirakan akan melebihi 74 juta metrik ton pada tahun 2030.

Seberapa Buruk Limbah Elektronik di Asia Tenggara?

Masalah impor ilegal dan pembuangan limbah elektronik tanpa disadari telah menjadikan Thailand, Vietnam, dan Filipina sebagai pusat utama. Masalahnya tidak hanya datang dari luar negeri, tetapi juga mempengaruhi penduduk lokal di negara-negara ini. Negara-negara lain di kawasan ini juga terkena dampak dari masalah ini.

Menurut laporan dari Dewan Lingkungan Nasional Thailand, negara ini akan menghadapi masuknya sekitar 435.000 ton limbah elektronik pada tahun 2020. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 100.000 ton, atau kurang dari seperempatnya, yang akan dikelola dan dibuang dengan benar. Akibatnya, sebagian besar bahan berbahaya tidak diolah, yang dapat menyebabkan bencana lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Filipina, salah satu produsen limbah elektronik terbesar di Asia Tenggara, mencatat sekitar 3,9 kg limbah elektronik per orang pada tahun 2019. Namun, negara ini menghadapi tantangan dalam pengendalian polusi untuk mengurangi paparan limbah tersebut. Tantangan dalam pengelolaan limbah elektronik di Filipina berasal dari kurangnya metode pengendalian polusi, penelitian terbatas tentang daur ulang limbah elektronik informal, dan kurangnya teknologi daur ulang yang canggih. Dampak dari polusi limbah elektronik dapat merusak lingkungan dan iklim, serta mengancam kesehatan masyarakat setempat.

Di sisi lain, pada tahun 2019, Vietnam mencatat produksi limbah elektronik sebesar 257 kiloton (kt), atau sekitar 2,7 kg per orang. Limbah elektronik di Vietnam dihasilkan melalui pembuangan peralatan elektronik dan listrik, kegiatan industri di sektor elektronik, impor ilegal peralatan usang dari luar negeri, dan pengoperasian fasilitas pembongkaran dan daur ulang. Pengelolaan limbah elektronik di negara ini menghadapi sejumlah tantangan, termasuk kurangnya undang-undang khusus tentang limbah elektronik, banyaknya keterlibatan pendaur ulang yang tidak terorganisir, dan kurangnya teknologi daur ulang yang canggih.

Singapura juga memiliki masalah limbah elektronik yang besar, menghasilkan sekitar 60.000 ton limbah elektronik setiap tahunnya. Di sisi lain, Indonesia menempati posisi teratas sebagai penghasil limbah elektronik terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2015 dengan 812.000 ton limbah elektronik. Diikuti oleh Vietnam (45.000 ton) dan Malaysia (243.000 ton), yang berada di peringkat berikutnya pada tahun yang sama.

Solusi yang Potensial

Meningkatkan kerangka kerja peraturan dan penegakan hukum adalah kunci untuk mengatasi masalah limbah elektronik di Asia Tenggara. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan pengelolaan limbah elektronik yang kuat dan menegakkan hukuman untuk impor ilegal dan pembuangan yang tidak tepat. Contoh positif dari hal ini adalah program Extended Producer Responsibility (EPR) yang diperkenalkan oleh Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura (NEA) pada tahun 2021.

Investasi dalam infrastruktur juga diperlukan untuk pengelolaan limbah elektronik yang bertanggung jawab untuk mengatasi masalah ini. Contoh yang berhasil adalah Sistem Manajemen Limbah Elektronik Terpadu (IEWMS) Malaysia, sebuah kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta untuk merampingkan dan menstandarisasi proses daur ulang limbah elektronik.

Selain itu, mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pengelolaan limbah elektronik yang bertanggung jawab sangat penting untuk mendorong perubahan perilaku. Kolaborasi antara negara-negara Asia Tenggara dan organisasi internasional, serta inovasi teknologi, dapat berperan penting dalam menciptakan solusi berkelanjutan untuk masalah limbah elektronik di kawasan ini.

Referensi:

Fundafunda, Joshua. (2021). A Close Look at Southeast Asia’s E-Waste Crisis. Jumpstart

Tan, Zhixin. (2019). Singapore Invest Close to $15m in World’s First e-Waste Recycling Lab. KrAsia

Hill, Dege. (2023). E-Waste: Southeast Asia’s Growing Environmental Concern. KrAsia

United Nations Industrial Development Organization. (2022). The Philippines: Making Money Making e-Waste Safe

Poudel, Kritika., et al. (2023). E-Waste in Vietnam: A Narrative Review of Environmental Contaminants and Potential Health Risks. Journal Reviews on Environmental Health

Chung Duc Tran, Stefan Petrus. (2018). Analysis of Recycling Structures for E-Waste in Vietnam. Journal of Material Cycles and Waste Management, 20, 110-126

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Diandra Paramitha lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Diandra Paramitha.

Terima kasih telah membaca sampai di sini